Rabu, 06 Mei 2015

Koruptor Layak Dihukum Mati

okezone.com

Rabu, 28 Januari 2015 - 19:31 wib

Salman Mardira / Jurnalis

BANDA ACEH - Aktivis antikorupsi di Aceh meminta penerapan hukuman mati kepada koruptor, sebagaimana yang mulai diterapkan terhadap terpidana narkoba. Alasannya korupsi juga bagian dari kejahatan besar yang mengorbankan banyak orang.

“Kalau logika dipakai Kejaksaan dalam penerapan hukuman mati bagi terpidana narkoba, maka saya rasa layak juga hukuman (mati) ini diterapkan untuk koruptor,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian di Banda Aceh, Rabu (28/1/2015).

Menurutnya, korupsi juga bagian dari kejahatan Hak Asasi Manusia. Maraknya praktik korupsi di Indonesia menyebabkan kemiskinan dan pengangguran merajalela, hak-hak masyarakat mendapat kesejahteraan ikut terengut.

Alfian mencontohkan, Aceh sebagai provinsi otonomi khusus (otsus). Sejak 2008, hampir Rp30 triliun dana otsus sudah dikucurkan oleh negara untuk Aceh, namun realitanya kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. “Ini karena masih adanya korupsi,” ujarnya.

Alfian menilai, pemerintah perlu membuat kebijakan hukuman mati terhadap koruptor, karena efek yang ditimbulkan akibat korupsi tak kalah dari kejahatan narkoba.

Pihaknya mencatat, hingga 2014 ada 87 kasus korupsi di Aceh yang tangani aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, dengan potensi kerugian negara Rp673 miliar. “Ini belum termasuk 37 kasus yang belum diaudit dan dua kasus yang di SP3-kan,” kata Baihaki, Kepala Divisi Monitoring Peradilan MaTA.

Sektor paling dominan terjadi korupsi adalah infrastruktur yakni 27 kasus dengan tingkat kerugian negara Rp513 miliar. Disusul anggaran daerah 23 kasus dengan kerugian negara Rp125 miliar, sektor pendidikan delapan kasus (Rp5 milyar) dan kesehatan enam kasus (Rp24 miliar).

Modus operandi korupsi paling banyak menimbulkan kerugian negara di Aceh, kata Baihaki, adalah dalam bentuk penggelembungan harga (mark up) dengan tingkat kerugian negara Rp329 miliar.

Pihaknya menilai aparat hukum di Aceh belum serius memberantas korupsi, bahkan terkesan hanya sekedar mengejar target yang dibebankan institusi di atasnya. Bahkan cenderung ada indikasi menjadikan tersangka sebagai ‘ATM berjalan’.

Baihaki mempertanyakan beberapa kasus korupsi di Aceh yang pernah mencuat ke publik yang kini tak jelas statusnya. Di antaranya kasus korupsi proyek tanggul Krueng Langsa senilai Rp2,8 miliar sumber dana dari Otsus 2010 yang sudah ditangani Kejaksaan Tinggi Aceh sejak 2012.

Kasus penggelapan pajak di Kabupaten Bireun 2007-2010. Kasus dugaan korupsi Sekretariat DPRD Lhokseumawe senilai Rp3,5 miliar yang sudah dilaporkan ke Kejati pada Februari 2011. Selanjutnya indikasi korupsi pada pengadaan dan pengoperasian North Aceh Air (NAA) di Aceh Utara senilai Rp4 miliar dari APBK, namun Rp2,5 miliar tak dapat dipertanggungjawabkan.

“Kasus ini sudah kami laporkan sejak 2009 ke Kejati Aceh tapi sampai sekarang belum jelas prosesnya,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar