Jumat, 01 November 2013

Penangguhan Penahanan Prof. Darni Cs Tidak Dikabulkan

Logo The Globe Journal - Original


Nurul Fajri | The Globe Journal
Selasa, 24 September 2013 19:23 WIB
 Fitri Juliana | The Globe JournalProf. Darni Daud bersama kedua rekannya berada dalam mobil tahanan sebelum diboyong ke Rumah Tahanan di Kahju, Aceh Besar.
Banda Aceh - Kuasa Hukum Prof. Darni Daud, Amir Said meminta penangguhan masa penahanan kliennya. Begitupun dengan kuasa Hukum Yusuf Aziz dan Mukhlis, Darwis SH. Namun hal tersebut ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum Banda Aceh. Hal tersebut disampaikan Ketua Kejari, Husni Tamrin pada The Globe Journal, Selasa (24/9/2013).

"Pengacara minta penangguhan penahanan atau tidak ditahan. Tapi tim JPU tidak mengabulkannya," tutur Husni.

Dia menjelaskan alasan penolakan tersebut dilakukan untuk memperlancar proses persidangan. "Alasan normatif, agar mereka tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti," sebutnya.

Mantan Rektor Unsyiah, Darni M.Daud pagi tadi menjalani pemeriksaan terkait kasus penyelewengan dana beasiswa JPD tahun 2009-2010. Tidak hanya Darni, mantan Dekan FKIP Unsyiah, Yusuf Aziz dan bendahara Gurdacil Mukhlis juga ikut diperiksa di Kejari, pagi tadi pukul 10.00 wib.

Usai menjalani pemeriksaan selama enam jam, ketiganya dinyatakan sebagai tersangka dan saat ini ditahan di rutan kelas 2B Kajhu.

Dugaan Kerugian Negara dalam Kasus Prof. Darni Cs Rp. 3.618.623.500

Logo The Globe Journal - Original

Kamis, 26 September 2013 04:36 WIB
Banda Aceh - Mantan Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Aceh, Prof. Darni M Daud dijebloskan ke rutan Khaju Aceh Besar oleh Kejaksaan Tinggi Aceh. Darni ditahan terkait kasus korupsi dana APBD senilai Rp 3,6 miliar.

Selain Darni, jaksa juga menahan sejumlah pejabat tinggi Unsyiah yakni mantan Dekan FKIP, Prof. DR. Yusuf Aziz dan kepala keuangan Program Guru Daerah Tertinggal (Gurdacil) Muchlis. Penahanan terhadap ketiga pejabat tinggi Unsyiah itu dilakukan oleh tim jaksa penuntut umum Banda Aceh pada Selasa (24/9) sekitar pukul 16.00 WIB.

Kasi Pidum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah mengatakan, penahanan itu dilakukan sudah sesuai dengan KUHAP, yakni untuk mempermudah dan mempelancar proses sidang yakni agar tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta tidak mempengaruhi saksi.

"Setelah dilakukan pemeriksaan, ketiga tersangka itu, Selasa (24/9) sore kemarin langsung kita bawa ke Rutan Kajhu Aceh Besar, ditahan selama 20 hari," terang Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah saat dihubungi, Rabu (25/9/2013).

Amir menjelaskan, kasus dugaan korupsi dana umum beasiswa Unsyiah mulai diselidiki Kejati Aceh pertengahan tahun 2012. Ada tiga item program yang dibiayai dengan dana bantuan Pemerintah Aceh tersebut, yakni dana beasiswa jalur pengembangan daerah (JPD), bantuan program pendidikan Gurdacil 2009-2010, dan dana sertifikasi guru strata 1.

"Total pagu anggaran dana bantuan yang digunakan untuk tiga program tersebut senilai Rp 17,6 miliar. Dari hasil audit BPKP Perwakilan Aceh, kerugian negara akibat tindak korupsi dari kasus ini mencapai Rp 3.618.623.500," sebutnya.

Ia menambahkan, ketiga tersangka akan dijerat pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 3 Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ketika Prof. Samsul Rizal Jadi Saksi Kasus Dugaan Korupsi Prof. Darni Duad

Logo The Globe Journal - Original

Fitri Juliana | The Globe Journal
Kamis,
 31 Oktober 2013 12:45 WIB
Samsul Rizal menunjuk ke arah demonstran beberapa waktu lalu. Darni Daud menyeka keringat di persidangaan dugaan korupsi. Foto Tribunnews/Atjehpost.  
Samsul
 Rizal menunjuk ke arah demonstran beberapa waktu lalu. Darni Daud menyeka keringat di persidangaan dugaan korupsi. Foto Tribunnews/Atjehpost.
Banda Aceh - Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof. Samsul Rizal, hari ini, Kamis (31/10/2013), diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana beasiswa Unsyiah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Banda Aceh.
Mantan Pembantu Rektor I Unsyiah itu diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Prof. Darni M Daud dan Yusuf Azis dan Muklis dalam kasus dugaan korupsi beasiswa yang mengakibat kerugian negara Rp 3,6 milyar sesuai hasil audit BPKP Perwakilan Aceh.

Dana tersebut bersumber dari APBA tahun 2009 dan 2010 dengan pagu anggaran 17,6 milyar.
Seperti diketahui, sebelumnya tim Jaksa Penuntut Umum mendakwa Darni Daud telah melakukan tindak pidana korupsi dana umum beasiswa Unsyiah yang dibiayai dana bantuan dari Pemerintah Aceh.

Dana itu diperuktukkan untuk beasiswa Jalur Pengembangan Daerah (JPD), bantuan program pendidikan Guru Daerah Terpencil 2009-2010, dan dana sertifikasi guru strata 1.
Foto-foto Prof Samsul Rizal Bersaksi di Sidang Dugaan Korupsi Prof Darni Daud
Prof Samsul Rizal Bersaksi di Sidang Dugaan Korupsi Prof Darni Daud Prof Samsul Rizal
 Bersaksi di Sidang Dugaan Korupsi Prof Darni Daud
Prof Samsul Rizal Bersaksi di Sidang Dugaan Korupsi Prof Darni Daud 
 Prof Samsul Rizal Bersaksi di Sidang Dugaan Korupsi Prof Darni Daud

Qismullah: Saya Tidak Tau Pengelola Dana Beasiswa Unsyiah

Logo The Globe Journal - Original

Fitri Juliana l The Globe Journal
Kamis, 24 Oktober 2013 22:36 WIB
Banda Aceh- Mantan Ketua Komite Beasiswa Aceh, tahun 2009-2010, Dr. Qismullah mengaku tidak tahu siapa penanggungjawab pengelolaan beasiswa Gurdacil dan beasiswa JPD. “Saya tidak tau Pak Hakim, karena itu internal di Unsyiah. Komisi beasiswa hanya bertugas mencari penerima beasiswa, menyeleksi dan menyalurkan ke unsyiah nama mahasiswa penerima beasiswa tersebut," jelasnya menjawab pertanyaan hakim.
Sedangkan untuk proses pencairan dana sendiri, ujarnya diajukan melalui Biro Keistimewaan (Biro Kesra) Pemerintah Aceh, tidak dilakukan oleh Komite Beasiswa Aceh.
Dalam kesaksiannya di pengadilan Tipikor Banda Aceh, Kamis (24/10/2013) sore tadi, Qismullah mengatakan ada tiga jenis beasiswa yang dialokasikan untuk Unsyiah. Hal tersebut sesuai dengan MoU (perjanjian) kerjasama Pemerintah Aceh dengan Unsyiah pada masa pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf.
"Ada tiga jenis yakni Beasiswa Gurdacil, Beasiswa JPD dan Beasiswa untuk S2 dan S3 dalam dan luar Negeri. Semuanya dibuat SK masing-masing lengkap dengan plakfon anggarannya," jelas Qismullah.
Menurutnya, dalam rincian dana beasiswa tersebut, tiap-tiap mahasiswa dikenakan biaya management atau biaya administrasi universitas sebesar Rp 1 Juta pertahunnya. Namun saat ditanya oleh Majelis Hakim Ainal Mardhiah, Qismullah tidak mampu menjawab pertanyaan tentang penggunaan dana dan siapa yang bertanggungjawab mengelola dana tersebut. Akibatnya, hakim sempat mengulang pertanyaan dan menegur saksi untuk bicara jujur dalam persidangan. [008]

Jaksa Hadirkan Empat Saksi di Sidang Beasiswa Unsyiah

Logo The Globe Journal - Original

Fitri Juliana l The Globe Journal
Kamis, 24 Oktober 2013 22:28 WIB
Banda Aceh - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ramadigayus SH cs, Dari Kejari Banda Aceh hadirkan empat saksi pertama dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Beasiswa Universitas Syiahkuala yang melibatkan mantan Rektor Unsyiah, Darni M Daud, Mantan Dekan FKIP, Yusuf Azis dan Dosen FKIP, Muklis.

Keempat saksi tersebut adalah, Dr.Qismullah mantan ketua komite Beasiswa Aceh tahun 2009-2010, Dr. Hijir Sofyan Sekretaris komite beasiswa Aceh, Reza Syahputra Pegawai Dinas Pendapatan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) dan rekannya Reza dari DPKKA.

Sebelum memberikan keterangan dalam persidangan, keempat saksi tersebut terlebih dahulu di ambil sumpah. Setelah itu majelis hakim yang diketuai Samsuh Qamar SH didampingi hakim anggota Ainal Mardiah SH dan Saiful Has�ari SH memeriksa mereka satu per satu.

Puluhan pertanyaan pun dicerca mejelis hakim kepada ke empat saksi tersebut. Mulai dari bagaimana munculnya program beasiswa guru terpencil (Gurdacil), dan beasiswa JPD hingga kemana dana tersebut digunakan dan bagaimana proses penggunaan juga pencairan dana yang brsumber dari APBA tahun 2009 dan 2010 tersebut.

Keempat saksi yang dihadirkan dalam kasus dugaan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dengan total Rp 3,6 Milyar itu merupakan orang-orang yang mengetahui bagaimana proses beasiswa tersebut.

Prof. Samsul Sebut Dana Beasiswa Masuk Rekening dengan Specimen Prof. Darni

Logo The Globe Journal - Original

Fitri Juliana | The Globe Journal
Kamis, 31 Oktober 2013 18:28 WIB
BANDA ACEH – Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. Samsul Rizal dalam sidang pemeriksaan saksi kasus korupsi beasiswa Jalur Pengembangan Daerah (JPD) dan Guru Daerah Terpencil (Gurdacil) mengatakan dana JPD ditransfer Pemerintah Aceh ke rekening BNI atas nama Rektor Unsyiah, saat itu dijabat Prof. Darni M Daud.

Pada tahun 2009 menurut Samsul dana ditransfer berjumlh Rp. 2,6 miliar lebih dan pada tahun 2010 berjumlah Rp. 1 miliar lebih. Sedangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tahun 2010 Unsyiah dapat kucuran dana JPD senilai 4 milyar. Sehingga hakim menanyakan mana yang benar.

Selain itu, Samsul juga mengaku pernah menandatangani MoU JPD dengan Pemerintah Aceh akhir tahun 2008, saat Rektor tidak ada di tempat.

“Karena Rektor ketika itu tidak di tempat. Namun dana JPD tersebut ditransfer Pemerintah Aceh ke rekening atas nama Rektor Unsyiah dengan spaismen Prof Darni Daud,” jelas Samsul dalam persidangan tersebut.

Sidang pemeriksaan saksi dilanjutkan besok pagi Jum'at (1/11/2013) dengan agenda pemeriksaan Syamsul Rizal.

Sang Sekretaris, Saksi Utama Kasus Korupsi Beasiswa Unsyiah

Logo The Globe Journal - Original
Fitri Juliana l The Globe Journal
Jum`at, 01 November 2013 06:56 WIB
Banda Aceh - Kamis pagi (31/10/2013) kemarin majelis hakim pengadilan Tipikor Banda Aceh, kembali menggelar sidang lanjutan dugaan korupsi dana beasiswa Universitas Syiahkuala tahun anggaran 2009 dan 2010 dengan pagu anggaran 17,6 milyar.

Rektor Unsyiah Prof.Dr. Samsul Rizal dan Sekretarisnya Rahmiana diperiksa sebagai saksi utama dalam kasus tersebut.

Sidang korupsi beasiswa Unsyiah yang melibatkan mantan Rektor Unsyiah Prof. Dr Darni M Daud, mantan Dekan FKIP ?Prof. DR. Yusuf Azis dan Dosen FKIP Kimia Muklis S.Pd, M.Pd, telah mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 3,6 miliyar berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) perwakilan Aceh.

Sidang yang di pimpin majelis hakim Samsul Qamar SH sebagai hakim ketua, yang didampingi hakim anggota Ainal Mardhiah SH, dan Saiful Has?ari SH berlangsung dari pukul 10.30 hingga pukul 16.30 WIB dengan agenda pemeriksaaan saksi, nyakni Rektor Unsyiah yang baru, Prof. Ir Samsul Rizal yang taklain juga mantan Pembantu Rektor I (PR I) dan Rahmiana sekretarisnya Prof. Samsul Rizal.

Rahmiana, mendapat giliran pertama saat pemeriksaan saksi. Dalam kesaksiannya Rahmi dicerca puluhan pertanyaan dari majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Kuasa hukum terdakwa, Muklis Muktar SH, M. Amin SH dan Darwis SH.

Selain sebagai sekretaris mantan? PR I, Rahmi juga masuk dalam panitia Beasiswa Unsyiah tahun anggaran 2009 dan 2010 seperti yang tertera dalam SK yang ditanda tangani terdakwa Prof. Darni M Daud.

Selain itu Rahmi juga ikut mencairkan dan menyalurkan dana beasiswa Jalur Pengembangan Daerah (JPD) 2009 dan 2010 kepada para mahasiswa penerima beasiswa atas perintah dan arahan Prof. Samsul Rizal.

Dengan kata lain Rahmi mengetahui proses penyaluran dana beasiswa JPD yang bersumber dari APBA 2009 dan 2010, dan kemana saja dana tersebut digunakan sehingga muncul kerugian negara senilai Rp 3,6 Milyar sesuai Audit BPKP Perwakilan Aceh.

Dana Sisa Dikirim ke Rekening Penampungan Atas Nama Pribadi Prof. Samsul

Fitri Juliana l The Globe Journal
Kamis, 31 Oktober 2013 22:41 WIB
Banda Aceh - Dalam kesaksiannya di depan majelis hakim yang di ketuai Samsul Qamar SH, Kamis sore (31/10/2013), Rahmiana selaku sekretaris Pembantu Rektor I Prof. Ir Samsul Rizal pada tahun 2009 dan 2010, mengaku di perintahkan Samsul Rizal untuk melakukan penyetoran beasiswa Jalur Pengembangan Beasiswa (JPD) kepada 81 orang mahasiswa sesuai data dari Biro Isra pemerintah Aceh.

Dari 81 orang mahasiswa penerima manfaat tersebut, hanya 79 orang yang di transfer Rahmi, sedangkan dua orang lagi tidak ikut lagi program tersebut. Dari dana yang di transfer Rahmi kepada mahasiswa dengan rincian Rp 25 juta per mahasiswa setiap tahunnya.

Pencairannya dilakukan dalam tiga tahap. pertama untuk biaya hidup, tahap ke dua untuk SPP dan tahap ke tiga untuk biaya hidup dan biaya asrama.

Setelah dilakukan pentranferan kemahasiswa, ternyata dana tersebut masih lebih senilai Rp 30 juta.

Anehnya dana yang lebih senilai Rp 30 juta tersebut di transfer ke rekening penampung atas nama pribadi Samsul Rizal, yaitu di Bank BNI.

“Dana yang lebih senilai Rp 30 juta dari beasiswa JPD saya laporkan ke pak Samsul dan diminta untuk di tranferkan ke rekening penampung atas nama Samsul Rizal, kemudian dana tersebut di transfer kembali ke rekening Rektor Unsyiah 152. Dan saat ini rekening penampung sudah ditutup,” jelas Rahmi menjawab pertanyaan hakim Ainal Mardhiah.

“Kenapa harus ditutup rekening penampung itu? dan kapan dana di rekening penampung dikirim ke rekening BNI nomor 152?,” kejar hakim Ainal Mardhiah lagi.

“Saya tidak tau kenapa ditutup�yang mulia. Seingat saya dana itu ditarik dari rekening penampung atas nama Samsul Rizal saat penyidikan oleh pihak Kajati,” jawab Rahmi dengan gugup.

Selain itu Rahmi juga pernah diminta Samsul Rizal untuk mencairkan cek senilai Rp. 381 juta. Dana tersebut menurut Samsul Rizal merupakan dana untuk SPP Mahasiswa penerima beasiswa Guru Terpencil (gurdacil) yang diserahkan kepada terdakwa Prof. DR. Yusuf Azis, selaku ketua pelaksana program gurdacil, jelas Rahmi saat diminta kesaksiannya di persidangan.

Bukan cuma itu saja, Rahmi juga bertugas untuk mentranfer honorer panitia beasiswa senilai Rp 65 juta. Dan Ia juga mengaku pernah disuruh oleh PR I� untuk membuat rancangan penggunaan dana beasiswa JPD untuk bisa di ajukan ke Rektor guna pencairan dananya.

Sering rancangan tersebut dibuat dadakan sehingga tidak ada pertinggalnya sama Rahmi selaku sekretaris PR I saat itu.

Semua yang di kerjakan Rahmi berdasarkan arahan dan permintaan PR I saat itu, Prof. DR. Samsul Rizal.

Kamis, 10 Oktober 2013

Usulan Rp 50 M tak Direspons

Serambi Indonesia 

 Jumat, 4 Oktober 2013 09:57 WIB

BANDA ACEH - Seluruh fraksi di DPRA, termasuk Fraksi Partai Aceh (FPA), tempat Adnan Beuransah bernaung, Kamis (3/10) kemarin tidak merespons usulan tambahan biaya pengukuhan Wali Nanggroe Ke-9 yang dia ajukan sebesar Rp 50 miliar, Selasa (1/10) lalu.

Usulan itu disampaikan Adnan dalam pemandangan umumnya pada Sidang Paripurna Lanjutan RAPBA-P 2013 di Gedung Utama DPRA, Selasa. “Dana sebesar itu merupakan perkiraan biaya maksimalnya. Jika dalam perjalanan pengukuhannya nanti tidak habis, uangnya tetap menjadi Silpa di APBA-P 2013,” kata Adnan saat itu.

Namun, usulan maupun argumennya itu terkesan diabaikan dalam sesi penyampaian pendapat akhir fraksi kemarin. Hingga sidang berakhir, tidak satu fraksi pun yang meresponsnya. 

Tapi kesemua fraksi dalam pendapat akhirnya menyetujui usulan tambahan anggaran belanja pembangunan yang diajukan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dalam RAPBA-P 2013 sebesar Rp 618 miliar dari Rp 11,7 triliun menjadi Rp 12,3 triliun. 

Sidang Paripurna Lanjutan RAPBA-P 2013 itu berisi agenda pendapat akhir fraksi terhadap Nota Keuangan RAPBA-P 2013. Sidang dibuka oleh Wakil Ketua II DPRA, Sulaiman Abda yang didampingi Ketua Hasbi Abdullah dan Wakil Ketua I, Muhammad Tanwier Mahdi pada pukul 9.45 WIB di Gedung Utama DPRA. 

Setelah pimpinan sidang membuka sidang, jumlah anggota DPRA yang hadir masih sedikit atau belum mencapai 50 persen dari total anggota DPRA yang berjumlah 69 orang. Pimpinan sidang terpaksa menskors atau menunda sidang selama 15 menit menunggu kuorum tercapai.

Setelah 15 menit berselang, pimpinan sidang mencabut skors dan melanjutkan sidang kembali. 

Pada saat pimpinan sidang hendak mempersilakan Juru Bicara (Jubir) Fraksi Partai Aceh, Tgk M Harun menyampaikan pendapat akhir fraksinya, tiba-tiba Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah masuk ke ruang sidang utama. Spontan pimpinan sidang mempersilakan Gubernur Zaini lebih dulu duduk di kursi yang disediakan untuknya, baru mempersilakan Jubir FPA itu untuk menyampaikan pendapat akhir fraksinya.

Menurut Tgk M Harun, fraksinya setuju dengan usulan tambahan anggaran yang diajukan Gubernur Zaini Abdullah dalam Nota Keuangan RAPBA-P 2013 bahwa untuk pendapatan nilainya Rp 10,471 triliun, belanja Rp 12,398 triliun, sehingga terjadi defisit Rp 1,926 triliun. 

Defisit itu ditutupi dengan penerimaan pembiayaan/Silpa 2012 sebesar Rp 1,931 triliun dan pengeluaran pembiayaan Rp 4,850 miliar, sehingga netto pembiayaannya menjadi nol. Artinya, jika nanti realisasi penerimaan dan pendapatan terealisir 100 persen, maka tak ada Silpa pada akhir tahun 2013.

Sedangkan tambahan biaya pengukuhan Wali Nanggroe sebesar Rp 50 miliar yang diusul Adnan Beuransah dari FPA, tidak disinggung sedikit pun dalam pendapat akhir fraksi partai yang paling dominan di DPR Aceh tersebut.

Kemudian, pimpinan sidang mempersilakan Jubir Fraksi Partai Demokrat (FPD) untuk menyampaikan pendapat akhir fraksinya. Jubir fraksi, Siti Aisyah SE mengatakan, fraksinya setuju dengan tambahan belanja pembangunan yang diajukan Gubernur Aceh dalam Nota Keuangan RAPBA-P 2013. 

Selain menyetujui tambahan anggaran belanja pembangunan untuk rehab rekon di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang diguncang gempa 2 Juli lalu, FPD juga meminta Gubernur Aceh mengaudit anggaran pendirian sekolah teknik penerbangan yang telah berjalan tiga tahun, tapi sejumlah peralatan yang dibeli tidak jelas. 

“Kita minta BPK melakukan auidit investigasi, karena dana yang digunakan untuk membeli alat peraga atau simulator sekolah penerbangan itu menggunakan dana Otsus,” kata Siti Aisyah.

Persetujuan terhadap tambahan belanja pembangunan dalam RAPBA-P 2013 yang disampaikan Gubernur Zaini itu juga disetujui Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PPP/PKS.

Jubir Fraksi Partai Golkar Husin Banta mengatakan, setelah pengesahan RAPBA P 2013 diharapkan semua dana hibah dan bansos yang tertunda penyalurannya dalam APBA murni, segera disalurkan setelah mendapat klarifikasi dari Mendagari. Hal yang sama juga diserukan Jubir PPP/PKS, Mahyaruddin.
Tapi, kedua juru bicara itu, tidak sedikit pun menyinggung soal usulan tambahan dana pengukuhan Wali Nanggroe yang disampaikan anggota Fraksi Partai Aceh Adnan Beuransah, Selasa lalu.

Usai sidang paripurna, kedua juru bicara tadi yang dimintai penjelasannya kenapa dalam pendapat akhir fraksi tidak disinggung sedikit pun soal tambahan dana pengukuhan Wali Nanggroe, keduanya mengatakan bahwa untuk biaya pengukuhan Wali Nanggroe telah disediakan dalam APBA murni sebesar Rp 2,4 miliar. 

“Dana yang sudah ada saja kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk memeriahkan acara pengukuhan Wali Nanggroe Ke-9 itu. Soalnya, kita masih butuh dana yang banyak untuk rehab rekon gAceh Tengah dan Bener Meriah pascagempa dahsyat 2 Juli lalu,” kata Jubir Fraksi Partai Golkar, Husin Banta. (her)

KPK: Revisi Anggaran Wali

Serambi Indonesia 

 Kamis, 10 Oktober 2013 09:16 WIB

KPK: Revisi Anggaran Wali
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqodhas memberikan kuliah umum untuk siswa Sekolah Anti Korupsi di Kantor Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Rabu (9/10). Kuliah umum tersebut untuk meningkat kesadaran masyarakat dan menanamkan ilmu pengetahuan bagaimana menghindari dan memberantas korupsi bagi generasi muda. 
 
 
SERAMBI/BUDI FATRIA 
 
* Pernyataan Busyro Saat Kuliah Umum

BANDA ACEH - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas mengatakan, Pemerintah Aceh sebaiknya merevisi APBA untuk pengukuhan Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar dan lain-lain, jika selama ini dikritisi banyak warga Aceh, karena dinilai terlalu besar dan tidak ada manfaat nyatanya bagi rakyat.

Busyro menyampaikan hal ini ketika menjawab pertanyaan para mahasiswa dan aktivis Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh saat ia memberi kuliah umum di Sekretariat Sekolah Antikorupsi Aceh (Saka), Luengbata, Banda Aceh, Rabu (9/10) sore. “Ya, kalau itu terlalu besar, maka harus direvisi,” kata Busyro.

Busyro yang kembali menyampaikan persoalan ini ketika menjawab pertanyaan wartawan seusai memberi kuliah umum, mengakui dirinya belum mempelajari detail soal Wali Nanggroe, khususnya terkait penggunaaan anggaran, namun baru mengetahui sedikit-sedikit. “Intinya setiap penggunaan anggaran harus dilakukan secara berhati-hati yang didasarkan pada semangat keberpihakan kepada rakyat,” jawab Busyro.

Menurutnya, hal ini sesuai dengan sistem Konstitusi di Indonesia yang berdaulat kepada rakyat, begitu juga proses demokrasi, termasuk kebijakan penganggaran.

Ketika sesi tanya jawab seusai memberi kuliah umum, hampir semua penanya mempertanyakan sikap KPK soal anggota DPRA Fraksi Partai Aceh, Adnan Beuransah yang mengusul dana untuk pengukuhan Wali Nanggroe yang rencananya Desember nanti mencapai Rp 50 miliar. Bahkan para mahasiswa antikorupsi dan aktivis menilai biaya pengukuhan Wali yang sudah disahkan dalam APBA murni 2013 sebesar Rp 2,4 miliar itu pun masih tinggi.

“Secara normatif setiap penggunaan keuangan negara itu jelas orientasinya berpihak kepada rakyat. Kalau itu dinilai tak berjalan, silakan diingatkan melalui gerakan yang tak konfrontatif. Tak perlu berdemo, apalagi sampai anarkis, silakan berdialog dengan cara cerdas dan melibatkan elemen-elemen penting, seperti ulama,” saran Busyro.

Lebih dari itu, Busyro bahkan mempersilakan setiap warga melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ke polisi, jaksa, bahkan ke KPK. Jika ke KPK, pengaduan tindak pidana korupsi melalui email pengaduan@kpk.go.id atau sms ke 08558575575 dan 0811959575. Sedangkan informasi gratifikasi ke nomor telepon (021) 25578440 dan ke email Gratifikasi@kpk.go.id.

“Dalam setahun, kami bisa menerima hingga 6.000 laporan dari Sabang sampai Merauke. Dari laporan itu, 365 orang jadi terdakwa dan semua dihukum, kecuali satu kasus korupsi di Bekasi yang tak diterima di pengadilan tingkat pertama, tetapi tetap dihukum di tingkat kasasi,” tegas Busyro.

Pimpinan KPK ini juga mengapresiasi GeRAK Aceh yang telah membentuk sekolah antikorupsi karena selama ini masih banyak warga yang belum sadar melawan korupsi, termasuk dalam satu rumah tangga, sehingga tak jarang suami istri sama-sama terlibat. 

Kuliah umum itu dimulai sekitar pukul 15.00 WIB, berlangsung sekitar tiga jam. Di akhir acara, Wakil Kepala Sekolah Antikorupsi Aceh,  Mahmuddin menyerahkan satu kaos dan cenderamata kepada Busyro. Ia berterima kasih atas pemberian itu dan mengatakan pemberian tersebut akan menjadi barang inventaris KPK yang nantinya akan diberikan kepada yang berhak. 

Hari ini, Kamis (10/9), di Kantor Gubernur Aceh, Busyro dijadwalkan akan menyampaikan hasil kajian KPK dan BPK terhadap APBA dan APBK se-Aceh sebagaimana harapan Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah demi mencegah terjadinya korupsi di bumi syariat ini. (sal)

Gelapkan Uang Rp 419 Juta, Kepala Kantor Meureudu Kabur

Serambi Indonesia

 Rabu, 9 Oktober 2013 16:41 WIB

Laporan : Idris Ismail | Pidie Jaya  

SERAMBINEWS.COM, MEUREUDU - ZR bin IS (46) kepala  Kantor Cabang  Pos Meureudu, Pidie Jaya, sejak Senin (7/10/2013) menghilang dari tugas setelah sebelumnya yang bersangkutan membawa kabur gaji pensiunan  Rp 419 juta.

Kapolres Pidie, AKBP Sunarya SIk didampingi Kasat Reskrim, AKP Ibrahim kepada Prohaba, Rabu (9/10/2013) mengatakan,  Kepala Kantor Pos Cabang Sigli, Brahma Silalahi (41) selaku penggadu sejak Senin (7/10/2013) sekira pukul 18.00 WIB melaporkan Kepala Kantor Pos Cabang Meureudu, Pidie Jaya atas pengelapan dana Pensiunan Rp 419.641.625.

"Pelaku, ZR bin IS belum diketahui jejaknya sejak dua hari lalu dan yang bersangkutan diduga kuat telah membawa kabur dana pensiunan Rp 419.641.625,"ujar Sunarya.

Ia mengatakan,  Ihwal peristiwa tersebut terjadi, persis pada Senin (7/10/2013) pada saat hendak dilakukan pembayaran gaji pensiun, ternyata,  pelaku tidak hadir di loket tempat melanyani pembayaran gaji pensiun.

Belakangan terungkap setelah dilihat ternyata uang dalam brangkas dalam keadaan kosong. "Kasus ini dalam penanganan dan jumlah dana Rp 419.641.625 masih dalam penyidikan terutama alokasi dana itu diperuntukan bagi berapa orang,"demikian Sunarya.(*)

Editor: jalimin 
 

Rabu, 02 Oktober 2013

Rp 50 M untuk Kukuhkan Wali

Serambi Indonesia

 Rabu, 2 Oktober 2013 10:03 WIB

* Usulan Anggota F-PA DPRA

BANDA ACEH - Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (F-PA), Adnan Beuransyah mengusulkan kepada Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran Rp 50 miliar dalam RAPBA-P 2013 untuk kepentingan pengukuhan Wali Nanggroe IX yang dijadwalkan Desember mendatang.

Usulan itu disampaikan Adnan Beuransyah dalam pemandangan umumnya pada sidang paripurna lanjutan RAPBA-P 2013, di Gedung Utama DPRA, Selasa (1/10). “Dana sebesar itu merupakan perkiraan biaya maksimalnya. Jika dalam perjalanan pengukuhannya nanti tidak habis, uangnya tetap menjadi Silpa di APBA-P 2013,” kata Adnan Beuransyah menanggapi wartawan seusai sidang.

Menurut Adnan, dirinya menyampaikan usulan anggaran biaya untuk pengukuhan Wali Nanggroe melalui sidang lanjutan paripurna RAPBA-P dengan materi pemandangan umum anggota DPRA terhadap penyampaian Nota Keuangan RAPBA-P 2013. Karena, kata Adnan, dalam Nota Keuangan RAPBA 2013 yang disampaikan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, biaya untuk pengukuhan Wali Nanggroe belum dialokasikan.

Dikatakan Adnan, pengusulan anggaran sebesar itu (Rp 50 miliar), karena kegiatan dalam rangka pengukuhan Wali Nanggroe IX nantinya cukup banyak. Ada yang sifatnya lokal, nasional, dan internasional.
Kegiatan lokal, misalnya melakukan kenduri raya dengan mengundang satu  juta orang masyarakat Aceh dari 23 kabupaten/kota dan kegiatan lainnya selama tujuh hari berturut-turut. Yang bersifat nasional melakukan seminar  yang terkait dengan kedudukan Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen.

Selanjutnya, kata Adnan, juga diundang raja-raja yang telah diakui negara di seluruh wilayah Indonesia. Misalnya, Raja Yogjakarta dan lainnya, Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri, duta besar negara-negara asing yang ada di Jakarta dan kota besar lainnya.

Sedangkan yang sifatnya internasional, mengundang para raja negara-negara sahabat, misalnya dari Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Arad Saudi, dan lainnya.

Mengundang para raja dan pejabat penting negara dari dalam maupun luar negeri, menurut Adnan membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebab, harus menyediakan tempat penginapan atau hotel yang bagus beserta pengamanan. Untuk menyambut kedatangan para tamu Wali Nanggroe tersebut, Unsur Muspida Plus melakukan penyambutan secara adat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM). “Tentu semua itu perlu biaya besar,” kata Adnan yang juga Ketua Komisi A DPRA tersebut.

Jadi, kata Adnan, anggaran maksimal yang diusulkan untuk acara pengukuhan Wali Nanggroe, bukan semata untuk seremonial pengukuhan tetapi sekaligus mengangkat harkat dan martabat masyarakat Aceh.

“Masyarakat Aceh memiliki adat budaya yang tinggi dan mulia yang tercermin dari pengukuhan Wali Nanggroe yang dilakukan dengan sangat bagus dan meriah sehingga menjadi kenangan para tamu yang datang ke Aceh. Ini juga memberikan makna bahwa masyarakat Aceh sangat memuliakan tamu,” demikian Adnan Beuransyah.(her)

Selasa, 24 September 2013

Mantan Rektor Unsyiah Dijebloskan ke Penjara terkait Dugaan Korupsi Beasiswa




Riky Syah Putra
Nanggroe | 24/09/2013





BANDA ACEH - Mantan Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Prof. Darni M Daud, Selasa (24/9), ditahan jaksa penuntut umum terkait kasus dugaan korupsi Rp3,6 miliar di kampus ternama di Aceh tersebut.

Sebelum ditahan, Prof Darni M Daud yang ditetapkan sebagai tersangka beberapa bulan lalu sempat diperiksa selama enam jam, sejak tadi pagi pukul 10.00 WIB hingga 16.00 WIB sore tadi, di ruang Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh.

Selain Darni, jaksa penuntut umum juga menahan Prof M Yusuf Aziz dan tersangka Mukhlis, yang keduanya merupakan dosen dan pejabat di rektorat Unsyiah yang juga terlibat tersebut. Ketiganya diduga menyelewengkan uang beasiswa mahasiswa bantuan Pemerintah Aceh dan DIPA Unsyiah.

Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh Husni Thamrin kepada wartawan mengatakan, penahanan dilakukan untuk mempermudah proses hukum ketiga tersangka, terutama saat persidangan nanti.

"Selain untuk memperlancar persidangan, alasan penahanan tersangka yaitu agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan bukti, serta tidak mempengaruhi para saksi. Ketiga tersangka dititipkan di Rutan Kelas II B Kahju,Aceh Besar, selama 20 hari. Penahanan ini bisa diperpanjang," ujarnya.

Berkas perkara ketiga tersangka, kata Kajari, dibuat terpisah. Untuk tersangka Prof Darni M Daud dibuat satu berkas dan tersangka Prof M Yusuf Aziz dan Mukhlis satu berkas. Pemisahan berkas dilakukan sejak di jaksa penyidik.

Dalam perkara ini, Kajari menjelaskan,  Prof Darni M Daud diduga menyelewengkan beasiswa program jalur pengembangan daerah atau JPD dari Pemerintah Aceh tahun anggaran 2009-2010 sebesar Rp1,7 miliar. Sedangkan tersangka Prof M Yusuf Aziz dan tersangka Mukhlis, kata dia, terlibat dugaan penyelewengan beasiswa guru daerah terpencil mencapai Rp1,8 miliar.

"Dalam kasus ini, Prof M Yusuf Aziz melakukan pencairan ganda, pertama mencairkan dari anggaran Pemerintah Aceh dan kedua dari DIPA Unsyiah yang bersumber dari APBN. Jadi, total kerugian negara berdasarkan hasil audit mencapai Rp3,6 miliar," kata Husni Thamrin.(Riky Syah Putra)

ABDULLAH SALEH : Dewan Menerima Dana TKI Tidak Melanggar Hukum



Fauzul Husni
Nanggroe | 24/09/2013


BANDA ACEH - Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Abdullah Saleh menghimbau kepada Anggota DPRA periode 2004 - 2009  yang pernah menerima dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) untuk tidak resah. Hal itu karena menurutnya, anggota dewan yang menerima dana TKI tersebut bukanlah perbuatan melanggar hukum.

"Landasan hukumnya bagi anggota DPRD Propinsi maupun DPR Kabupaten/Kota dalam hal menerima dana TKI itu sangat jelas yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.37 tahun 2006 Tentang dana Tunjangan Komunikasi Intensif bagi anggota DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota. Soal PP tersebut kemudian dibatalkan dengan PP No.21 tahun 2007, itu tidak bermakna atas apa yang telah dijalan berdasarkan PP sebelumnya yang telah batal," kata Abdullah Saleh kepada acehonline.info, Selasa (24/9), di Banda Aceh.

Jika demikan, Abdullah Saleh menjelaskan, semua pihak khsusnya dewan tidak akan berani untuk menjalankan sebuah Peraturan Pemerintah (PP), dikarenakan kekhawatiran denan PP lainnya ke depan yang akan membuat PP sebelumnya batal.

"Apa yang kami dijalankan sudah berdasarkan peraturan sebelumnya, sedangkan terkait Surat Edaran Mendagri No.555/3032/SJ Tahun 2009 yang meminta pengembalian dana TKI tersebut juga tidak mempunyai kekuatan mengikat," ujar politisi Partai Aceh ini.

Pemerintah, Abdullah Saleh menilai, telah membuat kebijakan yang keliru, dimana satu sisi telah menerbitkan PP memberi dana TKI untuk anggota DPRD, yang selanjutnya membatalkannya dan menagih kembali dana yang telah diberikan tersebut.

"Ini sudah jelas bahwa kebijakan Pemerintah yang aneh. Untuk itu saya tegaskan, anggota dewan pada waktu itu sah menerima dana TKI dan tidak ada perbutan yang melanggar hukum. Tidak ada unsur menyalahgunakan wewenang dan tidak ada aturan yang dilanggar," imbuh Abdullah Saleh yang sebelumnya juga merupakan Anggota DPRA Periode 2004-2009 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).(Fauzul Husni)

Anggota DPRA Belum Lunasi Pengembalian Dana TKI, GeRAK Surati Mendagri




Saradi Wantona
Nanggroe | 24/09/2013





BANDA ACEH - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh akan menyurati Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait masih banyaknya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Periode 2004-2009, yang belum melunasi pengembalian Dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Dana Operasional Pimpinan DPRA.

Hal tersebut merupakan tindak lanjut oleh GeRAK Aceh terhadap kesepakatan bersama antara DPRA dengan GeRAK Aceh dalam Sidang Ajudikasi yang difasilitasi oleh Komisi Informasi Aceh.

"Kami akan segera menyurati Mendagri, agar jelas kepastian hukum bagi anggota yang belum lunas atau masih menyicil," kata  Isra Safril, Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh kepada acehonline.info , Senin (23/9), usai Sidang Pembacaan Putusan oleh Komisi Informasi Aceh (KIA) di Aula Seuramoe Informasi Aceh.

Putusan dan balasan dari Mendagri, Isra menjelaskan, akan menjadi kekuatan bagi GeRAK Aceh untuk melakukan publikasi data Anggota DPRA yang masih menunggak pengembalian dana Tki tersebut.

"Jika balasan dari Mendagri belum ada, sesuai keputusan sidang, GeRAK Aceh masih tidak diperbolehkan mempublikasi ke publik," papar Isra Safril.

Dari 69 anggota DPRA periode 2004-2009,  kata Isra, baru belasan yang sudah melunasi pengembalian dana tersebut secara keseluruhan. 

"Masih banyak yang belum lunas. Nantinya, jika sudah ada balasan dari pihak Kemendagri, GeRAK akan segera mempublikasi melalui media massa," imbuh Isra.

Seperti diketahui, Anggota DPRA periode 2004-2009 menerima sejumlah dana Tunjangan Komunikasi Intensid dan Bantuan Penunjang Operasional (BPO). Sesuai PP No. 21 Tahun 2007 dan Permendagri No. 21 Tahun 2007 ditegaskan bahwa, Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima TKI dan BPO, harus melunasi dan menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah. Namun hingga kini, masih banyak anggota dewan yang belum mengembalikan dana tersebut.(Saradi Wantona)

GeRAK Tetap Pertanyakan Dana TKI Anggota DPRA

Serambi Indonesia

Senin, 9 September 2013 10:21 WIB


* Besok Sidang Ajudiksi
BANDA ACEH - Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh masih tetap gigih mempertanyakan kelanjutan dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) anggota DPRA. Apakah sudah semua anggota dewan membayar lunas atau mencicilnya dan berapa orang lagi yang hingga kini masih menunggak.
Terkait dengan wacana itu, GeRAK Aceh akan memenuhi panggilan sidang ajudikasi yang disampaikan petugas kepaniteraan Komisi Informasi Aceh (KIA), Drs Yusran MSi terkait sengketa informasi publik menyangkut dana TKI anggota DPRA pada Selasa (10/9) besok di Aula Seuramoe Informasi Aceh, Banda Aceh pukul 10.00 WIB.
“Agenda surat panggilan ajudikasi dengan nomor 002/KIA/VIII/2013 tertanggal 3 September 2013 ini adalah pemeriksaan awal,” kata Kepala Divisi Kebijakan Publik Isra Safril, kepada Serambi, Minggu (8/9).
Surat panggilan dari KIA ini, kata dia, merupakan tindak lanjut dari permohonan yang diajukan GeRAK pada 11 April 2013 lalu bernomor 039/B/G-Aceh/IV/2013 kepada Sekwan DPR Aceh. Dalam surat permohonannya, GeRAK meminta data/dokumen tentang Dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPR Aceh kepada Sekwan DPR Aceh.
“Kita ingin tahu daftar anggota DPR Aceh periode 2004-2009 yang sudah dan belum melunasi serta yang masih menyicil dana-dana tersebut,” ujarnya.
“Karena tak ada konfirmasi dan balasan dari Sekretariat DPR Aceh terhadap surat tersebut, maka sesuai amanah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, GeRAK Aceh kemudian memberikan surat keberatan kepada Sekda Aceh dengan Nomor 044/B/G-Aceh/IV/2013 selaku atasan dari Sekretariat DPR Aceh pada 26 April 2013,” jelas Isra Safril.
Namun, Sekda Aceh juga tidak menanggapi surat keberatan dari GeRAK Aceh, maka perkara ini dilanjutkan melalui KIA untuk diselesaikan karena adanya sengketa informasi.
Lagi pula dokumen publik itu merupakan dokumen yang boleh diakses oleh masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Sidang ajudikasi ini merupakan bentuk pembelajaran bagi masyarakat umum agar turut memahami bentuk informasi publik yang boleh diakses dan tidak boleh diakses oleh masyarakat,” katanya.
Ke depan, lanjut Isra, diharapkan pemerintah daerah, khususnya para dinas dan jajarannya bisa memahami bahwa masyarakat berhak dan boleh mengetahui dokumen pemerintahan sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008.
“Kecuali memang ada beberapa dokumen yang memang dikecualikan dan tidak boleh diakses oleh masyarakat seperti dokumen keamanan negara. Itu semua juga diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008,” ujarnya. Dalam sidang ajudikasi besok, sebut Isra, GeRAK Aceh akan diwakili oleh koordinatornya Askhalani dan Kepala Divisi Antikorupsi, Hayatuddin. (sr)

Sekerataris DPRA Minta Waktu Konsultasi

Serambi Indonesia

Rabu, 11 September 2013 10:01 WIB


* Sidang Ajudikasi Terkait Informasi Dana TKI
BANDA ACEH - Komisi Informasi Aceh (KIA), Selasa (10/9) kemarin, menggelar sidang ajudikasi terkait sengketa informasi publik menyangkut dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPR Aceh, antara Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh melawan Sekwan DPR Aceh. Namun, sidang ditunda dan dilanjutkan hari ini dengan agenda mediasi.
Dalam sidang yang berlangsung di Seuramoe Aceh itu, pihak termohon yaitu Sekretariat Dewan Aceh yang diwakili Sekretaris DPRA A Hamid Zein, meminta waktu untuk berkonsultasi dengan para anggota DPR Aceh. Keputusan ini dilakukan atas tawaran Ketua Majelis Komisioner Jehalim Bangun untuk melakukan mediasi.
“Kita bersedia untuk proses mediasi, tetapi kita minta waktu satu atau dua hari untuk berkonsultasi dengan anggota dewan. Karena dana ini yang mempergunakan adalah anggota dewan, jadi nanti jangan salah mengambil kebijakan. Karena kami sifatnya adalah pelaksana administratif,” ujarnya menjawab Ketua Majelis Komisioner.
Mengenai mediasi, ini disebutkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Pada pasal (2) disebutkan dalam proses mediasi anggota Komisi Informasi berperan sebagai mediator. Selain itu, ini juga diatur dalam Peraturan Komisi Informasi.
Lebih lanjut dalam pasal 42 UU dimaksud dijelaskan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi informasi hanya dapat ditempuh apabila upaya mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
“Mediasi ini agar menemukan apa yang diinginkan pemohon dari termohon dan pada prinsipnya mediasi bersifat tertutup. Kecuali kedua belah pihak, termohon dan pemohon bersedia melakukan mediasi secara terbuka. Kalau mediasi ini tidak berhasil, maka sidang ajudikasi dilanjutkan. Tapi kalau berhasil, maka keputusannya akan dituangkan dalam sebuah nita kesepakatan antara pemohon dan termohon,” kata Komisioner KIA Zainuddin T.
Karena, kedua belah pihak setuju untuk dimediasi oleh KIA, maka sidang ajudikasi ditunda dan besok dilanjutkan dengan agenda mediasi dengan Zainuddin T selaku mediator.
Komisi Informasi (KI) adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infomasi Publik dan peraturan pelaksanaanya menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.
“Hal itu tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 pasal 23. Jadi, Komisi Informasi bukan lembaga yang menyediakan informasi, tetapi lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa informasi, antara masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi atas badan publik yang memiliki informasi,” jelas Zainuddin.
Fungsi keberadaan lembaga ini dalam UU dimaksud bertujuan antara lain untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik, serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu transparan, efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.
“Apabila masyarakat tidak mendapatkan jawaban atas informasi publik yang diinginkan dari badan publik melalui mekanisme perundang-undangan, maka dapat mengajukan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Aceh (KIA) untuk ditindaklanjuti,” pungkas Zainuddin.(sr)