Selasa, 24 September 2013

Mantan Rektor Unsyiah Dijebloskan ke Penjara terkait Dugaan Korupsi Beasiswa




Riky Syah Putra
Nanggroe | 24/09/2013





BANDA ACEH - Mantan Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Prof. Darni M Daud, Selasa (24/9), ditahan jaksa penuntut umum terkait kasus dugaan korupsi Rp3,6 miliar di kampus ternama di Aceh tersebut.

Sebelum ditahan, Prof Darni M Daud yang ditetapkan sebagai tersangka beberapa bulan lalu sempat diperiksa selama enam jam, sejak tadi pagi pukul 10.00 WIB hingga 16.00 WIB sore tadi, di ruang Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh.

Selain Darni, jaksa penuntut umum juga menahan Prof M Yusuf Aziz dan tersangka Mukhlis, yang keduanya merupakan dosen dan pejabat di rektorat Unsyiah yang juga terlibat tersebut. Ketiganya diduga menyelewengkan uang beasiswa mahasiswa bantuan Pemerintah Aceh dan DIPA Unsyiah.

Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh Husni Thamrin kepada wartawan mengatakan, penahanan dilakukan untuk mempermudah proses hukum ketiga tersangka, terutama saat persidangan nanti.

"Selain untuk memperlancar persidangan, alasan penahanan tersangka yaitu agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan bukti, serta tidak mempengaruhi para saksi. Ketiga tersangka dititipkan di Rutan Kelas II B Kahju,Aceh Besar, selama 20 hari. Penahanan ini bisa diperpanjang," ujarnya.

Berkas perkara ketiga tersangka, kata Kajari, dibuat terpisah. Untuk tersangka Prof Darni M Daud dibuat satu berkas dan tersangka Prof M Yusuf Aziz dan Mukhlis satu berkas. Pemisahan berkas dilakukan sejak di jaksa penyidik.

Dalam perkara ini, Kajari menjelaskan,  Prof Darni M Daud diduga menyelewengkan beasiswa program jalur pengembangan daerah atau JPD dari Pemerintah Aceh tahun anggaran 2009-2010 sebesar Rp1,7 miliar. Sedangkan tersangka Prof M Yusuf Aziz dan tersangka Mukhlis, kata dia, terlibat dugaan penyelewengan beasiswa guru daerah terpencil mencapai Rp1,8 miliar.

"Dalam kasus ini, Prof M Yusuf Aziz melakukan pencairan ganda, pertama mencairkan dari anggaran Pemerintah Aceh dan kedua dari DIPA Unsyiah yang bersumber dari APBN. Jadi, total kerugian negara berdasarkan hasil audit mencapai Rp3,6 miliar," kata Husni Thamrin.(Riky Syah Putra)

ABDULLAH SALEH : Dewan Menerima Dana TKI Tidak Melanggar Hukum



Fauzul Husni
Nanggroe | 24/09/2013


BANDA ACEH - Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Abdullah Saleh menghimbau kepada Anggota DPRA periode 2004 - 2009  yang pernah menerima dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) untuk tidak resah. Hal itu karena menurutnya, anggota dewan yang menerima dana TKI tersebut bukanlah perbuatan melanggar hukum.

"Landasan hukumnya bagi anggota DPRD Propinsi maupun DPR Kabupaten/Kota dalam hal menerima dana TKI itu sangat jelas yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.37 tahun 2006 Tentang dana Tunjangan Komunikasi Intensif bagi anggota DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota. Soal PP tersebut kemudian dibatalkan dengan PP No.21 tahun 2007, itu tidak bermakna atas apa yang telah dijalan berdasarkan PP sebelumnya yang telah batal," kata Abdullah Saleh kepada acehonline.info, Selasa (24/9), di Banda Aceh.

Jika demikan, Abdullah Saleh menjelaskan, semua pihak khsusnya dewan tidak akan berani untuk menjalankan sebuah Peraturan Pemerintah (PP), dikarenakan kekhawatiran denan PP lainnya ke depan yang akan membuat PP sebelumnya batal.

"Apa yang kami dijalankan sudah berdasarkan peraturan sebelumnya, sedangkan terkait Surat Edaran Mendagri No.555/3032/SJ Tahun 2009 yang meminta pengembalian dana TKI tersebut juga tidak mempunyai kekuatan mengikat," ujar politisi Partai Aceh ini.

Pemerintah, Abdullah Saleh menilai, telah membuat kebijakan yang keliru, dimana satu sisi telah menerbitkan PP memberi dana TKI untuk anggota DPRD, yang selanjutnya membatalkannya dan menagih kembali dana yang telah diberikan tersebut.

"Ini sudah jelas bahwa kebijakan Pemerintah yang aneh. Untuk itu saya tegaskan, anggota dewan pada waktu itu sah menerima dana TKI dan tidak ada perbutan yang melanggar hukum. Tidak ada unsur menyalahgunakan wewenang dan tidak ada aturan yang dilanggar," imbuh Abdullah Saleh yang sebelumnya juga merupakan Anggota DPRA Periode 2004-2009 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).(Fauzul Husni)

Anggota DPRA Belum Lunasi Pengembalian Dana TKI, GeRAK Surati Mendagri




Saradi Wantona
Nanggroe | 24/09/2013





BANDA ACEH - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh akan menyurati Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait masih banyaknya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Periode 2004-2009, yang belum melunasi pengembalian Dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Dana Operasional Pimpinan DPRA.

Hal tersebut merupakan tindak lanjut oleh GeRAK Aceh terhadap kesepakatan bersama antara DPRA dengan GeRAK Aceh dalam Sidang Ajudikasi yang difasilitasi oleh Komisi Informasi Aceh.

"Kami akan segera menyurati Mendagri, agar jelas kepastian hukum bagi anggota yang belum lunas atau masih menyicil," kata  Isra Safril, Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh kepada acehonline.info , Senin (23/9), usai Sidang Pembacaan Putusan oleh Komisi Informasi Aceh (KIA) di Aula Seuramoe Informasi Aceh.

Putusan dan balasan dari Mendagri, Isra menjelaskan, akan menjadi kekuatan bagi GeRAK Aceh untuk melakukan publikasi data Anggota DPRA yang masih menunggak pengembalian dana Tki tersebut.

"Jika balasan dari Mendagri belum ada, sesuai keputusan sidang, GeRAK Aceh masih tidak diperbolehkan mempublikasi ke publik," papar Isra Safril.

Dari 69 anggota DPRA periode 2004-2009,  kata Isra, baru belasan yang sudah melunasi pengembalian dana tersebut secara keseluruhan. 

"Masih banyak yang belum lunas. Nantinya, jika sudah ada balasan dari pihak Kemendagri, GeRAK akan segera mempublikasi melalui media massa," imbuh Isra.

Seperti diketahui, Anggota DPRA periode 2004-2009 menerima sejumlah dana Tunjangan Komunikasi Intensid dan Bantuan Penunjang Operasional (BPO). Sesuai PP No. 21 Tahun 2007 dan Permendagri No. 21 Tahun 2007 ditegaskan bahwa, Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima TKI dan BPO, harus melunasi dan menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah. Namun hingga kini, masih banyak anggota dewan yang belum mengembalikan dana tersebut.(Saradi Wantona)

GeRAK Tetap Pertanyakan Dana TKI Anggota DPRA

Serambi Indonesia

Senin, 9 September 2013 10:21 WIB


* Besok Sidang Ajudiksi
BANDA ACEH - Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh masih tetap gigih mempertanyakan kelanjutan dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) anggota DPRA. Apakah sudah semua anggota dewan membayar lunas atau mencicilnya dan berapa orang lagi yang hingga kini masih menunggak.
Terkait dengan wacana itu, GeRAK Aceh akan memenuhi panggilan sidang ajudikasi yang disampaikan petugas kepaniteraan Komisi Informasi Aceh (KIA), Drs Yusran MSi terkait sengketa informasi publik menyangkut dana TKI anggota DPRA pada Selasa (10/9) besok di Aula Seuramoe Informasi Aceh, Banda Aceh pukul 10.00 WIB.
“Agenda surat panggilan ajudikasi dengan nomor 002/KIA/VIII/2013 tertanggal 3 September 2013 ini adalah pemeriksaan awal,” kata Kepala Divisi Kebijakan Publik Isra Safril, kepada Serambi, Minggu (8/9).
Surat panggilan dari KIA ini, kata dia, merupakan tindak lanjut dari permohonan yang diajukan GeRAK pada 11 April 2013 lalu bernomor 039/B/G-Aceh/IV/2013 kepada Sekwan DPR Aceh. Dalam surat permohonannya, GeRAK meminta data/dokumen tentang Dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPR Aceh kepada Sekwan DPR Aceh.
“Kita ingin tahu daftar anggota DPR Aceh periode 2004-2009 yang sudah dan belum melunasi serta yang masih menyicil dana-dana tersebut,” ujarnya.
“Karena tak ada konfirmasi dan balasan dari Sekretariat DPR Aceh terhadap surat tersebut, maka sesuai amanah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, GeRAK Aceh kemudian memberikan surat keberatan kepada Sekda Aceh dengan Nomor 044/B/G-Aceh/IV/2013 selaku atasan dari Sekretariat DPR Aceh pada 26 April 2013,” jelas Isra Safril.
Namun, Sekda Aceh juga tidak menanggapi surat keberatan dari GeRAK Aceh, maka perkara ini dilanjutkan melalui KIA untuk diselesaikan karena adanya sengketa informasi.
Lagi pula dokumen publik itu merupakan dokumen yang boleh diakses oleh masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Sidang ajudikasi ini merupakan bentuk pembelajaran bagi masyarakat umum agar turut memahami bentuk informasi publik yang boleh diakses dan tidak boleh diakses oleh masyarakat,” katanya.
Ke depan, lanjut Isra, diharapkan pemerintah daerah, khususnya para dinas dan jajarannya bisa memahami bahwa masyarakat berhak dan boleh mengetahui dokumen pemerintahan sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008.
“Kecuali memang ada beberapa dokumen yang memang dikecualikan dan tidak boleh diakses oleh masyarakat seperti dokumen keamanan negara. Itu semua juga diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008,” ujarnya. Dalam sidang ajudikasi besok, sebut Isra, GeRAK Aceh akan diwakili oleh koordinatornya Askhalani dan Kepala Divisi Antikorupsi, Hayatuddin. (sr)

Sekerataris DPRA Minta Waktu Konsultasi

Serambi Indonesia

Rabu, 11 September 2013 10:01 WIB


* Sidang Ajudikasi Terkait Informasi Dana TKI
BANDA ACEH - Komisi Informasi Aceh (KIA), Selasa (10/9) kemarin, menggelar sidang ajudikasi terkait sengketa informasi publik menyangkut dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPR Aceh, antara Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh melawan Sekwan DPR Aceh. Namun, sidang ditunda dan dilanjutkan hari ini dengan agenda mediasi.
Dalam sidang yang berlangsung di Seuramoe Aceh itu, pihak termohon yaitu Sekretariat Dewan Aceh yang diwakili Sekretaris DPRA A Hamid Zein, meminta waktu untuk berkonsultasi dengan para anggota DPR Aceh. Keputusan ini dilakukan atas tawaran Ketua Majelis Komisioner Jehalim Bangun untuk melakukan mediasi.
“Kita bersedia untuk proses mediasi, tetapi kita minta waktu satu atau dua hari untuk berkonsultasi dengan anggota dewan. Karena dana ini yang mempergunakan adalah anggota dewan, jadi nanti jangan salah mengambil kebijakan. Karena kami sifatnya adalah pelaksana administratif,” ujarnya menjawab Ketua Majelis Komisioner.
Mengenai mediasi, ini disebutkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Pada pasal (2) disebutkan dalam proses mediasi anggota Komisi Informasi berperan sebagai mediator. Selain itu, ini juga diatur dalam Peraturan Komisi Informasi.
Lebih lanjut dalam pasal 42 UU dimaksud dijelaskan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi informasi hanya dapat ditempuh apabila upaya mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
“Mediasi ini agar menemukan apa yang diinginkan pemohon dari termohon dan pada prinsipnya mediasi bersifat tertutup. Kecuali kedua belah pihak, termohon dan pemohon bersedia melakukan mediasi secara terbuka. Kalau mediasi ini tidak berhasil, maka sidang ajudikasi dilanjutkan. Tapi kalau berhasil, maka keputusannya akan dituangkan dalam sebuah nita kesepakatan antara pemohon dan termohon,” kata Komisioner KIA Zainuddin T.
Karena, kedua belah pihak setuju untuk dimediasi oleh KIA, maka sidang ajudikasi ditunda dan besok dilanjutkan dengan agenda mediasi dengan Zainuddin T selaku mediator.
Komisi Informasi (KI) adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infomasi Publik dan peraturan pelaksanaanya menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.
“Hal itu tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 pasal 23. Jadi, Komisi Informasi bukan lembaga yang menyediakan informasi, tetapi lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa informasi, antara masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi atas badan publik yang memiliki informasi,” jelas Zainuddin.
Fungsi keberadaan lembaga ini dalam UU dimaksud bertujuan antara lain untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik, serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu transparan, efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.
“Apabila masyarakat tidak mendapatkan jawaban atas informasi publik yang diinginkan dari badan publik melalui mekanisme perundang-undangan, maka dapat mengajukan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Aceh (KIA) untuk ditindaklanjuti,” pungkas Zainuddin.(sr)

GeRAK Terima Data Dewan Penunggak TKI

Serambi Indonesia

Selasa, 24 September 2013 10:34 WIB


* Belum Bisa Dipublikasi 
* Segera Surati Mendagri untuk Kepastian Hukum  
BANDA ACEH - Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh telah mengantongi data (dokumen) terkait nama-nama anggota DPRA periode 2004-2009 yang belum mengembalikan/melunasi dana tunjangan komunikasi intensif (TKI). Data tersebut diperoleh GeRAK dari Sekretariat DPRA melalui proses mediasi yang difasilitasi Komisi Informasi Aceh (KIA), Senin (23/9).
“Ini adalah tindaklanjut kita (GeRAK Aceh) terhadap kesepakatan dengan DPRA saat mediasi Rabu 11 September 2013,” kata Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Isra Safril kepada Serambi, kemarin.
Dalam keputusan terbaru yang dicapai Senin (23/9), yaitu Putusan Nomor 001/IX/KIA/PS-M/2013 yang disepakati kedua belah pihak (GeRAK Aceh dan Sekteraris DPRA) tercatat lima poin yang menjadi kesepakatan. Di antaranya, apabila pemohon (GeRAK Aceh) akan melakukan publikasi terhadap informasi yang diberikan termohon (Sekwan DPR Aceh), pemohon terlebih dahulu melakukan penelusuran secara hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Karenanya, kata Isra, GeRAK Aceh rencananya hari ini, Selasa (24/9) akan menyurati pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) guna melakukan penelusuran secara hukum terkait masih banyaknya Anggota DPRA periode 2004-2009 yang belum melunasi TKI dan Dana Operasional Pimpinan (DOP) DPRA.
Poin lain kesepakatan itu menyebutkan, data yang diberikan termohon sewaktu-waktu dapat berubah. Oleh karena itu, pemohon melakukan konfirmasi terhadap data yang diserahkan termohon (tertangga 11 September 2013) sebelum dipublikasikan.
“Sesuai dengan kesepakatan saat mediasi, GeRAK Aceh akan segera menyurati Mendagri, agar jelas kepastian hukum dari pemerintah bagi anggota yang belum lunas atau masih menyicil. “Balasan dan putusan dari Mendagri nantinya akan menjadi dasar bagi GeRAK Aceh untuk segera mempublikasikan data anggota DPRA yang masih berutang. Jika balasan dari Mendagri belum ada, sesuai keputusan mediasi, GeRAK Aceh tidak diperbolehkan mempublikasi ke publik,” kata Isra saat Serambi meminta rincian data dimaksud. Menurut Isra, dari 69 anggota DPRA periode 2004-2009, baru belasan orang yang melunasi.
Sidang pembacaan putusan mediasi yang berlangsung di Seuramoe Aceh, Senin (23/9) dihadiri Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, Kepala Divisi Kebijakan Publik Isra Safril dan Kepala Divisi Advokasi Korupsi Hayatuddin. Sementara dari pihak Sekretariat DPRA hadir Sekretaris DPRA HA Hamid Zein bersama staf.
Seperti diketahui, Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Biaya Penunjang Operasional (BPO) yang diterima anggota DPRD periode 2004-2009 memicu kontroversi berkepanjangan. Dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2006, tunjangan itu diberlakukan surut. Besaran tunjangan diserahkan pada kemampuan daerah. Banyak kalangan menilai kebijakan itu merusak sistem keuangan daerah.
Di tengah derasnya protes, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2007, yang antara lain meminta pengembalian tunjangan yang telanjur diambil anggota DPRD. Keharusan mengembalikan dana tersebut juga tertuang dalam Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 555/3032/SJ Tahun 2009.(sr)

Kejati Aceh Serahkan Darni ke Kejari

Serambi Indonesia

Selasa, 24 September 2013 12:59 WIB


Laporan Mursal Ismail | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Tim Penyidik Kejati Aceh melimpahkan berkas dan tersangka perkara korupsi beasiswa Unsyiah senilai sekitar Rp 3,5 miliar APBA 2009 ke Kejari Banda Aceh, Selasa (24/9/2013) saat ini. Ketiga tersangka dalam perkara ini adalah mantan Rektor Unsyiah, Prof Darni Daud, mantan Dekan FKIP, Prof Yusuf Azis, dan mantan Bendahara Mukhlis.
Saat ini ketiga tersangka masih diperiksa di ruang Pidsus Kejari Banda Aceh. Seorang jaksa tadi ketika menjawab wartawan mengatakan pelimpahan ke Kejari Banda Aceh karena perkara ini terjadi di Banda Aceh. Ditanya, apakah ketiga tersangka akan ditahan, jaksa itu mengatakan mereka berwenang menahan atau tidak. "Tetapi kita belum tahu bakal ditahan atau tidak," jawab jaksa itu.
Pemeriksaan yang sudah dimulai sekitar pukul 10.00 WIB masih berlangsung tertutup hingga kini. Tadi ketiga tersangka tampak keluar secara bergiliran menuju kamar mandi.(*)

SuAK Desak Kajati Tahan Darni Daud


Serambi Indonesia
Rabu, 26 Juni 2013 10:44 WIB
* Jaksa: Belum Diperlukan
BANDA ACEH - Koordinator Badan Pekerja Solidaritas untuk AntiKorupsi (SuAK) Aceh, Teuku Neta Firdaus mendesak Kajati Aceh, TM Syahrizal menahan mantan rektor Unsyiah, Prof Darni Daud, mantan Dekan FKIP Unsyiah, Prof Yusuf Aziz, dan mantan kepala Keuangan Program Cagurdacil, Mukhlis. Ia menilai penahanan diperlukan untuk mempercepat penyidikan terhadap ketiganya selaku tersangka korupsi program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyiah senilai Rp 3,6 miliar yang bersumber dari APBA 2009-2010.
Menurut Teuku Neta, jika mereka tak ditahan, maka penyidikan berlarut-larut karena tidak memiliki batas waktu. “Selain itu diperparah dengan perlawanan membabi buta dari pihak lawyer tersangka korupsi kasus Unsyiah. Kalau bukti sudah kuat kenapa tersangka tidak ditahan, apalagi hasil audit kerugian negara Rp 3,6 miliar dari BPKP Aceh sudah ada,” tulis Neta Firdaus dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Selasa (25/6).
Neta mengklaim selama ini ada di antara tersangka kasus ini menebar fitnah dengan menyatakan ada pihak lain terlibat dalam kasus ini, tetapi tak dijadikan tersangka, bahkan menurut Neta ada isu menyebut ada tersangka menuding penyidik menerima dana miliaran rupiah sehingga kurang transparan atau memilih-milih dalam menetapkan tersangka.
“Ada tersangka kasus ini sekarang memainkan jurus getah nangka, artinya nangka dimakan, tapi getahnya ditebarkan kemana-mana. Strategi tersangka kasus ini mengorbankan orang lain yang belum tentu bersalah. Padahal sebaiknya jika sudah dijadikan tersangka, bersikap baik dan kooperatif saja, tidak perlu melawan, kecuali mengklarifikasi supaya lebih benar sehingga hukumannya bisa lebih ringan,” kata Neta Firdaus.
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH mengatakan sejauh ini penyidik menilai belum perlu menahan ketiga tersangka karena tidak dikhawatirkan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. “Dengan pencekalan ke luar negeri sudah cukup dan penyidik akan melakukan penyidikan dalam waktu secepatnya. Ketiganya sudah diperiksa sekali sebagai tersangka, Senin 17 Juni 2013 dan akan diperiksa lagi, tetapi belum dijadwalkan,” kata Amir Hamzah menjawab Serambi, malam tadi.
Adapun soal dugaan bahwa seorang tersangka mencurigai penyidik menerima uang miliaran rupiah dalam kasus ini, Amir mempersilakan tersangka itu atau pengacaranya membuktikan dan melapor ke penegak hukum lainnya. “Ya, termasuk silakan saja melapor ke KPK,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, pengacara Darni, Mukhlis Mukhtar SH juga mempersilakan siapa saja, termasuk pihak Kejati dan SuAK melaporkan dirinya dan kliennya ke penegak hukum, jika memang mereka ada indikasi menyebar fitnah di luar proses hukum. “Apa yang saya rasakan dan klien saya rasakan bahwa ada perlakuan diskriminatif karena pengelola beasiswa program jalur pengembangan daerah (JPD) yang semestinya paling bertanggungjwab, tetapi tak ditetapkan tersangka, hal itu sudah kita sampaikan secara tertulis dan lisan kepada penyidik.
Ini semua sebagai upaya kami mencari keadilan sesuai hukum, bukan memfitnah,” jawabnya.  Seperti diketahui saat ketiganya diperiksa sebagai tersangka, Darni diminta pertanggungjawaban sebagai penanggung jawab umum program beasiswa JPD yang diduga merugikan negara Rp 1,7 miliar lebih. Sedangkan Yusuf Azis dan Mukhlis diperiksa untuk mempertanggungjawabkan dugaan kerugian negara dalam program beasiswa untuk calon guru daerah terpencil (Cagurdacil) Rp 1,8 miliar lebih. (sal)


Jaksa Tahan Darni Daud Cs

Serambi Indonesia


Selasa, 24 September 2013 18:15 WIB


Laporan : Mursal Ismail - Serambi
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh menahan tiga tersangka perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyiah sebesar Rp 3,6 miliar dari sumber APBA 2009-2010 selama 20 hari pada Selasa (24/9/2013) sore. Ketiga tersangka tersebut masing-masing Prof DR Darni M Daud (mantan Rektor Unsyiah), Prof DR M Yusuf Azis (mantan Dekan FKIP Unsyiah), dan Mukhlis (Kepala Keuangan Program Cagurdacil).
Ketiga tersangka ini ditahan seusai tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menerima berkas dan ketiga tersangka dari tim Penyidik Kejati Aceh. Tim JPU menghabiskan waktu sekitar lima jam untuk memeriksa berkas para tersangka di ruang Pidsus Kejari. Sekitar pukul 16.00 WIB, saat ketiga tersangka dibawa ke mobil tahanan, Darni bersedia menjawab pertanyaan wartawan.
"Saya sudah menang di tingkat PTUN dan putusannya sudah incraht atau berkekuatan hukum tetap, seharusnya mengembalikan saya menjadi rektor. Tetapi dengan ini (penahanan-red), saya harus mengikutinya dan saya taat hukum untuk mengikuti. Kedua perkara ini ada keterkaitan dan akan kita ungkap di pengadilan nanti," kata Darni seraya berjalan ke mobil tahanan yang dikawal polisi.
Secara terpisah, Kajari Banda Aceh Husni Thamrin SH kepada wartawan mengatakan penahanan ketiga tersangka ini sesuai yang telah diatur dalam KUHAP, yaitu untuk memperlancar dan mempercepat proses sidang, agar terdakwa tak dikhawatirkan memengaruhi saksi dan menghilangkan barang bukti. "Itu aturan normatif yang diatur dalam KUHAP," kata Kajari.(*) 

Dana Tak Masuk Akal, DKA Lhokseumawe Tak Ikut PKA


Logo The Globe Journal - Original


Bukhari I On Jobs Training I The Globe Journal

Jum`at, 20 September 2013 23:27 WIB
Lhokseumawe- Dewan Kesenian Aceh (DKA) Lhokseumawe memastikan tidak ikut ke Pean Kebudayaan Aceh (PKA) ke enam di Banda Aceh. Hal ini dikarenakan alokasi dana untuk mereka tidak masuk akal. Demikian disampaikan oleh Sekretaris DKA Lhokseumawe, Hamdani. Jumat (20/9/2013).
Menurut Hamdani, Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata (Dishubbudpar) Lhokseumawe tidak realistis dalam mengatur anggaran kegiatan. Dana yang dialokasikan Rp. 100 ribu kepada setiap orang untuk tiga hari, dengan rincian, satu hari berangkat, satu hari tampil dan satu hari kembali.
“Rapa’i Uroeh dan dan Musik Etnic Hikayat Orchestra Aceh, masing-masing berjumlah 15 pelaku seni tidak dapat kami berangkatkan ke Banda Aceh. Biaya yang dialokasikan oleh dinas hanya Rp. 100.000 per orang untuk tiga hari. Sedangkan untuk koordinator hanya tersedia dana sebesar Rp. 500.000-/ pengurus dengan waktu 10 hari kerja, mulai dari tanggal 19 September sampai dengan 29 September 2013”. terang Hamdani.
Saat dikonfirmasi masalah tersebut, Sarijal Kepala Dishubbudpar kota Lhokseumawe mengatakan bahwa dana sangat terbatas. Walau demikian, pihaknya sudah mencoba menyiasati dengan cara menyediakan transport gratis.
“Dananya terlalu kecil. Walau demikian, kami turut menyiasati keadaan dengan cara menyediakan transport gratis seadanya,” imbuh Sarijal.

Mantan Kepala BPKS Mangkir dari Panggilan Penyidik KPK

Logo The Globe Journal - Original


Jum`at, 20 September 2013 19:10 WIB
Jakarta - Mantan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) Teuku Saiful Ahmad mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (20/9/2013).
Padahal, sekiranya hadir, mantan anggota DPR dari F-PAN itu akan diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pembangunan dermaga BPKS di Sabang, Provinsi Aceh. 

"Yang bersangkutan (Teuku Saiful) belum juga hadir. Sedianya dia diperiksa sebaga saksi untuk tersangka HR (Heru Sulaksono, Kepala PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh)," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi di kantor KPK, Jakarta, Jumat petang.

Teuku Saiful sendiri dianggap tahu banyak terkait kasus korupsi tersebut. Hal itu diperlihatkan dengan pencegahan dirinya bepergian ke luar negeri oleh Ditjend Imigrasi Kemenkumham atas permintaan penyidik KPK.

Pada kasus itu, KPK juga telah menjerat Deputi Teknik Pengembangan dan Tata Ruang BPKS Ramadhani Ismy sebagai tersangka. Ramadhani selaku pejabat pembuat komitmen proyek dermaga sabang diduga telah melakukan penyalahgunaan kewenangan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. [005-Tribunnews]

Kasus Prof. Darni Cs Segera Dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor

Logo The Globe Journal - Original


Fitri Juliana l The Globe Journal

Selasa, 24 September 2013 18:12 WIB
Banda Aceh - Setelah menjalani pemeriksaan selama 6 Jam di Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh (pukul 10.00-16.00 WIB), penyidik Kejari Banda Aceh, langsung menetapkan penahanan terhadap ketiga tersangka kasus korupsi Beasiswa Unsyiah yang bersumber dari APBA Aceh, Prof. DR Darni M. Daud S.Pd, Prof. DR Yusuf Azis S Pd. M.Pd dan Muklis S.Pd.
Saat tiba di Kejari Banda Aceh pukul 10.00 WIB ketiga tersangka diperiksa penyidik pidana khusus (pidum) Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh hingga pukul 15.30 WIB. Dan tepat pukul 16.00 WIB ketiga tersangka diasukkan ke mobil tahanan Kajari Banda Aceh untuk ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) kelas IIB Kaju Banda Aceh.
Saat proses pemeriksaan dan penahanan mantan Rektor Unsyiah, Darni M Daud didampingi kuasa hukumnya Amin Said SH, sedangkan tersangka Yusuf Azis, Mantan Dekan FKIP Unsyiah tersebut didamping kuasa hukumnya Darwis SH.
Setelah dinyatakan P21 atas kasus Korupsi Beasiswa Unsyiah tahun 2009-2010 beberapa waktu lalu, berkas dugaan korupsi senilai Rp 3,6 milyar berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) perwakilan Aceh pun dilimpahkan ke Kejari Banda Aceh Selasa pagi tadi oleh penyidik kejati Banda Aceh. Kasus ini akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh.
Dalam pelimpahan berkas perkara korupsi tersebut, turut juga di serahkan ke tiga tersangka, Darni Daud, Yusuf Azis dan Muklis beserta 449 item barang bukti yang berhasil disita.