Rabu, 06 Mei 2015

GeRAK Desak Kejari Ungkap Aktor Besar Korupsi Mobil Dinas di Aceh



20 JANUARY 2015



BANDA ACEH – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk mengungkap aktor dibalik pengadaan korupsi mobil dinas yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Pendapatan (APBA), dana Otonomi Khusus (Otsus), dan Migas Aceh.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengatakan, berdasarkan hasil analisa GeRAK Aceh tencatat pengadaan mobil setiap tahun sangat tinggi, tapi intensitas pengadaan mobil bersumber dari APBA kurang mendapat pengawalan dari unsur legislatif.

“Jadi tidak jarang mobil yang diusulkan adalah mobil-mobil mewah dan tidak memiliki keterkaitan dengan upaya kebutuhan publik maupun untuk penanggulangan bencana yang berdampak dengan kebutuhan publik,”ungkap Askhalani, Senin (19/1/2015) di Banda Aceh.

Seperti halnya kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran (damkar) Rp17,5 miliar pada 2014 yang muncul dan menjadi isu hangat bagi publik di akhir tahun adalah satu dari sekian banyak pengadaan mobil yang dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh 2013 dan 2014.

Askhalani menyatakan, pengadaan mobil setiap tahun sangar luar biasa dan dari dokumen yang dimiliki mobil-mobil ini diperuntukan untuk beberapa jenis kenderaan mulai dari mobil damkar, fire jeep, truck sampah, excavator, bulldozer, roda empat suv, ambulance, pickup, mobil box, double cabin, mini bus, pengadaan motor grader, wheel loader, vibratory roller, dan mobil operasional dinas.

“Selama dua tahun, GeRAK Aceh menemukan beberapa daftar paket pengadaan mobil dari 2013 dan 2014 yang mencapai 49 paket yaitu dengan rincian di 2013 ada 43 paket pengadaan mobil dan pada tahun 2014 ada enam paket pengadaan mobil,”jelasnya.

Dari total pengadaan mobil tersebut, kata Askhalani dana yang sudah dikeluarkan pada 2013 berjumlah Rp163,558,205,117 dan pada 2014 berjumlah Rp22.293.064.000, sehingga total secara keseluruhannya untuk paket pengadaan mobil mencapai Rp185,851,269,117.

Lebih lanjut, Askhalani menjelaskan, dari seluruh paket pengadaan tersebut, semua kegiatan dilakukan oleh Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA), anehnya pengadaan mobil dengan jumlah besar ini tidak mendapat pengawasan khusus dari legislatif dan bahkan tidak pernah diaudit oleh BPK-RI.

“Padahal diketahui jumlah paket pengadaan mobil sangat sarat dengan dugaan potensi korupsi, apalagi diketahui bahwa pengusulan pengadaan mobil ini adalah proyek titipan dari berbagai unsur, mulai dari gubernur, kepala dinas, bupati, walikota, anggota DPRA dan juga pihak lain yang memiliki konflik kepentingan,” jelasnya.

Menurutnya tidak heran jika dalam proses pelaksanaan pengadaan mobil di DPKA sangat berpeluang terjadi korupsi secara masif dan terencana mulai dari perusahaan pemenang, kualitas mobil, dan penyusunan HPS yang ditentukan melebihi dari harga yang ditentukan (mark-up).

Oleh karena itu, penegak hukum baik kejaksaan, kepolisian dituntut untuk peka dan mulai melakukan kajian mendalam terhadap dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan mobil yang bersumber dari APBA. Sebagai contoh pada paket pengdaan mobil Damkar untuk Aceh Utara sebanyak dua unit diduga terjadi potensi korupsi yang sama dengan kasus damkar untuk Kota Banda Aceh.

Selain itu, berdasarkan catatan GeRAK Aceh, kasus dugaan potensi korupsi pada pengadaan mobil sangat tinggi, tetapi karena kurang perhatian dari pihak aparat penegak hukum menyebabkan korupsi pada sektor pengadaan mobil ini terjadi secara masif dan sangat terstruktur.

“Buntutnya pada saat kasus korupsi Damkar Rp17,5 miliar adalah puncak dari beberapa kasus lain yang terjadi sebelumnya tapi tidak mendapat perhatian dari banyak orang,”paparnya.

Selain itu, GeRAK Aceh mendukung penuh upaya pengusutan yang dilakukan oleh Kajari Banda Aceh terhadap pengadaan mobil Damkar modern Rp17,5 miliar yang sedang dilakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap para pihak yang diketahui mengetahui tentang proses pelelangan terhadap paket kegiatan tersebut.

GeRAK Aceh juga mendesak Kejari Banda Aceh untuk berani mengusut aktor-aktor besar yang diduga terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran tersebut, karena GeRAK menduga banyak oknum-oknum yang terlibat dalam kasus tersebut. (agus)

Aktivis HAM dan Anti Korupsi Aceh Dukung KPK



24 Januari 2015 12:42



DUKUNG KPK-Aktivis Masyarakat Sumut Peduli KPK memegang poster ketika melakukan aksi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di kawasan titik nol Kota Medan, Sumatera Utara, Jumat (23/1) malam. Mereka memprotes penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Wijdojanto yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri, yang dinilai sebagai bentuk pelemahan KPK.


BANDA ACEH-Aktivis anti korupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Aceh berunjukrasa di Bundaran Simpang Lima dan Kantor Polda Aceh, Jumat (23/1) sore menyatakan dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mendesak Mabes Polri segera membebaskan Wakil Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto yang ditangkap oleh polisi Jumat pagi.

Dalam unjukrasa yang dihadiri oleh aktivis anti korupsi dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Sekolah Anti Korupsi Aceh serta lembaga HAM seperti Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh serta BEM Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, menyatakan mendukung KPK mengungkap kasus korupsi yang melibatkan petinggi Polri.

“Kami juga mengecam Mabes Polri karena telah menangkap Wakil Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, hal tersebut hanya untuk mengkriminalisasi KPK,” sebut Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani.

Askhalani menyebutkan, hingga saat ini KPK merupakan satu-satunya lembaga yang masih mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mengungkap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

Hal tersebut terjadi karena KPK masih sangat berkomitmen dan memiliki integritas yang tinggi dalam usaha pemberantasan korupsi.

“Selama ini, tidak terlihat ada upaya tebang pilih oleh KPK dalam
menangani kasus korupsi, kami paham hal tersebut, karena sering melaporkan kasus korupsi yang terjadi di Aceh kepada lembaga anti korupsi itu,” sambungnya.

Askhalani mengatakan, sejak KPK berdiri hingga saat ini, cukup banyak uang negara yang telah diselamatkan oleh lembaga tersebut, bahkan, banyak koruptor yang masuk penjara setelah berhadapan dengan KPK.

“Saat ini, KPK membutuhkan dukungan dari masyarakat Indonesia setelah para mafia hukum dan koruptor sedang berupaya menghancurkan KPK, mulai dari penyebaran foto hasil olahan, hingga penangkapan Wakil Pimpinan KPK oleh polisi.

Hal ini terjadi setelah beberapa hari KPK menetapkan calon Kapolri
sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi,” sebut Askhalani.
Askhalani juga mengatakan, akitivis anti korupsi di Aceh mendukung langkah KPK menetapkan calon tunggal Kapolri sebagai tersangka serta mengecam tindakan kriminalisasi terhadap Wakil Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto.

“Kami mendesak Mabes Polri segera membebaskan Bambang karena hal tersebut sama dengan usaha untuk menghancurkan KPK,” ujarnya.


Sumber : Antara

GeRAK Aceh : Kasus Lhokweng BPKS Mulai Mencuat

RRI SABANG



Sabang | GeRAK (Gerakan Anti-Korupsi) Aceh mensinyalir Pekerjaan pembuatan Pengembangan kawasan wisata Lhokweng Sabang, milik Badan Pengusahaan Kawasan Perdangangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BPKS) Sabang, diduga sarat tindak pidana korupsi. Banda Aceh, Jum'at 30/1/2015.

Menurut Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, adanya dugaan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur di BPKS kembali mencuat. Dalam kaitan ini, kata dia, dugaan itu tidak terlepas dari tata kelola anggaran yang amburadul dilakukan oleh BPKS dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.

Aroma korupsi ini tercium, kata Askhalani, didampingi Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nur, berawal adanya laporan masyarakat, oleh GeRAK Aceh dilanjuti dengan penelusuran investigasi turun ke lokasi pekerjaan dermaga marina. Rabu siang di Sabang, 28/1/2015 lalu.

Dari hasil investigasi, katanya, "patut diduga", sebab, "pekerjaan dilaksanakan secara tidak wajar dengan kualitas yang rendah, sarat penyelewengan dana", lagian, "lokasi proyek ini sangat jauh dan terlepas dari kontrol publik", Ujarnya.

Dari data GeRAK Aceh, kata Askhalani, ada 11 paket pekerjaan yang dilaksanakan pada tahun 2013 dan 2014, hampir semua berpotensi terjadi dugaan tindak pidana korupsi.

Ini 11 paket pekerjaan sarat korupsi yang dimaksud GeRAK Aceh:

1.Pembangunan Pelabuhan Marina dikawasan wisata Lhokweng Sabang dengan total anggaran sebesar Rp11.793.640.000.
2. Pengawasan Pembangunan Pelabuhan Marina dikawasan wisata Lhokweng Sabang dengan total anggaran sebesar Rp180.000.000.
3. Penyusunan SID Pengembangan kawasan wisata Lhokweng Sabang dengan total anggaran sebesar Rp218.940.000.
4. Amdal kawasan wisata Lhokweng dan KM 0 Sabang dengan total anggaran sebesar Rp744.840.000.
5. Pembangunan Pemasangan Jaringan Pipa Air Bersih di kawasan wisata Gapang-Iboih Sabang dengan total anggaran sebesar Rp6.000.000.000.
6. Pengawasan Pembangunan Pemasangan Jaringan Pipa Air Bersih di kawasan wisata Gapang-Iboih Sabang dengan total anggaran sebesar Rp144.800.000.
7. Perencanaan Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar Rp99.960.000.
8. Pelaksanaan Pembangunan Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar Rp8.808.420.000. (RUP)
9. Pengawasan Pembangunan Konservasi Danau Aneuk Laot dengan total anggaran sebesar Rp130.000.000.
10. Amdal Pembangunan Reservoir dan Jaringan Air Beku kawasan Gapang-Iboih dengan total anggaran sebesar sebesar Rp130.000.000.
11. Pembangunan Resevoir dan Jaringan air beku kawasan Gapang-Iboih

Dari total paket pembangunan tersebut tercatat bahwa pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan sampai akhir tahun anggaran 2014 per 31 Desember 2014, ditemukan sejumlah fakta pelaksanaan pekerjaannya berkualitas sangat rendah, dan tidak sesuai dengan progres anggaran yang dicairkan, salain itu kata dia, kondisi ini menunjukkan pelaksanaan pembangunan sengaja didesain untuk mencari keuntungan dan sangat sistemik, ujar Askalani.

Sebelumnya, kata dia, "hasil investigasi GeRAK Aceh tanggal 11 Januari 2015 lalu, ditemukan beberapa paket pekerjaan tidak sesuai dengan fakta pencairan dan progres dana, dan ini menunjukan bahwa pekerjaan ini dilakukan secara tersruktur untuk kepentingan memperkaya diri sendiri", bayangkan saja, ujar Askhalani sambil menunjukan sejumlah rekaman foto, "pembangunan yang dilakukan asal-asalan, padahal jumlah anggaran yang digelontorkan untuk 11 paket pekerjaan sangat tinggi dengan total dana sebesar Rp28,7miliar," ungkapnya.

Dalam kaitan tersebut, GeRAK Aceh mendesak dan mendorong aparat penegak hukum (Kejaksaan Tinggi dan Polda Aceh-red) untuk segera dapat menindak lanjuti dan melakukan penyidikan terhadap 11 paket kegiatan pekerjaan fisik yang dikelola oleh BPKS yang bersumber dari anggaran APBN tahun 2014.

Penyidikan ini sangat penting dilakukan, kata Askhalani, mengingat proses pekerjaan terhadap aktivitas ini terkesan sangat sembunyi yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan diduga paket kegiatan ini juga menyalahi aspek lingkungan terutama terhadap pembangunan pelabuhan marina lhokweng yang diduga manyahi Amdal atau UKL-UPL dan berpotensi merusak lingkungan.

GeRAK Aceh menduga bahwa perencanaan pekerjaan 11 paket ini dilakukan secara tidak benar, alasanya, kegiatan pekerjaan dimaksud tidak mendapat pengawasan yang ketat dari para pihak penanggung jawab kegiatan, sehingga GeRAK Aceh meyakini bahwa pekerjaan bagian dari desain untuk meraup keuntungan semata, tanpa melihat aspek lingkungan (Amdal atau UKL-UPL) akibat tertutup dan tidak diketahui oleh publik di Sabang.

Menurut Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung, hasil analisis dan investigasi GeRAK Aceh disimpulkan bahwa 11 paket kegiatan pekerjaan tahun 2013-2014, diduga memenuhi unsur pelanggaran hukum, dan dapat merugikan keuangan negara. Hal ini dilihat dari beberapa aturan hukum yang dilanggar meliputi UU 31 tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu unsur pasal 2 dan pasal 3 tentang upaya memperkaya diri dan merugikan negara. Kemudian diduga melanggar Perpres 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah dimana pihak pelaksana melakukan upaya-upaya yang melanggar hukum.

Selain itu kata Hayatuddin, dilihat dari aspek lain yaitu tentang lingkungan terutama yang berhubungan dengan Amdal atau UKL-UPL dan UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akibat hal tersebut GeRAK Aceh berharap Persoalan ini mendapat perhatian dari aparat hukum. Tutup Hayatuddin Tanjung.

Sementara itu, berdasarkan Sumber Data dan Dokumen Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh diolah dari berbagai sumber 2014, menyebutkan, untuk Rencana Umum Pengadaan (RUP) Satker BPKS Sabang, APBN TA 2014, meliputi 140 paket dengan total 208.836.835.000, meliputi; Perencanaan dan Pengawasan (Jasa Konsultasi) 43 paket, senilai 14.648.929.000. Pelaksana Pembangunan (Jasa Kontruksi) 19 paket, senilai 149.988.717.000. Pelaksanaan Pengadaan Lahan 2 paket, senilai 24.956.460.000. Penyelenggaraan Operasional Kantor dan Pengadaan (Pengadaan Barang) 20 paket, senilai 9.694.359.000. Penyelenggaraan Pelatihan, Sosial dan Promosi (Pelaksanaan Swakelola) 56 paket, senilai 9.548.370.000.

Sementara WALHI Aceh lewat rilisnya yang diterima RRI menyatakan, Sabang Terancam Perusakan Lingkungan Massif.

Dalam kaitan itu, Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nur, memaparkan temuan investigasi kerusakan hutan Sabang dan dimoderatori oleh Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani. WALHI Aceh membahas kasus dugaan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh program pembangunan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS). Konferensi Pers yang dihadiri sekitar 15 perwakilan media koran dan online. Banda Aceh, Jum’at 30 Januari 2015.

Hasil investigasi dan analisa WALHI Aceh menemukan bahwa 11 paket proyek fisik oleh BPKS ternyata menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan hidup, mulai dari kontradiksi kebijakan hingga bencana ekologis.

Pertama, adanya kontradiksi kepastian hukum kawasan. Muhammad Nur menyatakan, bahwa berdasarkan SK Menhut Nomor 865 tahun 2014, proyek BPKS termasuk dalam status lahan Area Penggunaan Lain (APL), akan tetapi dalam pola ruang Qanun No 19 Tahun 2013 kawasan proyek ini termasuk dalam kawasan hutan lindung.

Kedua, Area Penggunaan Lain (APL) lebih besar dari hutan lindung, dimana hutan lindung hanya seluas 3 ribu hektar atau 18 % hutan lindung, APL luas nya mencapai 7 ribu hektar atau 44% dari total luas hutan Sabang. Pembangunan ini dapat memperparah kerusakan lingkungan atas nama pembangunan wisata. WALHI Aceh mencatat telah terjadi beberapa kerugian ekologis di kawasan kota wisata Sabang, seperti banjir Sabang akibat galian C, banjir bandang di desa Pria Laot Kecamatan Sukakarya, hingga longsor di daerah Paya Kareng, jalan Bate Shok menuju Paya Seunara Kecamatan Sukakarya. Begitu juga dengan illegal logging dan pembangunan jalan di dalam kawasan hutan lindung, marak terjadi di kawasan proyek.

WALHI Aceh juga memandang bahwa sebuah pembangunan haruslah memperhatikan kajian hukum sebagai aspek legalitasnya, salah satunya terkait kepastian dokumen AMDAL, UKL, UPL, dan izin lingkungan.

Menurut WALHI, disana terdapat beberapa produk hukum yang harus diperhatikan dalam sebuah pembangunan, seperti UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga PP No.27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.Semestinya, dalam sebuah pembangunan dokumen perizinan lingkungan tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu, namun temuan lapangan sudah ada pembangunan yang merusak bentang alam sabang tanpa plang proyek (papan informasi) dan AMDAL. WALHI juga menegaskan bahwa BPKS seyogyanya mengkaji kembali tugas dan wewenangnya, apakah juga harus mengurusi pembangunan fisik yang mengubah bentang alam.

Menanggapi pertanyaan sejumlah awak media mengenai kecenderungan pembukaan kawasan hutan yang disinyalir untuk pembangunan jalan/akses mobilisasi, Nur menyatakan bahwa hal terpenting yang harus diperhatikan adalah kepastian hukum sebuah pembangunan. Jangan sampai justru berpotensi merusak lingkungan, menurunkan ketahanan bencana kawasan pesisir, sekaligus disalahgunakan sebagai akses illegal logging lintas kawasan. Nur juga menegaskan bahwa Pemerintah Kota Sabang harus mengambil tindakan kongrit untuk segera mengusulkan perlindungan kekayaan hutan Sabang dari kerusakan yang massif dan menolak SK Menhut No 865 tahun 2014 sebagai sumber masalah besar bagi Sabang atas nama pembangunan, ujar dia.

Terkait pertanyaan rekan media apakah masyarakat sekitar kawasan mengetahui perihal proyek ini, Fernand dari GeRAK Aceh menyatakan bahwa berdasarkan investigasi GeRAK, baik masyarakat sekitar kawasan bahkan perwakilan DPRK Sabang juga cenderung tidak mengetahui keberadaan proyek ini. Selain itu, distribusi dan penggunaan alat-alat berat untuk proyek terkesan sangat tertutup, sehingga diduga sebagai proyek terselubung.

Lebih lanjut, rekan-rekan media juga mempertanyakan penindakan yang dapat dilakukan atas kasus ini. Untuk itu, Askhalani menegaskan bahwa kasus ini akan segera dilaporkan ke Polda Aceh, bahkan tidak tertutup kemungkinan dilaporkan juga ke KPK. WALHI akan memfokuskan laporan dari aspek pelanggaran tata kelola sumber daya alam dan perusakan lingkungan, sedangkan GeRAK akan menyasar potensi korupsi sebesar 11,7 miliar atas pembangunan pelabuhan Marina di kawasan wisata Lhokweng Sabang. | Hadi/Mj

MaTA Tidak Setuju Damkar Rp17,5 M Tak Ditahan






HABADAILY.COM - Aktivis anti korupsi Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) tidak sependapat dengan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Banda Aceh, terkait izin operasional mobil Damkar Rp17,5 miliar yang sedang diselidiki.

Koordinator MaTA, Alfian Husin mengatakan, penyidik harus menahan pemakaian barang (Damkar) untuk beroperasi. "Upaya penyidik tidak menahan Damkar Tangga tersebut tidak sependapat dengan pandangan kami," kata Alfian, kepada habadily.com, Rabu (28/1/2015) menyikapi keterangan Kajari Banda Aceh. Baca : Kajari Banda Aceh : Damkar Rp 17,5 M Silahkan DipakaiMenurutnya, Damkar dibolehkan beroperasi setelah audito Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit fisik dan harga dari Damkar Tangga Rp 17,5 miliar sumber Otsus Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2014 tersebut.

“Kalau hasil audit sudah keluar, baru Damkar bisa dioperasikan. Apalagi menurut saya, Damkar Tangga yang diadakan itu belum saatnya diadakan untuk setara Kota Banda Aceh,” kata Alfian,Pembiaran terhadap barang yang diadakan, sama halnya membiarkan pelaku dugaan korupsi yang tengah ditangani. Alasan proaktif dan koperatif pada seorang tersangka yang selama ini dijalankan penyidik telah menyebabkan banyak tersangka korupsi yang melarikan diri.

“Contohnya tidak usah kami uraikan lah, banyak orang tau siapa tersangka korupsi di Aceh yang kini menjadi buronan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Ini semua akibat pembiaran penyidik, selama proses hukum mereka tidak ditahan dengan alasan koperatif,” ujar Alfian.

Sebelumnya, Penyidik Kejari Banda Aceh belum berencana menahan unit mobil Pemadam Kebakaran (Damkar) Tangga untuk barang-bukti, meskipun dugaan penyimpangan terkait pengadaan proyek Rp17,5 miliar itu sedang diselidiki.

Kajari Banda Aceh, Husni Thamrin mengatakan dalam mengusut perkara dugaan korupsi, penyidik tetap mengedepankan praduga tidak bersalah. Apabila tidak ditemukan minimal dua alat bukti, penyelidikan sebuah kasus bisa saja dihentikan.

“Begitu juga dalam penanganan dugaan penyimpangan mobil Damkar ini. Untuk itu aset yang sudah ada dipakai terus bila ada kebakaran. Pemko Banda Aceh selaku pemakai barang, jangan segan-segan mengopersikannya,” kata Husni Thamrin pada habadaily.com.

Seperti diketahui, Pemerintah Aceh melalui Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) tahun 2014 mengadakan satu unit mobil Damkar Tangga senilai Rp 17,5 miliar. Namun demikian Damkar yang sudah diserahkan Gubernur Aceh kepada Pemko Banda Aceh, 17 Desember 2014 tersebut pengadaannya diduga syarat penyimpangan.
Mulai dari dugaan perubahan sepesifikasi hingga dugaan mark-up dan lainnya. Kemunculan banyak praduga tersebut, kasus ini pun berujung ke proses hukum. Penyidik Kejaksaan Negeri Banda Aceh, mulai mengusut kasus ini mulai, 5 Januari 2015.

Pemeriksaan awal dilakukan pada mantan Kepala BPBA yang kini menjadi Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Rizal Aswandi, menyusul kepada Kasuba Program BPBA Fadmi Ridwan. Seterusnya pemeriksaan KPA, PPTK dan juru ketik spesifikasi. Penyidik juga akan memanggil semua orang yang dianggap mengetahui soal pengadaan Damkar ini.[Acl]

Daerah Syariat Islam, Kok Masih Korupsi!

acehkitacom

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Puluhan aktivis dan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Anti-Korupsi Aceh(SAKA) berunjuk rasa di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh, Jumat (9/12). Unjuk rasa ini dalam rangka memperingati hari antikorupsi sedunia yang jatuh pada Jumat (9/12).


Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM

Massa SAKA memulai aksi sekira pukul 09.00 WIB. Massa membawa serta poster dan spanduk yang mengampanyekan penolakan terhadap korupsi. Massa juga membagi-bagikan selebaran kepada para pengguna jalan yang melintas di Bundaran Simpang Lima.
Dalam aksi tersebut, para demonstran mengenakan pita merah di lengannya dan di kepalanya diikatkan dengan kain putih yang bertuliskan “sikat koruptor” disertai uang kopian yang diikat di kepala.

SAKA merupakan kumpulan sejumlah lembaga yaitu GeRAK Aceh, Mahasiswa ACIC-GeRAK Aceh, Kobar GB Aceh, GeRAK Aceh Besar, Gempar Subulussalam, BEM Teknik Unmuha, BEM Tarbiyah Unmuha, BEM FKM dan FE Universitas Serambi Mekah, BEM Fakultas Ekonomi Unsyiah dan PEMA Unsyiah.

Isra Safril dari Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh dalam orasinya mengatakan, Hari Anti-Korupsi se-Dunia diperingati menjadi hari gerakan komponen sipil untuk mendorong percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya.

“Kami meminta seluruh elemen penegak hukum memanfaatkan momentum Hari Anti-Korupsi Sedunia ini untuk serius dalam pemberantasan korupsi,” ujar Isra.

Isra juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan seluruh kasus-kasus korupsi di Aceh yang secara resmi telah dilaporkan oleh komponen masyarakat sipil di Aceh ke lembaga KPK. Beberapa kasus yang dilapor ke KPK di antaranya, pengadaan alat medis untuk RSUZA.

Seorang pengunjukrasa malah menyindir perilaku segelintir pejabat yang masih “suka” mempermainkan uang rakyat. Apalagi, Aceh merupakan daerah yang memberlakukan syariat Islam.

“Semestinya Aceh yang berstatus nanggroe syariat Islam harus bersih dari korupsi,” ujar salah seorang orator. []

Aktivis Aceh Gelar Aksi #SaveKPK

acehkitacom



BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Puluhan aktivis sipil di Aceh memberikan dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (23/1/2015) siang. Mereka meminta Mabes Polri untuk segera membebaskan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang ditangkap polisi pagi tadi.

Aksi solidaritas dukungan terhadap KPK (#SaveKPK) dilakukan sejumlah lembaga sipil di Banda Aceh, seperti Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh, Masyarakat Transparansi Anggaran (Mata), Komisi untuk Orang Hilang (Kontras), dan Koalisi NGO HAM Aceh. Mereka berunjukrasa di Bundaran Simpang Lima dan Markas Polda Aceh.

Dalam aksi itu, aktivis Gerak mengenakan foto para komisioner KPK dan spanduk penyelamatan KPK. Mereka meneriakkan yel-yel selamatkan KPK dan ganyang koruptor.

“Mendukung KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi dan menangkap koruptor yang telah merugikan negara,” kata Mahmuddin, aktivis Gerak di Bundaran Simpang Lima.

Di tempat terpisah, puluhan aktivis lintas organisasi menggelar aksi damai di depan Mapolda Aceh. Mereka menyematkan tulisan #SaveKPK di dada mereka.

Koordinator Mata Aceh Alfian menyebutkan aksi ini sebagai bentuk solidaritas terhadap KPK yang tengah dikriminalisasi oleh institusi Polri dan partai politik. “Ini ada upaya sistematis negara untuk memghancurkan KPK. Sangat berbahaya,” kata Alfian kepada wartawan.

Aksi dukungan terhadap KPK tak hanya dilakukan di Aceh, tapi juga di sejumlah provinsi lain di Indonesia. Menurut Alfian, aksi penangkapan Bambang merupakan bagian dari upaya menghancurkan lembaga antirasuah itu. “Masyarakat sipil akan menjaga KPK,” ujar Alfian.

Aktivis Aceh berharap agar Presiden Joko Widodo tegas dalam menyelesaikan konflik antara Polri dan KPK ini. “Kita berharap presiden bisa ambil langkah tegas. Institusi Polri harus dibersihkan. Penangkapan ini karena ketidaktegasan presiden,” ujar Alfian.

Koordinator Kontras Aceh Hendra Saputra menilai penangkapan Bambang Widjojanto mengandung kejanggalan. “Sangat aneh. Penangkapan ini sangat politis, tanpa ada pemanggilan saksi dan surat penangkapan,” ujarnya.

Penangkapan tersebut mengingatkan orang pada penanganan korupsi pengadaan simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo. Lagian, penangkapan ini juga terkait penetapan status tersangka terhadap Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri.

“Sangat mirip. Saat itu polisi mau menangkap Novel Baswedan (penyidik KPK),” sebut Hendra. “Seharusnya polisi belajar dari kasus sebelumnya.” []

DPRA Minta Masukan Pegiat Antikorupsi

acehkitacom

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menggelar pertemuan dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat antikorupsi, Selasa (28/4/2015). Mereka meminta masukan mengenai langkah-langkah pemberantasan korupsi di Aceh.

Pertemuan yang berlangsung di ruang Panitia Musyawarah DPRA dihadiri perwakilan dari Masyarakat Transparansi Aceh (Mata), Gerakan Antikorupsi (Gerak), dan Solidaritas untuk Antikorupsi (Suak).

Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh menyebutkan, pertemuan dengan para pegiat antikorupsi merupakan upaya DPRA untuk menyerap aspirasi dalam upaya pemberantasan korupsi di provinsi ini.

“Kami ingin dengar dari rekan-rekan apa yang perlu dibahani kepada kami. Ke depan kami juga akan gelar rapat dengan Kajati dan Kapolda,” sebut Abdullah Saleh. “Ini kita lakukan agar bersinergi dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Aceh.”
Boihaqi dari Mata menyampaikan data-data kasus korupsi yang terjadi di Aceh sepanjang 2010 hingga 2014. Menurut Boihaqi, selama kurun waktu lima tahun tersebut terjadi 331 kasus tindak pidana korupsi dengan potensi kerugian negara mencapai Rp2 triliun lebih.

Namun, kata Boihaqi, terdapat 28 kasus indikasi korupsi yang mandek di tangan aparat penegak hukum. Mata sendiri melaporkan dua kasus dugaan korupsi ke Kejaksaan Tinggi Aceh, “tapi belum ada tindak lanjutnya,” sebut Boihaqi.

Kasus yang dilaporkan Mata berupa dugaan korupsi di Sekretariat DPRK Lhokseumawe senilai Rp3,5 miliar yang terjadi pada 2008-2009. Lalu indikasi korupsi North Aceh Air di Aceh Utara.

“Kami mendesak aparat penegak hukum di Aceh untuk segera mempercepat proses hukum terhadap kasus dugaan korupsi dan membuka kembali kasus yang mandek,” sebut Boihaqi.

Mata juga meminta DPRA dan DPRK untuk memaksimalkan proses pengawasan terhadap kinerja eksekutif. “DPRA juga harus mendorong pemerintah untuk menonaktifkan pejabat di daerah yang terindikasi terlibat kasus korupsi dan DPRA melaporkan temuan pansus yang berpotensi korupsi ke penegak hukum,” lanjut Boihaqi.

Koordinator Gerak Askhalani menyoroti mandeknya reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Aceh. Gerak mencatat terjadi 10 kali gonta-ganti kabinet yang dilakukan gubernur dan wakil gubernur.

“Ini sudah tidak memenuhi unsur reformasi birokrasi. Saya berharap Komisi I lebih meningkatkan pengawasan terhadap ini,” ujar Askhalani.

Askhalani mendesak DPRA untuk mendorong kalangan eksekutif melahirkan rencana aksi daerah tentang pemberantasan korupsi. “RAD adalah satu-satunya cara untuk menekan kasus korupsi,” sebutnya. [

Penegak Hukum Tangani 87 Kasus Korupsi di Aceh

acehkitacom


Dok. MaTA

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Masyarakat Transparansi Anggaran melansir data yang memperlihatkan adanya 87 kasus dugaan korupsi yang ditangani aparat penegak hukum mulai 2003 hingga 2014.

Koordinator Monitoring Peradilan Mata Aceh Baihaki menyebutkan 87 kasus tersebut terjadi di seluruh Aceh. Dari jumlah itu, 22 di antaranya telah memiliki keputusan tetap dari pengadilan. Sedangkan 63 lainnya masih dalam proses penyelidikian dan penyidikan oleh aparat penegak hukum, serta dua kasus telah dihentikan (SP3).

“Kasus dugaan korupsi paling banyak terjadi di Aceh Tenggara, yaitu delapan kasus. Lalu disusul Aceh Utara, Bireuen, dan Lhokseumawe,” kata Baihaki kepada wartawan di kantor Mata, Banda Aceh, Rabu (28/1/2015).

Kasus dugaan korupsi itu berpotensi menyebabkan kerugiaan negara mencapai Rp673,5 miliar. “Ini belum termasuk 37 kasus yang belum diaudit oleh BPKP dan dua kasus yang sudah di-SP3-kan (dihentikan),” lanjut Baihaki.
Dilihat dari potensi kerugiaan negara, kata Baihaki, Sabang menduduki peringkat nomor wahid. Di Pulau Weh, terdapat empat kasus dugaan korupsi yang masuk pengadilan dan kerugiaan negara ditaksir mencapai Rp314 miliar lebih. “Paling besar itu kasus pembangunan dermaga Sabang dan kapal wisata,” sebut Baihaki.

Mata menemukan bahwa pelaku korupsi paling dominan berasal dari pihak eksekutif, swasta, lembaga pendidikan. Dalam menjalankan aksinya, para pelaku menggunakan beragam modus, seperti penggelapan, mark-up, pengurangan spesifikasi, penyalahguanaan anggaran, proyek fiktif, dan pemotongan.

“Namun kalau dilihat dari potensi kerugiaan keuangan negara, modusnya mark-up (penggelembungan harga) paling besar, yaitu mencapai Rp329,3 miliar,” ujar Baihaki.

Dana yang dikorupsi itu bersumber dari anggaran APBK (34 kasus), APBA (19 kasus), APBN (21 kasus), dana otsus (5 kasus), dan lainnya (8 kasus). Menurut data Mata, jumlah dana APBN yang diduga dikorupsi berjumlah Rp507 miliar. “Sektor insfrastruktur masih menjadi lahan paling banyak sumber korupsinya,” terang Baihaki. []

Koruptor Layak Dihukum Mati

okezone.com

Rabu, 28 Januari 2015 - 19:31 wib

Salman Mardira / Jurnalis

BANDA ACEH - Aktivis antikorupsi di Aceh meminta penerapan hukuman mati kepada koruptor, sebagaimana yang mulai diterapkan terhadap terpidana narkoba. Alasannya korupsi juga bagian dari kejahatan besar yang mengorbankan banyak orang.

“Kalau logika dipakai Kejaksaan dalam penerapan hukuman mati bagi terpidana narkoba, maka saya rasa layak juga hukuman (mati) ini diterapkan untuk koruptor,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian di Banda Aceh, Rabu (28/1/2015).

Menurutnya, korupsi juga bagian dari kejahatan Hak Asasi Manusia. Maraknya praktik korupsi di Indonesia menyebabkan kemiskinan dan pengangguran merajalela, hak-hak masyarakat mendapat kesejahteraan ikut terengut.

Alfian mencontohkan, Aceh sebagai provinsi otonomi khusus (otsus). Sejak 2008, hampir Rp30 triliun dana otsus sudah dikucurkan oleh negara untuk Aceh, namun realitanya kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. “Ini karena masih adanya korupsi,” ujarnya.

Alfian menilai, pemerintah perlu membuat kebijakan hukuman mati terhadap koruptor, karena efek yang ditimbulkan akibat korupsi tak kalah dari kejahatan narkoba.

Pihaknya mencatat, hingga 2014 ada 87 kasus korupsi di Aceh yang tangani aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, dengan potensi kerugian negara Rp673 miliar. “Ini belum termasuk 37 kasus yang belum diaudit dan dua kasus yang di SP3-kan,” kata Baihaki, Kepala Divisi Monitoring Peradilan MaTA.

Sektor paling dominan terjadi korupsi adalah infrastruktur yakni 27 kasus dengan tingkat kerugian negara Rp513 miliar. Disusul anggaran daerah 23 kasus dengan kerugian negara Rp125 miliar, sektor pendidikan delapan kasus (Rp5 milyar) dan kesehatan enam kasus (Rp24 miliar).

Modus operandi korupsi paling banyak menimbulkan kerugian negara di Aceh, kata Baihaki, adalah dalam bentuk penggelembungan harga (mark up) dengan tingkat kerugian negara Rp329 miliar.

Pihaknya menilai aparat hukum di Aceh belum serius memberantas korupsi, bahkan terkesan hanya sekedar mengejar target yang dibebankan institusi di atasnya. Bahkan cenderung ada indikasi menjadikan tersangka sebagai ‘ATM berjalan’.

Baihaki mempertanyakan beberapa kasus korupsi di Aceh yang pernah mencuat ke publik yang kini tak jelas statusnya. Di antaranya kasus korupsi proyek tanggul Krueng Langsa senilai Rp2,8 miliar sumber dana dari Otsus 2010 yang sudah ditangani Kejaksaan Tinggi Aceh sejak 2012.

Kasus penggelapan pajak di Kabupaten Bireun 2007-2010. Kasus dugaan korupsi Sekretariat DPRD Lhokseumawe senilai Rp3,5 miliar yang sudah dilaporkan ke Kejati pada Februari 2011. Selanjutnya indikasi korupsi pada pengadaan dan pengoperasian North Aceh Air (NAA) di Aceh Utara senilai Rp4 miliar dari APBK, namun Rp2,5 miliar tak dapat dipertanggungjawabkan.

“Kasus ini sudah kami laporkan sejak 2009 ke Kejati Aceh tapi sampai sekarang belum jelas prosesnya,” ujarnya.