Selasa, 23 Juni 2015

Dugaan Korupsi Dana Kerja, GeRAK Laporkan Mantan Wagub Aceh Ke KPK



Penulis: Redaksi - 24 April 2015



BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh pada 22 April 2015 telah melaporkan kasus dugaan korupsi Dana Kerja Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 Tahun Anggaran 2009 -2010 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan investigasi dugaan korupsi tersebut dilaporkan atas nama Muhammad Nazar.

Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatudin Tanjung kepada AcehNews.Net Kamis (23/4/2015) di Banda Aceh membenarkan kalau pihaknya telah melaporkan mantan Wagub Aceh, Muhammad Nazar ke KPK Rabu kemarin dengan tuduhan adanya indikasi korupsi atas dana kerja Wagub tahun anggaran 2009-2010.

“GeRAK sudah melaporkan kasus ini ke KPK, dengan nomor surat: 036/B/G-Aceh/IV/2015, dan menyerahkan seluruh bukti terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Wagub Aceh, Muhammad Nazar,” sebut Hayatudin.

Bukti yang diserahkan ke KPK antaranya, dokumen surat pernyataan yang disampaikan oleh masyarakat yang tidak menerima dana kerja dari mantan Wagub, tetapi nama-namanya tercantum di daftar pertanggung jawaban Wagub pada dana kerja tahun anggaran 2009-2010.

Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh ini menambahkan dalam penjelasannya, dokumen daftar nama penerima manfaat yang dapat diduga tidak digunakan sebagaimana usulan proposal dan berpotensi fiktif dan dokumen data pembanding antara dana kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2007-2012.

“Laporan dugaan korupsi dana kerja mantan Wagub Aceh ini merupakan pintu masuk awal untuk mengungkap sejumlah dugaan korupsi lainnya dalam penggunaan dana kerja tersebut. Berdasarkan hasil investigasi kami semakin banyak menemukan laporan dari masyarakat bahwa tidak pernah menerima uang dari mantan Wagub Aceh periode 2007-2012, tetapi nama-nama mereka tercantum dalam dokumen pertanggung jawaban tersebut.”paparnya.

Setelah GeRAK Aceh melakukan konferensi pers pada beberapa hari yang lalu, banyak kemudian masyarakat yang datang ke Kantor untuk membuat pernyataan bahwa tidak pernah menerima uang dari Dana Kerja Wakil Gubernur Periode 2007-2012. Padahal nama masyarakat tersebut tercantum dalam laporan pertanggung jawaban.

“Kami mendesak KPK untuk segera menindaklanjuti atas laporan dugaan korupsi Dana Kerja Wagub Aceh Periode 2007-2012 yang sudah GeRAK laporkan Rabu kemarin. Karena hasil investigasi ditemukan kuat dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dan berpotensi merugikan keuangan negara,” demikian kata Hayatudin.

Sementara itu, mantan Wagub Aceh, Muhammad Nazar yang sempat membantah soal tundingan GeRAK tersebut, saat dikonfirmasi AcehNews.Net via SMS lewat handphone pribadinya tidak membalas SMS konfirmasi yang meminta tanggapan atas laporan yang telah dilakukan GeRAK kepada KPK Rabu (22/4/2015) hingga berita ini diturunkan. (agus)
Posted by: Redaksi

Lima Bulan Buron, Mantan Bupati Aceh Utara Tertangkap di Medan



15 April 2015 16:40 Junaidi Hanafiah

Ilyas A Hamid tercatat terlibat dua kasus korupsi


Lima Bulan DPO, Mantan Bupati Aceh Utara Tertangkap di Sumut

BANDA ACEH - Mantan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, yang merupakan tersangka korupsi pinjaman kas Aceh Utara pada 2009 senilai Rp 7,5 miliar ditangkap di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Ilyas A Hamid telah lima bulan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), setelah ia tidak pernah memenuhi panggilan Kejaksaaan Tinggi (Kejati) Aceh.

Selasa (14/4), Kasi Penkum Kejati Aceh, Amir Hamzar menyebutkan, Ilyas A Hamid atau kerap disapa Ilyas Pasee ditangkap di kawasan Pondok Seng Dirama, Tuntungan 1, Medan, Senin (13/4) sekitar pukul 19.30 . Penangkapan dilakukan tim gabungan yang terdiri atas tim intelijen Kejaksaan Agung (KA) serta Kejati Sumut dan intelijen Kejati Aceh.

Menurut Amir Hamzar, Bupati Aceh Utara periode 2007-2012 tersebut langsung dibawa pulang ke Aceh, Selasa siang, untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus korupsi yang melibatkannya.

“Kami telah menetapkannya sebagai tersangka kasus pinjaman kas Aceh Utara tahun 2009 senilai Rp7,5 miliar. Saat dipanggil untuk dimintai keterangan, Ilyas Pasee tidak pernah hadir. Akhirnya, ia ditetapkan sebagai DPO,” tutur Amir Hamzah.


Ilyas A Hamid tercatat terlibat dua kasus korupsi. Menurut Amir Hamzah, selain kasus pinjaman kas Aceh Utara, Ilyas A Hamid merupakan tersangka dalam kasus kas bon Aceh Utara

“Sebelumnya, penyidik telah melimpahkan berkas mantan Kabag Ekonomi dan Investasi Aceh Utara, Melodi Thaher, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Ia juga diduga terlibat dalam kasus ini,” ucapnya.

Amir Hamzah mengatakan, berdasarkan bedah kasus tim penyidik dari Kejati Aceh, diketahui bahwa Ilyas A Hamid termasuk yang bertanggung jawab dalam pinjaman dana dari Bank Aceh senilai Rp7,5 miliar itu.

“Ilyas A Hamid selaku Bupati Aceh Utara saat itu memerintahkan dan mengarahkan tersangka Melodi Taher mengajukan pinjaman daerah ke Bank Aceh Cabang Lhokseumawe senilai Rp 7,5 miliar. Perintah atas nama pinjaman Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Utara itu terjadi pada 15 Oktober 2009,” tutur Amir Hamzah.

Ia melanjutkan, setelah pencairan dilakukan, dana pinjaman itu tidak masuk ke rekening kas umum daerah, tetapi dimasukkan ke rekening kredit nomor 04015901337 dan rekening giri 030 01.02.590056-6, atas nama Kabag Ekonomi dan Investasi yang specimen-nya ditandatangani Melodi M Taher.

“Setelah itu, dana pinjaman dari Bank Aceh dibagikan kepada orang-orang yang tidak ada hubungan dengan maksud atau tujuan pinjaman daerah tersebut. Ini semua dijalankan Melodi Thaher atas perintah tersangka Ilyas A Hamid. Hasil audit BPKP Aceh Nomor. SR-1121/PW01/05/2014 tanggal 2 juni 2014 mencatat, kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini Rp 7,5 miliar,” tutur Amir Hamzah.


Sumber : Sinar Harapan


Mantan Bupati Aceh Utara Dijebloskan ke Lapas

Rabu, 15 April 2015 - 16:07 wib Salman Mardira (Jurnalis)

okezone



BANDA ACEH - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mulai menahan Ilyas A Hamid alias Ilyas Pase, setelah lima bulan buron. Mantan Bupati Aceh Utara ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh terkait kasus korupsi peminjaman dana daerah.

Kepala Kejati Aceh, Tarmizi mengatakan, Ilyas Pase mulai ditahan sejak tadi malam sebagai tersangka kasus korupsi dana pinjaman Aceh Utara Rp7,5 miliar pada 2009.

"Ditahan di LP Banda Aceh," katanya, Rabu (15/4/2015). Bupati Aceh Utara periode 2007-2012 itu ditangkap di kediamannya di kawasan Pondok Seng Dhira Dharma, Tuntungan I, Kecamatan Pancurbatu, Deliserdang, Sumatera Utara, 13 April 2015.

Menurut Tarmizi, penangkapan Ilyas berawal dari koordinasi pihaknya dengan Kejati Sumut dan Adhyaksa Monitoring Center (AMC) Kejaksaan Agung. Hasil pelacakan melalui nomor pribadinya, Ilyas diketahui berada di Sumut. Setelah diringkus di rumahnya, Ilyas sempat ditahan di Mapoltabes Medan sebelum diterbangkan ke Aceh.

Ilyas tiba di Banda Aceh sore kemarin. Dengan pengawalan ketat aparat bersenjata, kesehatannya diperiksa. Kemudian dijebloskan ke Lapas Kelas IIA Banda Aceh di kawasan Lambaro, Aceh Besar.

Ilyas sendiri menjadi buronan sejak November 2014. Kejati Aceh memasukkan nama Ilyas dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah tak pernah memenuhi panggilan penyidik yang ingin memeriksanya terkait kasus pinjaman kas Aceh Utara senilai Rp7,5 miliar yang diduga menimbulkan korupsi.

Sebelum dijadikan tersangka kasus korupsi kas bon Rp7,5 miliar, Ilyas sudah divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Aceh, karena dinyatakan terlibat dalam kasus korupsi bobolnya kas Aceh Utara Rp220 miliar.

Menurut Tarmizi, pihaknya akan melanjutkan penyidikan kasus korupsi kas bon Aceh Utara yang diduga melibatkan Ilyas.
(abp)

Dasni Yuzar cs Divonis Bebas



Sabtu, 20 Juni 2015 - 15:40 WIB | Berita | Dilihat: 82 kali


Terdakwa Dasni Yuzar selaku pendiri Yayasan Cakradonya Lhokseumawe dalam menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Jumat (19/6/2015). SERAMBI/MASRIZAL


Terdakwa Dasni Yuzar selaku pendiri Yayasan Cakradonya Lhokseumawe melakukan sujud syukur usai mendengarkan putusan bebas dari majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Jumat (19/6/2015). Putusan serupa juga untuk Reza Maulana dan Amir Nizam selaku direktur dan sekretaris yayasan tersebut. SERAMBI/MASRIZAL


Terdakwa Dasni Yuzar selaku pendiri Yayasan Cakradonya Lhokseumawe usai mendengarkan putusan bebas dari majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Jumat (19/6/2015). SERAMBI/MASRIZAL


(Dari kanan ke kiri) Tiga terdakwa Dasni Yuzar, Amir Nizam, dan Reza Maulana selaku pendiri, sekretaris dan Direktur Yayasan Cakradonya Lhokseumawe dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Jumat (19/6/2015). Ketiganya divonis bebas karena tidak terbukti melakukan korupsi dalam kasus dana hibah dari Pemerintah Aceh ke yayasan tersebut. SERAMBI/MASRIZAL


Terdakwa Amir Nizam, sekretaris Yayasan Cakradonya Lhokseumawe sujud syukur usai vonis bebas dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Jumat (19/6/2015). SERAMBI/MASRIZAL


Reza Maulana, Direktur Yayasan Cakradonya Lhokseumawe usai mendengar vonis bebas dalam kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemerintah Aceh untuk Yayasan Cakradonya Lhokseumawe 2010 dengan kerugian Rp 1M, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Jumat (19/6). SERAMBI/MASRIZAL

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Jumat (19/6) memvonis bebas tiga terdakwa kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemerintah Aceh ke Yayasan Cakradonya Lhokseumawe pada 2010 dengan kerugian Rp 1 miliar. Ketiga terdakwa yaitu Dasni Yuzar, Reza Maulana dan Amir Nizam selaku pendiri, direktur, dan sekretaris yayasan dinyatakan tidak terbukti melakukan penyelewengan terhadap dana hibah tersebut.

Majelis Hakim memerintahkan jaksa untuk mengembalikan uang tunai sebesar Rp 1 miliar kepada Dasni Yuzar yang juga Sekdako Lhokseumawe ini setelah putusan berkekuatan tetap. Amar putusan disampaikan Hakim Ketua Ainal Mardhiah SH, MH, dan Hakim Anggota Zulfan Effendi SH. Sedangkan Hakim Anggota I, Syaiful Has’ari SH mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut. Namun, pendapatnya tidak mengubah dan mempengaruhi putusan majelis hakim.SERAMBI/MASRIZAL

Buron Lima Bulan, Ilyas Pase Jadi Tahanan Kejati Aceh



Selasa, 14 April 2015 - 20:09 WIB | Berita | Dilihat: 4.610 kali



Mantan bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid alias Ilyas Pase dikawal ketat oleh petugas saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Aceh Besar, Selasa (14/4/2015) sore. Setelah lima bulan ditetapkan dalam daftar pencarian orang (DPO) tersangka korupsi oleh Kejati Aceh, akhirnya mantan bupati Aceh Utara ini ditangkap di tempat persembunyiannya di Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut), Senin (13/4/2015) malam. SERAMBI INDONESIA/BUDI FATRIA

Rabu, 03 Juni 2015

Mantan Bupati Aceh Timur jadi Tersangka Korupsi



Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Tarmizi (Kiri). (ist)

Banda Aceh, HanTer - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan mantan Bupati Aceh Timur periode 1999-2006 berinisial AU sebagai tersangka kasus dugaan korupsi kas daerah senilai Rp88,5 miliar.

"Kami telah menetapkan tersangka AU sebagai tersangka korupsi Rp88,5 miliar. Tersangka AU merupakan mantan Bupati Aceh Timur," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Tarmizi di Banda Aceh, Selasa (31/3).

Sebelumnya, dalam kasus yang sama, Kejaksaan Tinggi Aceh juga menetapkan JF, mantan Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemerintah Kabupaten Aceh Timur sebagai tersangka.

AU, kata Tarmizi, merupakan atasan JF saat dugaan praktik korupsi terjadi. Tersangka AU memerintahkan tersangka JF membayar kegiatan tahun 2004 dengan dana tahun anggaran 2005.

"Seharusnya ini tidak boleh. Kegiatan tahun lalu tidak boleh dibayarkan dari anggaran tahun berjalan. Dan tersangka AU selaku Bupati Aceh Timur saat itu memerintahkan bendahara daerah untuk membayarnya," kata Tarmizi.

Tarmizi memaparkan dugaan korupsi tersebut dilakukan pada tahun anggaran 2005 dan 2006. Pada 23 Maret 2005, tersangka AU memerintahkan BUD membayar kegiatan dinas tahun 2004.

"Dana yang digunakan untuk membayar kegiatan dinas tersebut bersumber dari dana bagi hasil migas triwulan empat tahun 2004 yang masuk bulan Februari tahun 2005," ungkap dia.

Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, pembayaran kegiatan dinas tersebut tanpa didasari dokumen yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta bekerja tidak sesuai dengan peraturan UU perbendaharaan negara.

Kemudian, tersangka AU secara terus menerus mengeluarkan cek yang ditandatanganinya tanpa didasari dokumen yang sah hingga akhir masa jabatan pada Desember 2006.

"Dugaan korupsi ini diketahui setelah adanya audit usai pergantian bendara umum Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Hasilnya diperoleh selisih kas yaitu antara rekening bank dengan buku kas," kata dia.

Tarmizi mengatakan, pihaknya segera memanggil AU untuk diperiksa dalam statusnya sebagai tersangka. Termasuk memintai keterangan saksi-saksi dalam kasus tersebut.

"Tersangka AU dijerat secara berlapis yakni Pasal 2 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberatasan korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke I," kata Tarmizi.

Kejati Aceh Tangani 216 Kasus Korupsi


(Analisa/agustia saputra) RESMIKAN GEDUNG: Kajati Aceh Tarmizi didampingi Kajari Blangpidie meresmikan Gedung IAD di kompleks kejari setempat saat melakukan kunjungan dan silaturahmi dengan Pemkab Abdya, Selasa (17/3).

Blangpidie, (Analisa). Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh Tarmizi SH MH, Selasa (17/3) menyebutkan, hingga saat ini pihaknya tengah menangani 216 kasus tindak pidana korupsi di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Dia mengungkapkan itu di hadapan Bupati Aceh Barat Daya (Abdya) Jufri Hasanuddin, Ketua DPRK Abdya Zulkifli Isa, Kajari Blangpidie Umar Z, Kapolres Abdya AKBP Budi Samekto SIK, Kasdim 0110/Abdya Mayor Inf Kristanto, serta sejumlah pejabat daerah lainnya saat melakukan kunjungan kerja di kabupaten itu.

Menurutnya, selain menangani kasus korupsi, pihaknya juga menangai kasus narkoba yang saat ini telah mencapai 800 kasus dan disusul kasus pelecehan seksual terhadap anak.

“Mulai dari kasus korupsi hingga pelecehan seksual, penanganannya bervariasi, ada yang masih dalam tahap penyelidikan dan ada yang telah disidangkan,” sebutnya.

Di bagian lain dikatakannya, pengelolaan keuangan negara sebenarnya telah diatur dengan sebaik mungkin oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bahkan, tidak ada yang salah dalam program-program yang telah diatur itu.

Tambahan, ada inspektorat yang membantu kepala daerah dalam pengawasan penggunaan anggaran negara. Tentunya pemangku kebijakan juga tidak memiliki niat untuk melakukan penyelewengan uang rakyat ini.

Hanya saja, dalam perjalanannya, terdapat beberapa ketimpangan yang tanpa disadari telah dilakukan serta terindikasi korupsi. “Saya meminta kepada Bupati Abdya, Kejari Blangpidie, Dandim 0110/Abdya, dan Kapolres untuk melakukan pengawasan dan memaksimalkan penegakan hukum yang telah diatur dalam undang-undang,” ujarnya.

Lebih lanjut dikatakan, target Kejati Aceh adalah menyelamatkan uang negara yang telah dikorupsi dan tidak memilik target lain, seperti keinginan memenjarakan orang dan sebagainya.

“Kami hanya berniat mengembalikan uang negara dan tidak memiliki tujuan lain. Semoga kehadiran saya ke Abdya ini dapat memberikan angin segar,” harapnya.

Sementara itu, Bupati Jufri Hasanuddin mengatakan, selaku kepala daerah dia mengapresiasi kunjungan Kajati Aceh ini karena dapat memberikan masukan dan pemahaman terkait penegakan hukum di Abdya. “Oleh karenanya, kami mengharapkan agar Kajati dapat memberikan arahan dan masukan sehingga hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan undang-undang dapat diminimalisir,” harapnya.

Kajati Aceh beserta rombongan tiba di Blangpidie sekitar pukul 09.30 WIB melalui jalur udara dan disambut Bupati Abdya beserta unsur muspida lainnya.

Sesaat tiba, Tarmizi beserta rombongan menuju Kejari Blangpidie untuk meresmikan gedung Ikatan Adhyaksa Dharma karumi (IAD) sekaligus melakukan pertemuan tertutup dengan pegawai kejari setempat.

Usai itu, Tarmizi didampingi Bupati Abdya langsung menuju pendopo bupati untuk melakukan temu ramah dengan unsur Muspida, pejabat daerah, tokoh agama dan masyarakat setempat. (ags)

Polres Usut Dugaan Korupsi Rp2,6 Miliar di Dinkes Aceh Utara



Masriadi Sambo - Sabtu, 30-05-2015 17:38



Polres Aceh Utara menyatakan telah meningkatkan status dugaan korupsi di Dinas Kesehatan setempat dari penyelidikan ke penyidikan. Kasus tersebut mulai disidik sejak 17 Februari 2015 lalu dan ditingkatkan statusnya sejak Jumat (29/5).

Banda Aceh, Aktual.co — Polres Aceh Utara menyatakan telah meningkatkan status dugaan korupsi di Dinas Kesehatan setempat dari penyelidikan ke penyidikan. Kasus tersebut mulai disidik sejak 17 Februari 2015 lalu dan ditingkatkan statusnya sejak Jumat (29/5).

Dugaan korupsi di dinas itu yakni pada program peningkatan kesehatan termasuk dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program pengadaan sarana dan prasarana Puskesmas dan Pustu se-Aceh Utara serta program administrasi perkantoran.

Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi kepada Aktual.co, Sabtu (30/5) mengatakan, dugaan kerugian negara dari ketiga program itu mencapai Rp2,6 miliar. Dia merincikan, dana untuk tiga program itu bersumber dari APBK Aceh Utara 2014 sebesar Rp1,1 miliar, dan APBK Aceh Utara 2015 sebesar Rp1,5 miliar.

“Penyidik telah memintai keterangan saksi seratusan orang. Termasuk bendahara di 31 Puskesmas dalam Kabupaten Aceh Utara,” ujar AKBP Achmadi. Saat ditanya siapa tersangka dalam kasus itu? AKBP Achmadi menyebutkan pihaknya akan mempublikasikan nama tersangka dalam waktu dekat ini.

“Saat ini, untuk kepentingan penyidikan kita belum publikasikan nama tersangka. Tim penyidik sudah mendeteksi siapa yang bertanggungjawab dalam kasus itu,” ujarnya.

Sementara itu, Kadis Kesehatan Aceh Utara, dr. Efendi menyebutkan dirinya tidak mengetahui detail soal ketiga program tersebut. Dia meminta Aktual.co menghubungi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) program itu, Arbi. Namun, dihubungi berkali-kali serta mengirimkan pesan singkat, Arbi belum menjawab pertanyaan wartawan Aktual.co.

“Detailnya saya belum tau soal program yang disidik di Polres. Coba hubungi KPA saya, Arbi,” pungkas Efendi.

Korupsi; Antara Mindanao dan Aceh





19 May 2015 06:00 - portalsatu.com

PEKAN lalu mantan Bupati Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim ditahan Polda Aceh karena tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Sebelumnya Kejaksaan Tinggi menangkap dan menjebloskan mantan Bupati Aceh Utara Ilyas A. Hamid ke penjara.

Di balik itu ada cerita menarik terselip di belakangnya. Baik Akmal maupun Ilyas, merupakan bupati pertama yang naik lewat pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) di daerah masing-masing. Pilkadasung pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang pertama kali dihajat pada 2006 silam. Aceh ketika itu menjadi daerah pertama pula yang melaksanakan pemilihan kepala daerah model ini. Percaya atau tidak pilkada model ini melahirkan sejumlah ‘rising star’ di tiap-tiap daerah.

Misalnya tak sedikit di antara mereka yang bukan politisi maupun birokrat memenangkan pemilihan. Khususnya di Aceh, banyak mantan kombatan GAM yang berhasil mengambil peluang ini. Mereka berhasil merebut hati rakyat. Buah dari perdamaian antara RI dengan GAM.

Perdamaian di Aceh melahirkan sejumlah konsesi. Salah satunya adalah partisipasi politik aktif bagi mantan kombatan GAM. Ini menjadikan pertarungan politik lokal terbuka lebar. Sejatinya melahirkan pemimpin yang benar-benar demokratis. Dan dengan itu akan semakin memperkuat perdamaian dan pembangunan.

Tapi realitanya bisa dibilang jauh panggang dari api. Di sejumlah daerah malah sangat carut marut sistem birokrasinya. Bahkan cenderung partisan. Pengelolaan keuangan daerah juga kacau dan berekor pada permasalahan yang tak kunjung selesai. Pembangunan amburadul. Kalau dijabarkan tentu sangat panjang dan banyak.

Sistem pilkada langsung ini ternyata tidak mampu diterjemahkan rakyat untuk memilih pemimpin yang melayani. Hasilnya rakyat menjadi pihak yang sangat dirugikan.

Kondisi ini juga terjadi di negara lain. Katakanlah seperti yang terjadi di Mindanao. Pasca terjadinya perdamaian, pemerintah Filipina memberi banyak konsesi politik untuk Mindanao. Sehingga pada waktu itu pemimpin tertinggi Mindanao National Liberation Front atau MNLF, Dr. Nurmisuari, menjadi gubernur otonomi Mindanao.

Apa yang terjadi kemudian? Wilayah itu menjadi aman dan damai. Tapi gagal dalam mewujudkan pembangunan. Korupsi merajalela. Rakyat tetap miskin. Perilaku para elit jauh dari harapan ideal. Hal ini memunculkan organisasi sempalan yang disebut Mindanao Islam National Liberation Front atau MINLF. Kita kenal dengan panglima robot. Kelompok sempalan ini sangat kuat dan ekstrem. Bahkan Amerika Serikat pun turun tangan untuk menumpas kelompok ini.

MNLF yang dipimpin Nurmisuari kemudian dihukum rakyat dalam pemilu selanjutnya. Mereka kalah telak. Nurmisuari kembali memberontak namun apa daya, tak ada lagi yang mau jadi pengikutnya. Ia lantas lari ke Malaysia dan tertangkap yang akhirnya kembali dideportasi ke Filipina dan mendekam di penjara.

Ini adalah sepenggal kisah tragis tentang tokoh pemberontak yang didukung masyarakat Islam. Nurmisuari melawan pemerintah yang didominasi umat Katolik. Kasus ini hendaknya menjadi pelajaran, bahwa orang sekharismatik itu bisa dijauhi pendukungnya. Kesalahan yang dilakukan Nurmisuari ketika menjadi gubernur adalah melakukan praktek korupsi.

Kasus ini mirip yang terjadi di Aceh. Ada tiga mantan bupati yang terjerat; Abdya, Aceh Utara dan Bireuen. Kita tidak berharap apa yang terjadi di Mindanao terjadi di Aceh. Kita tidak ingin pemimpin kehilangan kepercayaan dari rakyat. Idealnya pemimpin tidak boleh jauh-jauh dari rakyat. Ide-ide tentang idealisme harus dibumikan. Ini untuk mencegah agar tidak bertambahnya pemimpin yang masuk ke penjara.

Cukuplah Ilyas atau Akmal yang menjadi contoh dari kusutnya wajah suram sistem birokrasi kita. Kita mungkin sudah terbiasa dengan cerita tentang kegagalan. Tapi berakhirnya masa jabatan yang berujung ke balik jeruji hendaklah menjadi sesuatu yang tabu. Yang harus dihindari dan bahkan jangan sampai dibicarakan sama sekali karena itu sangat memalukan. Yang perlu diingat oleh para pemimpin adalah, mandat rakyat itu ibarat ‘doa’ seorang ibu. Yang bisa berubah menjadi petaka manakala itu diabaikan.[]

Tiga Program Dinas Kesehatan Aceh Utara Rp 2,6 Miliar Terindikasi Korupsi





29 May 2015 19:45 - Zulkifli Anwar

LHOKSUKON - Sebanyak tiga program Dinas Kesehatan Aceh Utara yang bersumber dari APBK 2014 dan 2015 terindikasi korupsi dengan kisaran Rp 2,6 Miliar. Kasus dugaan korupsi itu telah ditangani Polres Aceh Utara sejak Februari 2015 lalu.

Tiga program tersebut masing – masing, pengadaan sarana dan prasarana Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (pustu), upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan administrasi perkantoran.

Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi, melalui Kasat Reskrim AKP Mahliadi kepada portalsatu.com, Jumat 29 Mei 2015 menyebutkan, dalam kasus dugaan korupsi tersebut, pihaknya telah memeriksa lebih dari 100 saksi.

“Saksi yang kita periksa berasal dari seluruh puskesmas dan pustu yang ada di Aceh Utara. Setelah melakukan gelar perkara di Polda Aceh, hari ini (sabtu-red) status kasus berubah dari penyelidikan menjadi penyidikan,” ujarnya.

Dijelaskan, Rp 2,6 Miliar yang terindikasi korupsi itu terbagi dua tahap. Masing – masing Rp 1,1 Miliar pada tahun 2014 dan Rp 1,5 Miliar pada tahun 2015.

“Kasus ini masih kita dalami. Calon tersangka sudah ada, namun masih butuh pendalaman lebih lanjut,” kata AKP Mahliadi. [] (mal)

MaTA Desak Polisi Serius Usut Kasus Korupsi Dana Kesehatan Aceh Utara





29 May 2015 21:15 - MURDANI ABDULLAH

ACEH UTARA – Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mengatakan jika kasus dugaan korupsi Dinas Kesehatan Aceh Utara sudah tahap penyidikan, maka sudah ada tersangka.

“Bukan lagi calon tersangka. Kita harap polisi segera umumkan ke publik, penyidikan harus menyeluruh, artinya siapa pun terima aliran dana hasil korupsi wajib di tetapkan tersangka. Jangan setengah-tengah dan jangan lindungi bandit-bandit negara,” kata Alfian melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi portalsatu.com, Jumat malam 29 Mei 2015.

MaTA mengaku sangat khawatir dengan pengalaman selama ini. Pasalnya, penyidikan dalam kasus korupsi selalu tidak tuntas terutama para pihak yang terlibat.

“Kita berharap polisi transparan, jangan sampai di tengah jalan muncul alasan aneh-aneh sehingga kasusnya macet. Dalam kasus ini publik dapat menilai sejauh mana komitmen polisi serius dalam menjaga kewibawaan lembaganya dan keuangan negara,” ujarnya.

Kata Alfian, MaTA tetap konsisten mengawal terhadap penyidikan kasus kejahatan luar biasa tersebut. “Alasan ini sangat mendasar kalau polisi udah memanggil 100 saksi, tentu alat buktinya sudah mareka miliki. Minimal dua alat bukti, apa lagi sudah melakukan gelar perkara,” ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, sebanyak tiga program Dinas Kesehatan Aceh Utara yang bersumber dari APBK 2014 dan 2015 terindikasi korupsi dengan kisaran Rp 2,6 Miliar. Kasus dugaan korupsi itu telah ditangani Polres Aceh Utara sejak Februari 2015 lalu.

Tiga program tersebut masing – masing, pengadaan sarana dan prasarana Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (pustu), upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan administrasi perkantoran.

Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi, melalui Kasat Reskrim AKP Mahliadi kepada portalsatu.com, Jumat 29 Mei 2015 menyebutkan, dalam kasus dugaan korupsi tersebut, pihaknya telah memeriksa lebih dari 100 saksi.

“Saksi yang kita periksa berasal dari seluruh puskesmas dan pustu yang ada di Aceh Utara. Setelah melakukan gelar perkara di Polda Aceh, hari ini (sabtu-red) status kasus berubah dari penyelidikan menjadi penyidikan,” ujarnya.

Dijelaskan, Rp 2,6 Miliar yang terindikasi korupsi itu terbagi dua tahap. Masing – masing Rp 1,1 Miliar pada tahun 2014 dan Rp 1,5 Miliar pada tahun 2015.

“Kasus ini masih kita dalami. Calon tersangka sudah ada, namun masih butuh pendalaman lebih lanjut,” kata AKP Mahliadi. [] (mal)

Polisi Temukan Indikasi Korupsi Rp 2,6 Miliar di Dinkes Aceh Utara



29 May 2015 21:37



KBRN, Lhoksukon : Polres Aceh Utara menemukan indikasi korupsi di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Aceh Utara, dengan potensi kerugian negara diduga mencapai Rp 2,6 Miliar. Hal itu dikatakan Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi, saat mengelar Konferensi Pers diruang Press Room Polres setempat, Jumat (29/5/2015) Sore.

Pada konferensi pers tersebut, Kapolres Aceh Utara, AKBP Achmadi, didampingi Kabag Ops, AKP Edwin Aldro, Kasat Reskrim AKP Mahliadi SH dan Kanit Tindak pidana korupsi (Tipikor) Ipda Sudiya Karya.

Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi, menyebutkan, sejak 17 Februari 2015, kasus tersebut masih tahap lidik, dan mulai Jumat (29 Mei 2015), kasus tersebut sudah ditingkatkan dari peyelidikan ke penyidikan.

“Kita sudah memeriksa seratusan saksi, termasuk para bendahara 31 Puskesmas yang ada di Aceh Utara, dan beberapa orang. Penyidik dari Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Aceh Utara sudah mengantongi calon tersangka. Namun, untuk keperluan pengembangan dan pendalaman kasus ini, belum bisa di publikasikan,“ kata AKBP Achmadi, Jumat (29/5/2015).

Dijelaskan, dugaan korupsi dan penyelewengan dana terjadi di beberapa program, antara lain program upaya peningkatan kesehatan yang didalamnya juga ter-include dana jasa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program pengadaan sarana dan prasarana puskesmas dan pustu serta program administrasi perkantoran.

“Kita sedang memilah-milah sesuai peran masing-masing. Setelah tahapan itu selesai, baru kita tetapkan tersangka. Sedangkan potensi kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp, 2,6 Miliar, yaitu akumulasi dua tahun anggaran berjalan, yakni Tahun Anggaran 2014 ,senilai Rp 1 Miliar lebih dan Tahun Anggaran 2015, Rp 1, 5 Miliar,“ terang Kapolres. (Iful/DS)

Mantan bupati Aceh Timur tersangka korupsi Rp 88,5 miliar






stikornews.co.id-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan Bupati Aceh Timur periode 1999-2006 berinisial AU (Azman Usmanuddin) sebagai tersangka korupsi senilai Rp 88,5 miliar. Penetapan AU menjadi tersangka secara resmi dilakukan pada Selasa (31/3) kemarin.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh Tarmizi mengatakan, ditetapkannya AU sebagai tersangka setelah penyidik menemukan bukti kuat AU turut terlibat dan wajib bertanggung jawab atas kebobolan kas Aceh Timur Rp 88,5 miliar ini.

"Dengan demikian, dalam kasus ini penyidik telah menetapkan dua tersangka, Jufri dan AU. Jufri saat ini sedang dalam proses sidang dan sudah kita tahan sejak 26 Februari 2015. Sementara AU baru kita tetapkan tersangka," kata Kajati Aceh, Tarmizi melalui Kasipenkum Amir Hamzah, Rabu (1/4).

Sebelumnya penyidik Kejati Aceh juga telah menetapkan mantan Bendahara Umum Daerah (BUD) Kabupaten Aceh Timur, Jufri sebagai tersangka. Pada 26 Februari 2015, Jufri sudah ditahan penyidik di Rutan Kajhu Aceh Besar dan kini sedang menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor Banda Aceh.

Kasus kebocoran kas Aceh Timur ini terungkap dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas keuangan Aceh Timur tahun 2006. Pada Februari 2006 Jufri sebagai BUD menerima surat dari Bupati Aceh Timur waktu itu yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, AU untuk mencairkan dana kepada dinas-dinas sesuai Surat Perintah Membayar (SPM). Namun demikian, dalam mengeluarkan kas, tersangka Jufri tidak didasari dokumen-dokumen lengkap.

Pencairan tanpa dokumen itu dilakukan tersangka secara terus menerus hingga akhir Desember 2006. Hasil evaluasi tahun 2007 saat pergantian BUD dari tersangka Jufri kepada Ilyas ditemukan selisih pencairan anggaran yang signifikan. Hasil audit BPK jumlahnya mencapai Rp 88,5 miliar.

Jufri ditetapkan menjadi tersangka pada 12 Juni 2014 setelah memeriksa sekitar 20 orang sejak kasus masih penyelidikan akhir tahun 2013. Jufri kemudian ditahan penyidik Kejati Aceh pada 26 Februari 2015. Dan, 31 Maret 2015 penyidik Kejati kembali menetapkan mantan bupati berinisial AU sebagai tersangka.

Dalam kasus ini tersangka Jufri dan AU dijerat dengan Pasa 2 ayat (1) Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang RI No.31/1999 jo Undang-undang No.20/2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Polda Aceh Tahan Mantan Bupati Abdya Akmal Ibrahim



Kamis, 14 Mei 2015 19:20



Laporan Masrizal | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Aceh resmi menahan mantan bupati Kabupaten Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim, Kamis (14/5/2015). Dit Reskrimsus menduga Akmal melakukan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang pada pengadaan tanah untuk pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) di Dusun Lhok Gayo, Desa Pantee Rakyat, Kecamatan Babahrot, Abdya, senilai Rp 793.551.000.

Direktur Reskrimsus, Kombes Drs Joko Irwanto MSi mengatakan, saat menjabat sebagai Bupati Abdya, Akmal melakukan pengadaan tanah untuk pembangunan PKS. Tapi, tanah yang dibelinya dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Abdya 2011, ternyata milik negara yang mengatasnamakan masyarakat setempat.

Menurut Joko, pihaknya baru mengusut kasus tersebut pada 2013 dan menetapkan mantan Bupati Abdya, Akmal Ibrahim sebagai tersangka utama. Akmal diancam dengan Pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.

“Untuk saat ini kita baru menahan satu tersangka, tidak menutup kemungkinan tersangkanya akan bertambah,” katanya kepada media.(*)

Kejati Diminta Usut Aktor Lain Kasus Korupsi di DPKKA



Sabtu, 21 Februari 2015 16:42

BANDA ACEH - Peneliti hukum LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Sariyulis, meminta pihak Kejati Aceh mengusut aktor lain dalam kasus korupsi dana migas Rp 22 miliar lebih di Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA).
Sariyulis menyampaikan hal ini menanggapi langkah penyidik Kejati Aceh yang sudah menetapkan mantan kepala DPKKA, Drs Paradis MSi bersama dua mantan pejabat DPKKA sebagai tersangka korupsi dana migas Rp 22 miliar lebih saat ketiganya masih berkiprah di dinas tersebut, seperti diberitakan Serambi kemarin.

“MaTA menduga ada keterlibatan oknum lain dalam kasus tersebut. Karena itu, kami mendesak Kejati benar-benar serius menelusuri aktor lainnya, mengingat besarnya kerugian keuangan Aceh dalam kasus ini,” tulis Sariyulis lewat siaran pers kepada Serambi kemarin.

Apalagi, menurutnya, selama ini mereka menilai Kejati Aceh masih lemah menelusuri aliran dana dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi (tipikor) di Aceh.

“Dilihat dari pola penutupan bobolnya kas menggunakan 22 miliar rupiah lebih dana migas, besar kemungkinan peruntukan kas yang sudah bobol melibatkan sejumlah oknum, terutama mereka yang berkuasa, sehingga bisa memerintahkan penutupan kas yang bobol itu menggunakan dana migas,” ujar Sariyulis.

Berhentikan tersangka

Sariyulis juga mendesak Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah memberhentikan ketiga tersangka dari jabatan PNS. Hal ini sesuai dengan komitmen Pemerintah Aceh memberantas korupsi di daerah ini. Selain itu, pemberhentian tersangka korupsi ini juga diatur dalam Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001.

Seperti diberitakan Serambi kemarin, selain Paradis, dua mantan pejabat lainnya yang sudah ditetapkan tersangka dalam perkara ini adalah M dan H. Intinya berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh bahwa pada 2012 bahwa terjadi kekurangan kas Aceh Rp 33 miliar lebih. Kemudian, BPK meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh menelusuri bobolnya kas ini.

Hasilnya kas Aceh itu memang kekurangan Rp 33 miliar lebih, tetapi kemudian pihak DPKKA mengembalikan kekurangan anggaran 2011 sebesar Rp 8 miliar. Sedangkan kekurangan kas Rp 2 miliar pada 2011 ternyata keliru karena hanya kesalahan pencatatan.

Kemudian, Kajati mengungkapkan sisa kekurangan Rp 22 miliar lebih dari anggaran di bawah 2010 yang ditutupi pihak DPKKA menggunakan dana migas. (sal)