okezone.com
Salman Mandira : Jurnalis
Selasa, 9 Desember 2014 - 08:50 wib
BANDA ACEH – Korupsi masih membelenggu Aceh yang berstatus provinsi otonomi khusus. Sepanjang tahun ini ada 43 kasus korupsi yang belum tuntas disidik aparat penegak hukum, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp796 miliar.
Koordinator Gerakan Anti-korupsi (Gerak) Aceh, Askhalani, mengatakan, jumlah kasus korupsi paling banyak terdapat pada sektor pengadaan barang dan jasa. Disusul penyalahgunaan dana bansos dan hibah yang diberikan pada pihak ketiga, terutama yang bersumber dari dana aspirasi anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/kota.
Menurutnya, korupsi di Aceh makin mengkhawatirkan, seiring dengan meningkatnya jumlah anggaran yang dikelola pemerintah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Melimpahnya uang terutama dari dana otonomi khusus dimiliki Aceh, dinilai menyuburkan prakktik korupsi.
“Korupsi yang kronis ini disebabkan oleh mentalitas pejabat daerah yang memang berorentasi untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, dan korporasinya,” ujarnya, Selasa (9/12/2014).
Berdasarkan hasil monitoring GeRAK Aceh, sepanjang 2014 terhadap 43 kasus korupsi di Aceh yang kini masih ditangani kepolisian, kejaksaan bahkan KPK. Kesemua kasus yang muncul sangat dipengaruhi oleh faktor unsur kesengajaan, bahkan dilakukan secara terstruktur dan terencana.
Sebagai contoh, kata dia, kasus korupsi Yayasan Cakra Donya yang anggarannya bersumber dari dana Aspirasi Anggota DPRA dari wilayah pemilihan Lhokseumawe dan Aceh Utara. Kasus ini diduga melibatkan satu keluarga pejabat di Lhokseumawe. Pengadilan sudah mengagendakan akan menyidangkan kasus ini mulai pekan depan.
Dana hibah dan bansos paling banyak terindikasi korupsi. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari 2009 sampai 2013, ditemukan fakta total kasus hibah mencapai 572 kasus yang berpotensi merugikan kerugian keuangan negara mencapai Rp468 miliar, dari total dana yang dikelola itu mencapai Rp500 miliar.
Askhalani menyayangkan sikap kepolisian dan kejaksaan di Aceh, yang minim menindak lanjuti temuan BPK dan masih terkesan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Selain itu, persoalan lain adalah dugaan intervensi penguasa kepada penegak hukum terhadap kasus korupsi yang ditangani.
“Tak jarang tersangkanya dijadikan ATM berjalan, dengan sengaja memperlama penanganan kasus,” ujarnya.
Dicontohkan seperti kasus dugaan korupsi pengadaan traktor di Dinas Pertanian Aceh, pengadaan boat 40 GT di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, kasus pengerukan Kuala Gigeng di Aceh Besar, kasus pengadaan alat kesehatan RSU Aceh Barat Daya, dan kasus lainya yang hingga kini belum jelas ditangani kepolisian maupun kejaksaan.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai juga kerap ikut memperlambat penuntasan sebuah kasus, dengan berlarut-larutnya audit. “Hal ini ditemukan pada kasus pengadaan Traktor di Dinas Pertanian Aceh, Kasus Alkes di RSU Abdya, Kasus korupsi di PDPL di Lhokseumawe,” sebut Askhalani.
Menurutnya, perlu adanya komitmen dan konsistensi secara nyata dari penegak hukum di Aceh, untuk memberantas korupsi yang membudaya di pemerintahan. Kalau tidak, anggaran yang melimpah dimiliki Aceh hingga beberapa tahun ke depan, tak akan berimbas pada kesejahteraan rakyat.
“Penyelesaian kasus korupsi adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik kepada aparat hukum dengan menyelesaikan seluruh kasus korupsi yang sudah ditangani," terangnya.
Masyarakat diajak ikut memerangi dan melaporkan seluruh kejahatan korupsi yang terjadi di sekitarnya, karena korupsi bagian dari kejahatan Hak Asasi Manusia yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar