okezone.com
Salman Mandira : Jurnalis
Jum'at, 12 Desember 2014 - 16:14 wib
BANDA ACEH – Dua kasus dugaan korupsi sektor lingkungan di Aceh dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan. Kasus tersebut adalah dugaan penjualan izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh Selatan kepada perusahaan asing dan penyalahgunaan izin atas hak guna usaha (HGU) di Aceh Tamiang.
Pelaporan dilakukan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh atas hasil investigasi yang telah mereka lakukan di dua kabupaten itu. “Ditemukan bahwa enam perusahaan tambang beroperasi di Aceh Selatan telah menjual konsesi kepada perusahaan asing asal Australia,” kata Askhalani, Koordinator GeRAK Aceh, di Banda Aceh, Jumat (12/12/2014).
Keenam perusahaan tersebut yakni PT BAM, PT MMU, PT MKM, PT AMN, PT AWC, dan PT ATP. Mereka telah mengantongi IUP konsesi pertambangan emas seluas 40 ribu hektare yang kemudian diduga kuat sudah dijual ke PT PRL, perusahaan konsorsium asal Australia.
Menurut hasil investigasi, kata Askhalani, IUP yang sudah dikantongi oleh keenam perusahaan itu diduga dijadikan angunan kepada pengusaha asing dengan potensi transaksi yang diperoleh senilai Rp1,5 miliar.
“Uang tersebut diberikan sebagai jaminan modal awal untuk memperoleh IUP dari Pemerintah Aceh Selatan. Uang awal yang telah diberikan itu patut diduga sebagai uang untuk melakukan transaksi penyuapan kepada pemerintah daerah dalam mempercepat pengesahan IUP yang diusulkan oleh pihak perusahaan,” ujarnya.
Dari investigasi lapangan yang dilaksanakan di 40 desa meliputi konsesi wilayah izin pertambangan keenam perusahaan itu, lanjut dia, ditemukan fakta hampir seluruh izin tidak diketahui oleh kepala desa, tokoh masyarakat, dan pemukim setempat.
“Ini menunjukkan bahwa proses perizinan keenam perusahaan tersebut diduga menyalahi aspek hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” ujarnya.
Dari enam perusahaan tambang itu, empat di antaranya diduga masuk kawasan hutan lindung. Data Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan pada 10 Juli 2014 menyebutkan bahwa keempatnya adalah PT AMN yang memiliki luas 9.444,27 ha, PT ATP 7.184,44 ha, PT BAM 1.317,13 ha, dan PT MKM 375,34 ha.
Askhalani mengatakan, IUP perusahaan tersebut diduga kuat tidak mengantongi dan memiliki amdal.
Kasus lain dilaporkan ke KPK dalam waktu bersamaan adalah indikasi tindak pidana penyalahgunaan izin atas HGU PT BL dan PT TR yang beroperasi di Kabupaten Aceh Tamiang.
PT BL diduga sudah mengubah peruntukan HGU sejak 2011 dengan menanam kelapa sawit secara serentak di wilayah bekas HGU bidang perikanan yang dikantongi izinnya. Perubahan ini dinilai ilegal karena dilakukan tanpa melakukan permohonan perubahan status.
GeRAK Aceh menduga ada permainan dalam perubahan ini. Sebab, di sekitar lokasi HGU berdiri patok panjang atas nama Badan Pertanahan Nasional (BPN).
PT BL dalam kegiatannya memiliki anak perusahaan, yakni PT TR yang juga memiliki aktivitas pembukaan hutan di wilayah sama dengan HGU diusulkan, PT TR yang bergerak pada penanaman dan pengembangan lahan kelapa sawit.
Askhalani menyebutkan, PT TR diketahui memiliki lahan sekira 450 ha. Sebanyak 250 ha di antaranya adalah kawasan rawa bakau dan mulai beroperasi sejak 1990.
“Dari hasil pendalaman terhadap perusahaan ini diketahui bahwa PT TR membagi wilayah kapling kerjanya terdiri dari Tanjong Raya 1, 2, dan 3, dan hasil penelusuran atas dokumen diketahui PT ini sama sekali tidak memiliki izin HGU,” tuturnya.
Kedua perusahaan tersebut terletak di Desa Bandar Khalifah, Kecamatan Bendahara dan Matang Seupeng, Kecamatan Banda Mulia. Sebagian areal kebun sawit termasuk kawasan hutan konservasi wilayah bakau.
Izin HGU dimiliki kedua perusahaan tersebut dinilai telah mematikan sumber pendapatan masyarakat dari sektor kelautan dan perikanan di wilayah pesisir Aceh Tamiang.
“Dari dokumen dan informasi yang diperoleh ada 3.000 hektare areal bakau telah ditanam perkebunan kelapan sawit. Padahal, areal bakau tersebut selama ini tempat pengembangbiakan udang, ikan, dan lainnya.”
GeRAK Aceh bersama Seknas Fitra mengaku telah melaporkan kedua kasus tersebut ke KPK dengan melengkapi bukti-bukti hasil investigasinya dengan nomor laporan 74707 dan 74708. “Penyelesaian kasus ini sangat penting dilakukan oleh KPK untuk memastikan upaya hokum,” katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar