Rabu, 22 Januari 2014

Opini : Dilema Dana Hibah


Serambi Indonesia

Rabu, 22 Januari 2014 08:43 WIB

Oleh Aulia Sofyan
MASYARAKAT luas mungkin masih ada yang bertanya, bagaimana sebenarnya keberadaan Dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) yang dianggarkan dalam anggaran pembangunan dan belanja daerah, termasuk Aceh (APBA). Berdasarkan PP No.2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, adalah pemberian dengan pengalihan hak atas suatu dari pemerintah atau pihak lain kepada pemda atau sebaliknya, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. 
Sedangkan Bansos adalah transfer uang atau barang yang diberikan pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial (Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Pedoman Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD).
Selain itu, soal hibah juga diatur dalam Permendagri No.39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD. 
Saat ini regulasi pemberian hibah dan bansos yang bersumber dari APBD sebenarnya sudah komplit. Jadi untuk pedoman pelaksaan hibah daerah kita harus merujuk pada tiga landasan peraturan yaitu PP No.2 Tahun 2012, Permendagri No.32 Tahun 2011, dan Permendagri No.39 Tahun 2012.
Sejalan dengan pengesahan APBA 2013 dan Mendagri mengevaluasi serta menerbitkan surat yang berisi ketidaksetujuan pemerintah pusat untuk sejumlah program dan kegiatan hibah dan bansos yang jumlahnya di atas Rp 1 triliun dalam APBA 2013. Akibatnya dana hibah dan bansos dalam APBA 2013 belum bisa digunakan dan dicairkan, sehingga progress anggaran juga tidak seperti target yang ditetapkan. 
Mengapa ada koreksi Mendagri terhadap alokasi dana hibah dan bansos dalam APBA 2013? Hal ini terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan prosedur penganggaran, tidak transparan dalam proses perencanaan dan pembahasan antara eksekutif dan legislatif, sampai dana hibah dan bansos muncul tiba-tiba saat anggaran hendak disahkan.
Seharusnya dalam KUA dan PPAS RAPBA 2013 sudah dimasukkan sehingga sesuai dengan mekanisme penganggaran dan tidak melanggar prosedur penganggaran. Akibatnya plot dana hibah dan bansos di beberapa SKPA ini menganggur dan diharuskan mengikuti koreksi Mendagri dan Pergub Aceh yang mengharuskan diverifikasi setiap proposal sebelum dananya diproses untuk dicairkan. 
Akibatnya Mendagri minta agar soal dana hibah dan bansos diproses kembali di APBA perubahan dan baru bisa dicairkan anggarannya setelah pengesahan APBA Perubahan.
 Mudah diselewengkan
Ditengarai dana bansos dan hibah merupakan pos anggaran yang paling mudah diselewengkan dan menjadi temuan atas dugaan pelaksanaan fiktif dan indikasi penyelewengan korupsi. Struktur anggaran dalam APBD 2013 di berbagai daerah memang terdapat begitu besar anggaran untuk dana hibah dan bansos. 
Hal ini diprediksi oleh berbagai pengamat akan terjadi rawan penyimpangan dan masalah hukum mengincar para eksekutif dan dewan di kemudian hari. Terlebih pada tahun ini yang merupakan tahun politik, tentu membutuhkan banyak cost politik bagi para politikus baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Politisasi anggaran sebenarnya bukanlah hal yang tabu dalam pembahasan anggaran, karena memang di lembaga legislatiflah anggaran dibahas dan disahkan. Bambang PS Brodjonegoro (2007), berpendapat bahwa keterlambatan pengesahan APBD yang terjadi di berbagai daerah selama ini disebabkan oleh pengawasan DPRD yang amat longgar, serta kelemahan dalam perencanaan pembangunan daerah. 
Satu penyebab rendahnya serapan anggaran di berbagai pemda adalah adanya kelemahan perencanaan yang mengakibatkan diperlukannya revisi rencana kerja dan anggaran. Penyebab lainnya adalah terkait dokumen anggaran seperti prosedur revisi RKA yang memerlukan waktu lama, dan adanya keterlambatan dalam siklus proyek seperti tender dan pelaksanaan di lapangan.
Bahwa perlu dilakukan perbaikan dalam langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan program, mekanisme penganggaran, serta pemantauan dan evaluasi penanganan masalah yang sistematis sehingga terjadi integrasi dan sinkronisasi program sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. 
Pemerintah daerah perlu secara tegas menguatkan kembali tujuan, strategi dan skala prioritas yang dilakukan dengan penajaman kembali rencana pembangunan dan anggaran dengan refocusing program sehingga mampu merangkum rencana menjadi dokumen yang sistematis dan praktis sehingga mampu menghindari multitafsir dan menata pentahapan program penganggaran sebagai petunjuk penyusunan kegiatan dengan memperhatikan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat dan disandingkan dengan RPJM daerah.
Secara umum modus pemborosan anggaran juga kerap ditemukan pemerintah daerah, seperti pembelian mobil baru dan biaya perjalanan dinas yang terlalu banyak bagi suatu instansi. Ada juga belanja penyelenggaraan kepemimpinan yang bentuknya hanya sosialisasi satu undang-undang namun dilakukan oleh beberapa departemen/SKPD/SKPA. 
Kalau ditinjau dari aspek penggunaan anggaran akan berakibat pada pemborosan. Mengapa hal tidak difokuskan pada satu instansi saja sehingga biaya bisa dipangkas. Apabila gaya ini masih dipertahankan, maka harapan dan target MDG (Millenium Development Goals) untuk pengentasan kemiskinan, pemenuhan pendidikan gratis hingga komunikasi global di tahun 2015 akan sulit tercapai. 
Struktur anggaran dan pemborosan yang ada sekarang diperparah oleh ketidaktransparannya pemerintah daerah dalam mem-break down APBD. Secara formalitas kelihatan trasparan namun pada kenyataannya tidak.
DPR sebenarnya perlu mengusahakan agar dokumen-dokuman rencana yang memuat anggaran program, kegiatan dan sub-kegiatan dapat dipublikasikan. Karena dalam dokumen ini berisi daftar-daftar rincian setiap kegiatan yang akan dilakukan.
 Dengan hal itu berarti masyarakat dapat melakukan pemantauan secara detail terhadap setiap program kegiatan yang akan dilakukan. Pemerintah DKI mulai tahun ini sudah mempublikasi APBD dan breakdown program/kegiatan yang ditempelkan di masing-masing kelurahan sehingga masyarakat tahu dan dapat turut serta mengawasi program/kegiatan yang dilaksanakan di wilayahnya.
 Beberapa alternatif
Ada beberapa alternatif yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menindaklanjuti koreksi Mendagri terhadap APBA 2013. Pertama, dana hibah dan bansos yang lebih Rp 1 triliun itu dapat dialihkan untuk menambah alokasi dana BKPG (Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong). 
Kalau sekarang baru dianggarkan sebesar Rp 50 juta per gampong, maka dalam APBA Perubahan bisa ditambah menjadi Rp 300 juta per gampong. Dana BKPG dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur gampong, pengentasan kemiskinan, pembinaan pendidikan, pengembangan kapasitas mantan GAM, pengembangan ekonomi seperti simpan pinjam, penguatan BUMDES dan kegiatan lain yang dibutuhkan masyarakat gampong.
Kedua, dana itu dialihkan kepada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Gayo pascagempa beberapa waktu yang lalu. Setelah disurvei ada sekitar 12.000 rumah yang harus diperbaiki dengan kategori rusak parah, sedang dan ringan.
 Hal ini membutuhkan dana besar yang bersumber dari APBN, APBA, serta APBK Aceh Tengah dan APBK Bener Meriah sendiri. Namun yang dominan dalam rehab rekon Gayo nantinya adalah berasal dari kantong APBA karena status bencana ditetapkan masuk dalam level penanganan provinsi. Artinya provinsilah yang paling dominan dalam rehab rekon Gayo.
Ketiga, dana yang sudah diplotkan untuk hibah dan bansos yang sedang diverifikasi oleh dinas-dinas tetap dimasukkan ke dalam KUA dan PPAS APBA Perubahan 2013, dengan catatan proposal yang sudah masuk dan tidak lolos verifikasi diperbaiki kembali. Tidak lolos verifikasi disebabkan berbagai alasan, seperti lokasi pelaksanan yang tidak valid, kegiatan tidak jelas, tujuan kabur dan rencana kegiatan yang diperkirakan akan bermasalah dan kemungkinan fiktif. 
Oleh sebab itu, Tim Verifikator SKPA tidak berani menerima proposal-proposal seperti itu karena akan menjadi masalah di kemudian hari. Masalah bukan ditanggung oleh penerima hibah atau bansos namun yang para pihak pengelola anggaran di SKPA lah yang akan menjadi pesakitan nantinya bila masalah muncul.
Keempat sebagai alternatif terakhir, dana hibah dan bansos yang ada dialihkan kepada kegiatan dan program padat karya yang dapat mengurangi angka pengangguran. Bencana Gempa Gayo beberapa waktu lalu telah dengan signifikan menaikkan kembali jumlah penduduk miskin di Aceh, walaupun angka yang pasti belum dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Yang pasti, masyarakat sangat berharap agar dana besar yang dianggarkan dalam APBA ini dapat dimanfaatkan segera dan memicu pengembangan perekonomian masyarakat di Aceh. Semoga!
* Dr. Aulia Sofyan, Pemerhati Masalah Perencanaan Pembangunan dan Anggaran. Email: s4071825@yahoo.com.au

Tervonis Mujahiddin belum Ditahan

Serambi Indonesia

Sabtu, 11 Januari 2014 12:26 WIB

MEULABOH - Pihak Kejaksaan Negeri Meulaboh (Kejari) Meulaboh, mengakui bahwa Mujahiddin, tervonis kasus korupsi dana sewa alat berat milik Pemkab Aceh Barat jenis forklift dalam sidang penutup Senin (6/1) di Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh belum ditahan.
“Karena tervonis lakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tipikor sehingga tidak ditahan, apalagi dalam putusan juga tidak disebutkan langsung ditahan. Tapi kalau tidak banding, maka tervonis langsung ditahan guna dieksekusi ke LP guna menjalani hukuman,” kata Kajari Meulaboh, Mara Ongku Nasution kepada Serambi, Jumat (10/1).
Menurutnya, tervonis Mujahiddin yang merupakan mantan Kabid Laut Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Aceh Barat sebelumnya tidak ditahan saat akan dilimpahkan ke Pengadilan guna disidang karena sakit kanker kepala dialaminya. Namun meski sakit terdakwa tetap mengikuti proses persidangan yang sudah vonis pada Senin lalu menjatuhkan 4 tahun penjara denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan. Selain vonis penjara, Mujahiddin juga diwajibkan membayar uang penganti sebesar Rp 100 juta, namun bila tidak dibayar maka harus diganti dengan hukuman penjara 6 bulan.
Kajari mengatakan, untuk Jono, mantan Kepala Pelindo Meulaboh, hingga kini masih ditahan di LP di Banda Aceh, sedangkan kasusnya sudah dilayangkan banding ke PT Tipikor Banda Aceh dan menunggu turunnya putusan. Sebelumnya dalam sidang penutup terhadap Jono, PN Tipikor Banda Aceh menjatuhkan vonis pada 6 November 2013 selama 2 tahun 6 bulan penjara (30 bulan) penjara denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan.
Menurut kajari banding terhadap tervonis Jono selain putusan rendah dari tuntutan 6 tahun 6 bulan (78 bulan) denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan serta diharuskan bayar uang penganti Rp 352.596.500, namun apabila tidak dibayar maka harus diganti dengan penjara 3 tahun 3 bulan. Sebab dalam putusan Jono tidak dikenakan uang pengganti. “Karenanya kasus itu kita lakukan banding,” katanya. (riz)

Mantan Pejabat Distannak Nagan Raya Dihukum 2 Tahun

Serambi Indonesia

Rabu, 15 Januari 2014 11:32 WIB

* Kasus Korupsi Dana Gapoktan di Nagan
JEURAM - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi(Tipikor) Banda Aceh, dalam sidang penutup menjatuhkan vonis 2 tahun penjara denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan dalam kasus  korupsi dana Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) terhadap M Bukhari SP, mantan Pejabat Pelaksana Kegiatan (PPK) dari Dinas Pertanian dan Peternakan (Distannak) Nagan Raya, pada Selasa pekan lalu.
Berdasarkan keterangan diperoleh Serambi dari JPU Kejari Suka Makmue, selain vonis penjara, majelis hakim juga mewajibkan Bukhari membayar uang pengganti sebesar Rp 70.898.000. Namun apabila tidak dibayar paling lama satu bulan setelah kasus inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap, maka harta terpidana disita untuk membayar uang pengganti tersebut. Bila tidak mencukupi maka dipidana penjara 3 bulan.
Vonis terhadap Bukhari tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU yang menuntut terdakwa 5 tahun 6 bulan penjara denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Selain tuntutan penjara, JPU juga menuntut terdakwa harus membayar uang pengganti sebesar Rp 308.898.000. Namun bila tidak dibayar paling lama sebulan setelah keluar kekuatan hukum tetap, maka harta terpidana disita, serta kalau tidak mencukupi maka dipidana penjara 6 bulan.
Sidang penutup di PN Tipikor pada Selasa pekan lalu terdakwa didampingi pengacara, sedangkan JPU dari Kejari Suka Makmue.
Nyatakan banding

Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Suka Makmue, Nagan Raya, Mawardi SH kepada Serambi, Selasa kemarin mengatakan, terhadap vonis majelis hakim pihak JPU menyatakan banding ke PTTipikor Banda Aceh. Sebab pertimbangan karena vonis terlalu rendah. “Sebelumnya pada saat sidang baik kita dari JPU dan terdakwa menyatakan pikir-pikir. Namun kini JPU menyatakan banding, momori banding segera diserahkan,” kata Mawardi.(riz)

SuAK: Kejati Harus Usut Kasus Tambang di Aceh Barat

Serambi Indonesia

Kamis, 23 Januari 2014 09:34 WIB

* Pengusutan di Daerah tak Jelas
MEULABOH - Badan Pekerja Solidaritas untuk Antikorupsi (SuAK) Aceh meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mengusut dugaan korupsi pertambangan yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat. Masalahnya, pengusutan kasus yang sebelumnya ditangani oleh Kejari Meulaboh dinilai tak jelas arahnya.
“Sudah lebih setahun kami melaporkan kasus korupsi tambang ke Kejari Meulaboh, akan tetapi hingga kini masih saja mengambang,” kata T Neta Firdaus kepada Serambi, Rabu (22/1).
Dia mengatakan, awalnya Kejari Meulaboh merespons dengan baik kasus ini dan pengusutan kasus tersebut dinyatakan akan naik ke tahap penyidikan, sebagaimana pernyataan Kajari Meulaboh pada tanggal 27 Januari 2013.
Bahkan pada tanggal 13 Juli 2013, Kajari kembali memberi pernyataan di koran ini bahwa berkas dan pemeriksaan saksi kasus tambang sudah lengkap, meskipun proses penetapan tersangka harus menunggu audit BPKP.
Namun anehnya, kata Neta, ketika SuAK melakukan konfirmasi terkait penanganan kasus ini ke Kejari Meulaboh, H Mara Ongku Nasution pada 10 Januari 2015 lalu, diketahui bahwa kasus tambang akan dihentikan karena tidak ditemukan kerugian negara. Sedangkan uang hasil korupsi akan dikembalikan oleh pelaku, dan audit BPKB tidak jadi dilakukan.
“Meski uang korupsi dikembalikan oleh pelaku, namun tindak pidana tidak bisa dihilangkan. Ini sangat janggal, karena kasus tersebut sudah pernah diusut dan jelas adanya kerugian negara. Sekarang, kasus ini malah akan dihentikan,” ujarnya.
SuAK menduga, kasus ini menyeret banyak pihak yang berpotensi menjadi tersangka. “Karena itu sangat disayangkan jika kasus dugaan korupsi tambang Aceh Barat ini di-SP3 kan,” katanya.
Untuk itu, SuAK meminta Jamwas Kejati Aceh untuk memeriksa dan mengevaluasi Kejari Meulaboh. “Ini supaya citra institusi Kejaksaan Aceh yang sekarang sangat baik, tidak tercoreng oleh oknum di Kejari yang diduga suka mempermainkan kasus dan tidak punya integritas,” katanya.
Neta juga menegaskan, ada beberapa kejanggalan terkait tidak berlanjutkan kasus korupsi tambang ini. Di antaranya, setoran fiktif jaminan kesungguhan yang dilakukan PT AAM dan PT SPR pada tanggal 26 April 2011, dimana kedua perusahaan itu mengaku telah menyetor jaminan kesungguhan sebesar Rp 8.500.000.
Namun bedasarkan pengecekan ke rekening penampung (No.Rekening Pemerintah Kabupaten Aceh Barat: 0058322363 di Bank Negara Indonesia), saldo per 31 Desember 2011 sebesar Rp 1.056.718.104, dan setoran jaminan kesungguhan dari kedua perusahaan tersebut tidak ada. “Akibat dari persoalan ini, kedua perusahaan tersebut harus di-blacklist karena telah melakukan penipuan,” ujarnya.
Kejanggalan lainnya, pemerintah diduga sengaja membiarkan tujuh perusahaan pemegang izin usaha pertambangan ini tidak menyerahkan jaminan reklamasi, rencana pascatambang dan rencana penutupan tambang, serta belum menyerahkan jaminan reklamasi.
“Jika informasi ini benar, Dinas Pertambangan Aceh Barat telah melakukan pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor: 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang. Padahal pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus, wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang” ungkapnya.
Keadaan tersebut, kata dia, juga melanggar Permen-Minerba Nomor 18 Tahun 2008, pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa perusahaan wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan penutupan tambang sesuai dengan perhitungan rencana biaya reklamasi, dan perhitungan rencana biaya penutupan tambang yang telah mendapat persetujuan menteri, Gubernur atau Bupati/walikota sesuai dengan kwenangan masing-masing.
Seharusnya, tegas Neta, perusahaan yang telah melakukan pelanggaran hukum, izinnya langsung dicabut atau dialihkan kepada perusahaan lain. “Karena mereka telah melakukan praktik calo tambang yang merugikan daerah. SuAK juga menduga pemerintah sengaja melakukan pembiaran terhadap perusahaan tambang yang tidak menyetor jaminan kesungguhan pertambangan,” katanya.(edi)

Kamis, 09 Januari 2014

LSM Laporkan 2 Dugaan Korupsi ke Polres

Serambi Indonesia

 Sabtu, 4 Januari 2014 11:25 WIB

BIREUEN - Pengurus Gabungan Solidaritas Anti Korupsi (GaSAK) dan Sekolah Rakyat Anti Korupsi (SeRAK) Bireuen melaporkan dua kasus dugaan korupsi dan dugaan pemalsuan data honorer ke Polres Bireuen.

Laporan itu disampaikan pengurus kedua LSM tersebut saat melakukan audiensi dengan Kapolres Bireuen di Mapolres setempat, Kamis (2/1) sore

Koordinator GaSAK, Mukhlis Munir kepada Serambi, kemarin mengatakan dalam pertemuan itu pihaknya melaporkan dugaan penyelewengan pada proyek pembangunan jalan tembus di satu kecamatan di kabupaten itu dengan dana Rp 3,8 miliar dari APBK 2013. Satu kasus lain, sebut Mukhlis, adalah penyewaan alat berat proyek jalan tembus itu yang  sepengetahuan pihaknya belum disetor ke kas negara.

“Kami juga menyampaikan dugaan pemalsuan data tenaga honorer di salah satu SMPN di Bireuen. Masukan dan informasi awal ini kami sampaikan ke Kapolres untuk ditindaklanjuti. Bila dugaan kami benar, agar dapat diusut tuntas untuk aparat Polres Bireuen,” harap Mukhlis.

Sementara Kapolres Bireuen, AKBP M Ali Khadafi SIK menyampaikan, pihaknya sekarang sedang menangani beberapa kasus dugaan korupsi. Terhadap masukan dari GaSAK, kata Kapolres, pihaknya akan mendalami dan mencari bukti pendukung sehingga tidak salah dalam mengusut. Kapolres berharap masukan dan informasi dari masyarakat menyangkut aksi kriminalitas maupun dugaan korupsi, sehingga memudahkan pihaknya dalam mengusut.(yus)

Mantan Kepala BPBA Dihukum Empat Tahun

Serambi Indonesia

Kamis, 14 November 2013 10:03 WIB

Mantan Kepala BPBA Dihukum Empat Tahun
Asmadi Syam, mantan kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dikawal polisi usai sidang putusan kasus korupsi dana tanggap darurat banjir di Aceh Tenggara senilai Rp 3.4 miliar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Banda Aceh, Rabu (13/11). Asmadi Syam divonis 4 tahun penjara dalam kasus tersebut . SERAMBI/M ANSHAR 
   
* Terbukti Perkaya Orang Lain
 
BANDA ACEH - Mantan kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Drs Asmadi Syam (60) dihukum empat tahun penjara plus denda Rp 100 juta atau bisa diganti dengan kurungan tambahan (subsider) lima bulan. 
 
Asmadi terbukti memperkaya orang lain, yaitu mantan bendahara BPBA, Aplizwardi SH (kini berstatus DPO). Mantan bendahara itu telah membawa lari Rp 3,4 miliar uang yang sedianya merupakan dana tanggap darurat banjir bandang dan tanah longsor di Aceh Tenggara (Agara) pada 2012.
 
Putusan majelis hakim dalam sidang terakhir di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Rabu (13/11) sore, berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Banda Aceh pada sidang sebelumnya, yaitu tiga tahun penjara, denda Rp 50 juta subsider tiga bulan, serta harus membayar uang pengganti Rp 3,4 miliar.
Namun, majelis hakim tak lagi membebankan terdakwa membayar uang pengganti, karena Asmadi tak terbukti menikmati uang itu.
 
 Majelis hakim diketuai Syamsul Qamar MH dibantu hakim anggota Syaiful Has’ari SH dan Zulfan Effendi SH bergantian membacakan amar putusan. Fakta hukum terungkap sesuai keterangan para saksi dan terdakwa pada sidang sebelumnya bahwa terdakwa selaku Pengguna Anggaran (PA) dalam pengelolaan dana tanggap darurat banjir bandang dan tanah longsor Agara 2012 bersumber dari APBA Rp 5.826,500.000.
 
Dalam proses pencairan dana tersebut, Asmadi menandatangani tujuh cek yang sebelumnya sudah diteken Aplizwardi. Namun, hanya satu dari tujuh cek itu yang uangnya dicairkan Aplizwardi untuk kebutuhan korban bencana alam di Agara. Misalnya, untuk pembangunan jalan rusak, hunian sementara, dan perbaikan di daerah aliran sungai (DAS).
Sedangkan enam cek lagi yang juga ditandatangani terdakwa, tidak disertai dengan dokumen pendukung yang sah. Akibatnya, Aplizwardi bisa menarik uang sebesar Rp 3,4 miliar dan akhirnya ia bawa kabur sekitar 31 Oktober 2012 setelah mengetahui bakal datang pihak Inspektorat Aceh melakukan audit reguler.

Sedangkan sikap terdakwa yang melaporkan kejadian itu ke Sekda Aceh dan kemudian ke Polresta Banda Aceh setelah mengetahui dana Rp 3,4 miliar itu hilang, menurut majelis hakim, hal ini tidak bisa menghapus tanggung jawab terdakwa terhadap hilangnya dana tersebut.

“Perbuatan terdakwa menandatangani cek pencairan dana itu bersama-sama Aplizwardi tanpa dokumen pendukung yang sah, bisa dikatakan penyalahgunaan kewenangan. Namun, tidak ditemukan fakta dan bukti bahwa terdakwa telah memperkaya diri sendiri dalam perkara ini, karena itu majelis hakim tak sependapat dengan JPU membebankan terdakwa membayar uang pengganti,” baca hakim anggota, Zulfan Effendi. 

Istri terdakwa yang duduk di bangku pengunjung menangis saat mendengar hakim ketua membacakan vonis bahwa Asmadi dihukum empat tahun penjara plus denda Rp 100 juta subsider lima bulan kurungan.

 Sedangkan Asmadi yang duduk di kursi pesakitan tetap tenang. Kemudian, Asmadi bersama pengacaranya Ramli Husen SH dan Kadri Sufi SH menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari terhadap putusan ini, sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan tersebut dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh. Begitu juga JPU Kejari Banda Aceh, Endy Ronaldy SH dan Mairia Evita Ayu SH.

Seusai sidang, terdakwa yang selama ini ditahan kembali dibawa pulang ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh dengan mobil tahanan Kejari untuk menjalani sisa hukuman. (sal)

Kronologis Perkara

Serambi Indonesia

 Kamis, 9 Januari 2014 14:59 WIB

PERKARA korupsi oleh Hidayat berawal ketika dia dipercayakan sebagai Plt Camat Simpang Jernih, Aceh Timur pada 26 Juni 2007 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Program Penanganan Pascabencana Alam. Kemudian terdakwa ditunjuk fasilitator kecamatan, 30 November-12 Desember 2007. Sedangkan kesalahannya adalah memotong bantuan untuk 514 KK korban banjir Rp 1 juta per KK dari bantuan diterima per KK Rp 70 juta.

“Bantuan ini bersumber dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang totalnya Rp 10 miliar. Dana dipotong Rp 1 juta per KK dipergunakannya untuk kepentingan pribadi. Tetapi terdakwa telah mengembalikan uang pemotongan itu Rp 30 juta, sehingga sisa kerugian negara Rp 476 juta,” sebut Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH.

Atas perbuatannya itu, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Idi menghukumnya empat tahun penjara, denda Rp 200 juta ataubisa diganti kurungan tambahan (subsider) tiga bulan, dan harus membayar uang pengganti Rp 476 juta, apabila tak membayarnya, maka harus diganti kurungan tambahan satu bulan penjara. Terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh, namun putusannya menguatkan putusan PN Idi. Begitu juga kemudian putusan kasasi majelis hakim MA, 4 Mei 2010, juga menguatkan putusan sebelumnya.(sal)

Koruptor Ditangkap Saat Nyambi jadi Tukang Becak

Serambi Indonesia

 Kamis, 9 Januari 2014 15:00 WIB

BANDA ACEH - Tim Kejari Idi, Aceh Timur dan Kejari Langsa menangkap mantan Plt Camat Simpang Jernih, Aceh Timur, Drs Hidayat (47) di Langsa, Rabu (8/1) saat ia nyambi menjadi tukang becak.

Ia sudah tiga tahun lebih diburu jaksa pascakabur lantaran tak mau menjalani vonis Mahkamah Agung (MA) RI empat tahun penjara, karena terbukti korupsi Rp 476 juta dana korban banjir Aceh Timur pada 2007.
Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH mengatakan, sebelumnya tim Kejari Idi telah melayangkan surat pangilan terhadap terpidana secara patut sesuai UU, tetapi ia mengabaikan panggilan ini.

Namun, dalam dua hari terakhir ini, Tim Kejari Idi mengintai keberadaan Hidayat hingga akhirnya kemarin sekitar pukul 10.00 WIB, petugas Kejari Idi menyamar sebagai penumpang becak dan menyetop becak mesin dikemudi Hidayat.

“Pertama petugas dari Kejari Idi ini meminta diantar ke pasar di Langsa, kemudian meminta diantarkan ke Kantor Kejari Langsa. Sesampai di Kejari Langsa, terpidana itu langsung ditangkappetugas yang juga ditunjukkan surat perintah penangkapan kepada bersangkutan. Kemudian ia dibawa Kejari Idi dan dimasukkan ke Rutan Idi guna menjalani hukuman sesuai vonis MA yang telah berkekuatan hukum tetap,” kata Amir Hamzah kepada Serambi kemarin.

Menurut Amir, penangkapan PNS yang kini disebut-sebut bekerja sambilan atau menyambi sebagai tukang becak ini juga bekerja sama tim Kejari Langsa dan berkoordinasi dengan Kejati Aceh.(sal)

Inspektorat Aceh Tolak Beri Dokumen ke YARA

Serambi Indonesia

 Kamis, 9 Januari 2014 15:01 WIB

* Sidang Ajudikasi Dilanjutkan 15 Januari 2015

BANDA ACEH - Komisi Informasi Aceh (KIA) menggelar sidang ajudikasi terkait sengketa informasi antara Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dengan Inspektorat Aceh di Seuramoe Aceh, Banda Aceh, Rabu (8/1). Sidang tersebut digelar karena Inspektorat Aceh menolak memberikan dokumen yang dimohonkan YARA.

Seperti diketahui, YARA meminta dokumen Laporan Hasil Penelitian terhadap Dinas Bina Marga dan Dinas Cipta Karya kepada Inspektorat Aceh (termohon). Karena tidak mendapat tanggapan dari Inspektorat Aceh, maka YARA mempersengkatan hal itu untuk diselesaikan secara hukum melalui KIA.

Ketua KIA, Afrizal Tjoetra kepada Serambi, mengatakan, sebelumnya telah dilakukan dua kali pertemuan antara keduanya. “Sidang pertama yaitu pemeriksaan awal itu sudah dilakukan 11 Desember 2013 lalu. Pada hari yang sama kita mediasi kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengeketainformasi ini tanpa harus melanjutkan ke sidang. Namun, mediasi tersebut tidak mencapai kesepakatan,” urainya.

Selanjutnya, kata dia, KIA memfasilitasi kembali kedua pihak yang bersengketa itu (YARA dan Inspektorat Aceh) melalui mediasi kedua pada tanggal 27 Desember 2013. “Ternyata keduanya tetap tidak mencapai titik temu untuk persoalan ini. Makanya sengketa informasi ini dilanjutkan ke tahap sidang ajudikasi,” ujarnya.

Sementara itu, sidang kemarin yang dipimpin Jehalim Bangun SH didampingi anggotanya Liza Dayani dan H Hamdan Nurdin SSos itu dihadiri perwakilan kedua pihak bersengketa. YARA diwakili ketuanya Safaruddin beserta tim, Inspektorat Aceh diwakili Iskandar AB dan Risma Hamdani, dan hadir Kepala Biro Hukum Edrian dan seorang pengacara.

Dalam sidang itu, Safaruddin mengatakan bahwa inspektorat adalah badan publik yang wajib menyediakan informasi berkala.

“Inspektorat Aceh adalah Badan Publik dan informasi dari badan publik boleh diketahui. Karenanya kami meminta dokumen mengenai Laporan Hasil Penelitian terhadap Dinas Bina Marga dan Dinas Cipta Karya tersebut,” ujarnya.

Sedangkan menurut Risma Hamdani, dokumen yang dimohonkan YARA adalah dokumen rahasia yang tidak boleh dipublikasikan. “Dan itu bukan kewenangan inspektorat, tetapi kewenangan Pemerintah Aceh,” katanya.

Terhadap permintaan YARA itu, Edrian menilai permohonan yang diajukan kabur sehingga dokumen itu tidak bisa diberikan. Sidang tersebut akan dilanjutkan kembali pada 15 Januari 2014 dengan menghadirkan saksi atau ahli.(sr)

Dana untuk BP2A dan KPA Dihapus

Serambi Indonesia

 Kamis, 9 Januari 2014 15:44 WIB

* Kejagung dan KPK Memantau
 
BANDA ACEH - Dana hibah sebesar Rp 80 miliar untuk Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) dan Rp 10 miliar untuk Komisi Peralihan Aceh ( KPA) Pusat yang terdapat dalam dokumen APBA 2014 telah dihapus setelah Mendagri dalam surat klarifikasinya Nomor 903-8023 Tahun 2013 tanggal 27 Desember 2013 terhadap APBA 2014 melarang penyaluran dana itu kepada BP2A dan KPA.

“Alasannya, dana hibah tidak boleh dilakukan berulang kali kepada sebuah badan atau lembaga. Larangan itu ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b dan Pasal 5 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012,” sebut Kepala Dinas Keuangan Aceh, Azhari Hasan kepada Serambi, Rabu (8/1) malam.

Ia dikonfirmasi ulang untuk mempertegas isu yang berembus sejak dua hari terakhir bahwa dana hibah untuk BP2A dan KPA sudah resmi dihapus dalam dokumen APBA 2014.

Menurutnya, dana hibah untuk kedua lembaga itu memang sudah resmi dihapus karena Mendagri Gamawan Fauzi melarang Pemerintah Aceh dan DPRA mengalokasikan dana hibah kepada BP2A dan KPA, mengingat pada tahun anggaran 2013 BP2A sudah pernah mendapat hibah Rp 75,8 miliar dan KPA Pusat dan wilayah sebesar Rp 10 miliar, maupun dana untuk pemberdayaan ekonomi mantan kombatan GAM Rp 7,5 miliar.

Beredar pula isu bahwa meski sudah dihapuskan dari alokasi untuk BP2A dan KPA, tapi kemungkinannya anggaran itu diplot/ditumpangkan ke dinas tertentu. “Namun, ke mana dana itu ditempatkan dan digunakan untuk apa, kami tidak mengetahuinya. Coba tanyakan saja kepada pihak Bappeda Aceh,” ujar Azhari Hasan.

Kepala Dinas Sosial Abubakar yang dikonfirmasi mengenai hal yang sama mengatakan, ia pun belum tahu dengan jelas apakah dana hibah BP2A dan KPA yang dilarang Mendagri itu akan ditambahkan untuk pembangunan bidang sosial. “Saya belum memperoleh daftar pelaksanaan anggaran (DPA)-nya, karena itu kami belum bisa menjelaskan secara rinci program apa saja yang akan dilakukan atas penambahan dana hibah dari BP2A dan KPA tersebut,” ujarnya.

Kepala Bappeda Aceh, Prof Dr Abubakar Karim yang ditanyai Serambi mengatakan, benar bahwa dana hibah untuk BP2A sebesar Rp 80 miliar dan KPA sebesar Rp 10 miliar, sudah dihapus dari pos anggaran kedua lembaga itu dalam dokumen APBA 2014.

Penghapusan dana itu, kata Abubakar Karim, karena dalam aturan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Dana Hibah dan Bantuan Sosial yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 tentang hal yang sama, dilarang memberikan dana hibah berulang kali kepada sebuah badan maupun lembaga dan organisasi.

Selain itu, Mendagri juga menyerukan kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk mengurangi panyaluran dana hibah dan bansos secara signifikan.

Seruan itu disampaikan Mendagri kepada Pemerintah Aceh dan DPRA, karena dari hasil evaluasi yang dilakukan Tim Mendagri dalam dokumen APBA 2014 banyak ditemukan pengalokasian anggaran pembangunan antarbidang yang terdapat dalam APBA 2014, belum berimbang atau proporsional. Contohnya, untuk Bidang Lingkungan Hidup, alokasi anggarannya tak mencapai 1 persen dari pagu total APBA 2014 sebanyak Rp 13,368 triliun. Alokasinya baru 27,043 miliar atau baru 0,20 persen.

Untuk bidang Koperasi dan UKM juga demikian baru sebesar 0,39 persen atau senilai Rp 52,527 miliar, untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak lebih rendah lagi baru 0,22 persen atau senilai Rp 29,328 miliar. Begitu juga untuk anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, masih berkisar 19 persen. Dan masih banyak bidang lainnya yang diuraikan satu persatu oleh Mendagri untuk menjadi perhatian Pemerintah Aceh dan DPRA, dalam menyikapi isi klarifikasi surat Mendagri terhadap APBA 2014.

Sumber Serambi di kejaksaan dan kalangan Pemerintah Aceh mengungkapkan, mulai tahun ini Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memfokuskan pengawasan antikorupsinya terhadap pelaksanaan program dana hibah dan bansos, serta program aspirasi anggota DPRA.

Kedua lembaga pengawas keuangan negara itu memfokuskan pengawasannya untuk pos anggaran dana hibah, bansos, dan usulan aspirasi program anggota dewan dan komisi, karena dari hasil pemeriksaan BPK tahun 2008-2012, banyak ditemukan dugaan penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan dana hibah maupun bansos pada APBA sejak tahun 2008-2012.

Kadis Keuangan Aceh, Azhari Hasan yang dikonfirmasi Serambi mengenai informasi itu mengatakan, BPK memang ada melakukan pemeriksaan khusus terhadap dana hibah dan bansos di Aceh. Namun, apa hasilnya belum diketahui. (her)

Dugaan Penyalahgunaan APBA Dilapor ke Pusat

Serambi Indonesia

 Kamis, 9 Januari 2014 15:46 WIB

* Terkait Pengalokasian Dana Hibah untuk BP2A
BANDA ACEH - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh bersama Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, dan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh mengirim surat protes ke Mendagri terkait pengalokasian dana hibah untuk Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) oleh Pemerintah Aceh.

Surat protes tertanggal 8 Januari 2014 itu dikirim ke Mandagri, Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Ketua BPK, dan Ketua KPK oleh Direktur Eksekutif LBH Banda Aceh Mustiqal Syahputra, Koordinator KontraS Aceh Destika Gilang Lestari, Direktur Eksekutif NGO HAM Aceh Zulfikar Muhammad, dan Koordinator GeRAK Aceh Askhalani. Surat itu juga ditembuskan ke Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR, dan pers.

GeRAK, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, dan KontraS melaporkan, BP2A sebagai badan pemerintah tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola anggaran tersendiri karena dasar pembentukannya hanya Pergub Nomor 2 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penguatan Perdamaian Aceh.

Dalam surat protes bersama itu diuraikan, pengalokasian dana untuk BP2A dalam APBA 2013 sebesar Rp 70 miliar sudah pernah dikoreksi Mendagri berdasarkan Keputusan Mendagri No. 903-194 Tahun 2013 tentang Evaluasi APBA TA 2013 dan Keputusan Mendagri No. 903-6970 Tahun 2013 tentang Evaluasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan APBA Tahun 2013 dan Rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang Penjabaran Perubahan APBA Tahun 2013.

Menurut Mendagri, pengalokasian hibah harus mempedomani Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD. Mendagri merekomendasikan penyediaan anggaran yang dialokasikan untuk BP2A harus dikurangi mengingat masih terdapat alokasi anggaran untuk urusan wajib belum terpenuhi.

“Setelah dilakukan koreksi oleh Mendagri berdasarkan Keputusan Mendagri No. 903-194 Tahun 2013 tentang evaluasi APBA TA 2013 dan Keputusan Mendagri No. 903-6970 Tahun 2013 tentang Evaluasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan ABPA Tahun 2013 dan Rancangan Pergub Aceh tentang Penjabaran Perubahan APBA Tahun 2013, alokasi dana dalam APBA-Perubahan Tahun 2013 (untuk BP2A) malah ditambah menjadi Rp 75.880.000.000. Kemudian, dalam APBA 2014, Pemerintah Aceh masih tetap mengalokasikan dana hibah untuk BP2A sebesar Rp 80 miliar,” tandas Askhalani cs dalam surat protes tersebut.

Tindakan Pemerintah Aceh tersebut, menurut GeRAK, Koalisi NGO HAM, LBH anda Aceh, dan KontraS bertentangan dengan asas penyelenggaran negara yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 2 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penguatan Perdamaian Aceh, menurut keempat lembaga dan LSM antikorupsi yang melayangakn surat protes tersebut, diisi oleh orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan Gubernur Aceh dan disinyalir adalah tim pemenangan pada saat Pemilukada 2012.

Terkait persoalan itu, LBH Banda Aceh, KontraS Aceh, GeRAK Aceh, dan Koalisi NGO HAM mendesak Mendagri membatalkan alokasi anggaran untuk BP2A dan sekaligus mendesak Mendagri memerintahkan Gubernur Aceh membubarkan BP2A karena patut diduga sarat dengan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selain Mendagri, mereka juga mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit atas pelaksanaan pertanggungjawaban keuangan BP2A tahun 2013 yang bersumber dari APBA. Jika menurut hasil audit BPK-RI ditemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera melakukan upaya penindakan hukum yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(rel/nas)

Kepala BP2A: Tak Ada Itu Dana Diat Rp 40 Juta

Serambi Indonesia

 Kamis, 9 Januari 2014 15:48 WIB

BANDA ACEH - Kepala Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A), Mirza Ismail SSos mengatakan tahun ini tidak ada dana diat yang disalurkan oleh lembaganya maupun lembaga lain kepada korban konflik Aceh, apalagi sampai Rp 40 juta per orang.

Hal itu ditegaskan Mirza menjawab Serambi, Rabu (8/1), saat dihubungi melalui telepon selulernya menanggapi pemberitaan tentang heboh dana diat di Nagan Raya dalam tiga hari terakhir. Sebagaimana diberitakan hingga kemarin, sudah 300 orang korban konflik di Nagan yang menjadi korban penipuan pihak tertentu yang mengiming-imingi mereka bakal mendapat dana diat Rp 40 juta asalkan proposal mereka diteken oleh kepala desa dan direkom oleh camat setempat. Syarat lainnya, tiap pemohon harus menyetor Rp 100.000 biaya pengurusan.

Mirza menyatakan tidak tahu sedikit pun dengan apa yang terjadi di Nagan Raya itu, kecuali setelah membaca berita koran. Ia memastikan bahwa bukan orang BP2A yang melakukan aksi seperti itu, apalagi mekanisme penyaluran dana pola diat selama ini di Badan Reintegrasi Aceh (BRA)--lembaga yang mengurus reintegrasi, sebelum BP2A terbentuk--tidak seperti itu modusnya.

“Memang ada kita usulkan dana diat, tapi karena dana terbatas, sehingga dana diat tahun ini tidak ada. Sedang kita upayakan dan tahun 2014 ini kita data dulu supaya lebih menjamin, mana yang perlu dibantu dan mana yang sudah dibantu,” kata mantan bupati Pidie ini.

Mirza menyebutkan, apabila semua data telah diperoleh dari Badan Pusat Statistik, maka korban konflik yang berhak mendapat dana diat tidak hanya diusulkan ke Pemerintah Aceh, tapi juga ke pemerintah pusat karena pembayaran santunan kepada ahli waris korban konflik itu merupakan tanggung jawab bersama (Aceh dan pusat).

Berdasarkan pengalaman terdahulu, dana diat tidak melulu dibayarkan oleh BRA. Adakalanya oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas) Aceh. BP2A coba mengusulkan agar tahun ini pemerintah menyediakan dana diat untuk ahli waris korban konflik. Namun, seperti diakui Mirza Ismail, usulan tersebut belum disetujui pemerintah.

 Antisipasi pemkab

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Nagan Raya, Drs HT Zamzami TS MM, Rabu (8/1) kemarin meminta seluruh keuchik (kepala desa) dan camat di wilayah itu untuk menunda pemberian surat rekomendasi kepada korban konflik yang ingin mendapatkan dana diat yang dijanjikan sebuah organisasi di kabupaten itu.

Soalnya, kata Sekda Naga Raya, sampai kemarin pemkab setempat belum pernah mendapatkan surat resmi dari Pemerintah Aceh ataupun dari pemerintah pusat tentang akan adanya pemberian bantuan dana diat bagi masyarakat korban konflik di Nagan Raya.

“Setahu kami, belum pernah ada surat atau informasi apa pun terkait penyaluran bantuan dana diat atau rumah bagi korban konflik di Nagan Raya. Ini betul-betul aneh dan tak masuk akal mengapa warga bisa terpengaruh,” katanya kepada Serambi kemarin di Suka Makmue.

Pihaknya juga merasa kaget dengan banyaknya warga yang mengurus surat rekomdasi dana diat dari keuchik dan camat di wilayah Nagan Raya. Sampai sekarang hal ini belum ada petunjuk atau keterangan dari Bupati Nagan Raya mengenai persoalan ini. “Biasanya setiap akan ada penyaluran bantuan terhadap korban konflik atau masyarakat di wilayah ini, Pemkab Nagan Raya pasti akan mendapat pemberitahuan dari Pemerintah Aceh ataupun pemerintah pusat untuk mempersiapkan bahan yang diperlukan guna memperlancar bantuan kepada masyarakat,” ujarnya.

Atas dasar itu, Sekda mengingatkan masyarakat Nagan di 222 desa Raya agar tidak tertipu dengan janji manis pihak tertentu, apalagi mereka sudah lebih dulu mengeruk keuntungan Rp 100.000 dari setiap pemohon bantuan dana diat.

“Tidak boleh ada keuchik atau camat yang mengeluarkan surat rekomendasi kepada korban konflik terkait bantuan dan diat dan rumah bantuan ini. Kami menduga ini adalah bentuk penipuan terhadap masyarakat,” tegas Sekda HT Zamzami

Terus melapor

Terpisah, mantan wakil panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Meulaboh Raya, Cut Man SE kepada Serambi kemarin mengakui pihaknya terus didatangi masyarakat korban konflik guna melaporkan kasus dugaan penipuan dan pungutan yang dilakukan oknum tertentu sebesar Rp 100.000/orang, dengan iming-iming untuk mendapatkan dana diat dari sebuah organisasi.

Ia mengakui, masyarakat yang tertipu ini berasal dari kalangan keluarga kurang mampu sehingga mudah terpengaruh oleh iming-iming bantuan.

“Kami sudah turunkan tim ke lapangan untuk mencegah korban di Nagan Raya tak lagi tertipu. Kami tak tega melihat masyarakat terus dibodoh-bodohi seperti ini,” tegas Cut Man. (edi/hs)

Kamis, 02 Januari 2014

Kontraktor Pengadaan Mesin Kapal Wisata Sabang Ditahan

Serambi Indonesia

Kamis, 28 November 2013 11:04 WIB

* Diduga Memanipulasi Spek Mesin
BANDA ACEH - Kejaksaan Negeri (Kejari) Sabang, Selasa (26/11) malam, menahan Oemar Zein selaku rekanan dan Tuwanku Abdul Rahim (sub kontraktor) proyek pengadaan mesin kapal wisata milik Pemko Sabang pada tahun 2010. Mereka diduga memanipulasi spesifikasi (spek) mesin kapal dimaksud. Keduanya ditahan Rutan Kota Sabang.
“Kedua rekanan itu kita tahan untuk 20 hari ke depan, guna penyelidikan kasus dugaan manipulasi spek mesin kapal wisata yang diperkirakan merugikan keuangan negara sekitar Rp 400 juta,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sabang, Teuku Muzafar SH, melalui telepon selularnya, kepada Serambi, Selasa malam.
Muzafar menjelaskan, pada 2010, Pemko Sabang melaksanakan pelelangan pengadaan satu unit mesin kapal, satu unit gerbok kapal dan satu unit mesin genset kapal dengan pagu anggaran Rp 1,9 miliar yang bersumber dari dana otsus. Lelang itu dimenangkan PT Istana Lautza.
PT Istana Lautza, kata Muzafar, menyerahkan pelaksanaan proyek itu kepada Tuwanku Abdul Rahim. Proyek ini sudah dilaksanakan. Namun hasil pemeriksaan tim, mesin yang dibeli tidak sesuai dengan speksifikasi dalam kontrak. Mesin harusnya produksi Amerika, tapi yang dipasang produk Cina yang harganya jauh lebih murah. Karena tidak sesuai spek, tim pemeriksa barang  menolak menerima. Tapi anehnya, ada pembayaran.
Karena itu, pihak Kejari Sabang menduga ada indikasi korupsi pada proyek itu. Untuk melakukan penyidikan, pihaknya harus menahan kedua rekanan dalam proyek tersebut. Jika dalam 20 hari ke depan ditemukan ada pihak lain yang membantu dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek itu, tidak tertutup kemungkinan akan ada tersangka baru.
Selain itu, jika dalam penyidikan nanti dibutuhkan tambahan waktu penahanan, pihaknya bisa menambahnya. “Kasus dugaan korupsi ini, segera akan kita limpahkan ke pengadilan setelah pemeriksaan dan pembuatan BAP-nya selesai,” demikian Kajari Sabang, Teuku Muzafar.(her)

Tersangka Korupsi Kapal Wisata Sabang Bertambah

Serambi Indonesia

Sabtu, 7 Desember 2013 10:37 WIB

BANDA ACEH - Kejaksaan Negeri (Kejari) Sabang, Kamis (5/12), menetapkan dan menahan seorang lagi tersangka dugaan korupsi pada proyek pengadaan mesin, genset dan gearbok kapal wisata milik Pemko Sabang senilai Rp 1,7 miliar. Tersangka tersebut adalah Ir Djoko  S Sumitro.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sabang, Teuku Muzafar SH kepada Serambi, Jumat (6/12) mengatakan, Djoko awalnya dipanggil sebagai saksi atas pemeriksaan dua tersangka sebelumnya, Oemar Zein dan Tuwanku Abdul Rahim, selaku kontraktor dan sub kontraktor dalam proyek itu.

Namun dari hasil pemeriksaan, kata Kajari, Djoko selaku konsultan pengawas, diduga terlibat dalam pencairan dana untuk proyek tersebut, meskipun mesin, genset dan gearbok kapal wisata yang dibeli oleh kontraktor tidak sesuai spek dalam kontrak kerjanya.

“Setelah pemeriksaan, saudara Djoko yang merupakan konsultan dari PT Megan Ocean asal Surabaya, langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan,” kata Muzafar.

Selesai melakukan pemeriksaan terhadap konsultan pengawas, tambah Muzafar, pihaknya akan melanjutkan pemeriksaan pada penyedia jasa dan barang, yaitu Dinas Pariwisata Sabang. Pihaknya juga akan memanggil Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada proyek itu, untuk dimintai keterangannya.

Awalnya, kata Kajari Sabang, dipanggil sebagai saksi. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ada indikasi keterlibatan dalam dugaan korupsi proyek tersebut, maka akan ditetapkan sebagai tersangka.

Menutut perkiraan sementara, akibat pencairan dana pengadaan mesin kapal, genset dan gearbok kapal yang belum memenuhi spek itu, negara atau daerah mengalami kerugian sekitar Rp 400 juta dari Rp 1,7 miliar uang yang dicairkan kepada rekanan.(her)

Polisi Serahkan Kadis PU ke Jaksa

Serambi Indonesia

Kamis, 19 Desember 2013 09:22 WIB


* Bersama 4 Tersangka Lain Kasus Jalan Lingkar
LHOKSEUMAWE - Aparat Polres Lhokseumawe, Selasa (17/12) sore,  melimpahkan (menyerahkan) lima tersangka dan barang bukti kasus dugaan korupsi jalan lingkar di Lhokseumawe ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe. Kelima tersangka itu adalah T Zahedi (Kadis PU Lhokseumawe), Ridwan (PPTK), Huzaiva (Pembantu PPTK), Masna Rima Yanti (Direktris CV Masrifai Tehnik) selaku rekanan dan Ir Efendi (Konsultan pengawas) proyek tersebut.
Pada waktu bersamaan, Kejari Lhokseumawe berkas satu tersangka lain dalam kasus yang sama yaitu Ir Ferizal (konsultan pengawas proyek) sudah lengkap (P21). “Untuk pelimpahan tersangka keenam (Ferizal-red), kita akan berkoordinasi dengan jaksa kapan bisa dilakukan,” ujar Kapolres Lhokseumawe AKBP, Joko Surachmanto, melalui Kasat Reskrim AKP Supriadi MH, Rabu (18/12).
Kajari Lhokseumawe, Royani SH, melalui Kasi Pidsus Yusnar Yusuf, mengakui pihaknya telah menerima kelima tersangka dan barang bukti kasus tersebut. Menurutnya, kelima tersangka itu tidak ditahan, karena saat pelimpahan mereka telah memohon penangguhan penahanan dan dijamin oleh keluarga mereka takkan melarikan diri dan tidak akan berupaya menghilangkan barang bukti.
Ditanya kapan kasus itu dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Yusnar mengatakan, pihaknya masih menunggu pelimpahan satu tersangka lagi yaitu Ir Ferizal yang berkasnya baru dinyatakan lengkap. “Sesuai rencana dan hasil koordinasi dengan kepolisian, paling lambat dalam sepekan ke depan tersangka keenam dalam kasus itu akan dilimpahkan ke kami,” jelasnya.
Setelah satu tersangka lagi dilimphakan ke pihaknya, tambah Yusnar, pihaknya akan langsung mempersiapkan berkas untuk enam tersangka sekaligus agar bisa dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Sehingga sidang dapat dilaksanakan sekaligus. “Bila tersangka satu lagi dilimpahkan pekan depan, target kami Januari 2014 berkasnya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor,” ungkapnya.(bah)

Aceh Barat Diminta Beberkan 13 SKPK Bermasalah

Serambi Indonesia

Sabtu, 21 Desember 2013 14:17 WIB

* Diduga Korupsi Rp 2,9 Miliar
MEULABOH - Solidaritas untuk Antikorupsi (SuAK) Aceh meminta Pemerintah Kabupaten Aceh Barat segera membeberkan ke-13 nama Satuan Kinerja Perangkat Kabupaten (SKPK) di wilayah ini yang diduga kuat terindikasi kasus korupsi senilai Rp 2.922.000.000 yang melibatkan para bendahara pemegang keuangan di wilayah ini, dalam kurun waktu sejak tahun 2005-2008 yang bersumber dari APBK setempat.
“Beberkan saja nama SKPK yang bermasalah ini, sehingga mereka benar-benar mau dan berkomitmen untuk segera mengembalikan uang daerah yang selama ini ditemukan kejanggalan,” kata Koordinator LSM SuAK Aceh Teuku Neta Firdaus kepada Serambi, Jumat (20/12).
Dikatakannya, dengan dibeberkan nama 13 SKPK di Jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Barat tersebut, maka pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini akan semakin berkomitmen untuk mengembalikan keuangan negara yang jumlahnya sangat besar tersebut dan tidak terus-terusan menggerogoti keuangan daerah.
Menurutnya, meski Pemkab setempat belum berniat menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada penegak hukum dan masih ditangani oleh Tim Tindaklanjut Penyelesaian Ganti Rugi (TPTGR) bersama pihak Inspektorat Aceh Barat. Namun, Pemkab diminta tegas dengan persoalan ini sehingga menjadikan lembaga pemerintah di wilayah ini yang bermasalah menjadi malu dan memberikan efek jera serta tidak lagi mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
Teuku Neta Firdaus juga mengapresiasi langkah yang sudah dilakukan Pemkab Aceh Barat dengan menindaklanjuti temuan tersebut untuk memerintahkan supaya uang temuan tersebut ke kas daerah. Langkah seperti ini dinilai tepat untuk menyelamatkan keuangan negara tanpa harus menjerat pelakunya ke ranah hukum. Apalagi, menurut Neta, kasus tersebut merupakan kesalahan pihak bendahara pengelola keuangan yang menyebabkan adanya temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebesar Rp Rp 2.922.000.000.
Seperti diberitakan sebelumnya, sebanyak 13 Satuan Kinerja Perangkat Kabupaten (SKPK) di Jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dilaporkan terindikasi kasus dugaan tindak pidana korupsi sebesar Rp2.922.000.000,- yang melibatkan para bendahara pemegang keuangan di wilayah ini, dalam kurun waktu sejak tahun 2005-2008 yang bersumber dari APBK setempat. (edi)

Mujahiddin Dituntut 78 Bulan

Serambi Indonesia

Sabtu, 21 Desember 2013 14:19 WIB

* Kasus Korupsi Sewa Forklift
MEULABOH - Mantan Kabid Laut Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Aceh Barat, Mujahiddin dituntut selama 6 tahun 6 bulan (78 bulan) penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 3 bulan kurungan dalam kasus sewa alat berat milik Pemkab jenis Forklift. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Meulaboh itu dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh pada Senin lalu. “Untuk sidang lanjutan pembelaan akan dilakukan pada 30 Desember ini,” kata Kajari Meulaboh, Mara Ongku Nasution SH kepada Serambi, Jumat (20/12).
Diakuinya, selalain tuntutan 6 tahun 6 bulan penjara, terdakwa juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 352.596.500 yang dibayar secara bersama-sama dengan seorang terdakwa lainnya yang saat ini sudah vonis mantan Kepala Pelindo Meulaboh, Jono. Namun apabila tidak dibayar maka harus diganti dengan penjara 3 tahun 3 bulan.                                                                                                   
Sudah banding
Kajari Meulaboh menambahkan, terhadap vonis oleh Pengadilan Tipikor Banda Aceh terhadap Jono, mantan Kepala Pelindo Meulaboh pada 6 November 2013 selama 2 tahun 6 bulan penjara (30 bulan) penjara denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan, yakni JPU dari Kejari Meulaboh sudah melayangkan banding ke PT Tipikor di Banda Aceh. Sebab vonis sangat rendah dari tuntutan sebelumnya 6 tahun 6 bulan (78 bulan) denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. “Memori banding sudah kita layangkan,” katanya.
Menurutnya, untuk Jono saat ini ditahan di LP Lambaro Banda Aceh, sedangkan Mujahiddin meski kasusnya dalam proses persidangan di PN Tipikor Banda Aceh, tetapi belum ditahan sebab sedang berobat karena penyakit kanker kepala yang dideritanya. “Dalam kasus itu ada dua yang kita tetapkan sebagai tersangka waktu itu dalam kasus sewa alat berat jenis Forklift yang tidak disetor ke kas daerah,” jelas Mara Ongku. (riz)

Rekanan dan Konsultan Jadi Tersangka

Serambi Indonesia

Senin, 23 Desember 2013 09:17 WIB

* Proyek Saluran Irigasi Tuwi Sayang
MEULABOH - Kejaksaan Negeri Meulaboh telah menetapkan Kuasa Direktur CV Banda Jaya Griatara, Masri dan konsultan pengawas dari CV Get Konsultan, Riski sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek saluran irigasi di Tuwi Sayang, Kecamatan Sungaimas, Aceh Barat.
“Keduanya sudah kita tetapkan tersangka dan tidak tertutup kemungkinan akan bertambah tersangka lain dalam kasus ini,” kata Kajari Meulaboh, H Mara Ongku Nasution SH kepada Serambi, Minggu (22/12).
Menurut Kajari yang didampingi Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Teungku Panca SH, proyek tersebut bersumber dana ABPN-P 2011 dengan kontrak Rp 3.710.764.000 dan ditemukan perbuatan melawan hukum yakni kekurangan volume dan adanya pemalsuan tanda tangan.
Selain telah memeriksa kuasa direktur, guna mengungkap kasus ini pemilik perusahaan CV Banda Jaya Griatara, Siti Sahara juga sudah dimintai keterangan, serta pejabat dari Dinas Cipta Karya dan Pengairan Aceh Barat.
Dikatakannya, dalam kasus ini pihak jaksa juga sedang menunggu audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) guna diketahui kerugian negara, selain itu tim ahli dari Unsyiah juga sudah diturunkan untuk pengukur volume pengerjaan juga sudah dikerjakan. “Kasus ini masih terus kita dalami guna melengkapi berkas perkara, serta memanggil pihak terkait dalam kasus tersebut,” kata Mara Ongku Nasution.(riz)

Polisi belum Temukan Bukti

Serambi Indonesia

Senin, 23 Desember 2013 10:16 WIB

DARI Penyidik Satuan Reskrim Polresta Banda Aceh Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diperoleh informasi terbaru bahwa pengusutan kasus dugaan pemotongan uang saku peserta rakor Dinkes masih terus dilanjutkan meski sejauh ini polisi mengaku tidak menemukan indikasi korupsi dalam kasus tersebut.
Informasi itu disampaikan Kapolresta Banda Aceh didampingi Kasat Reskrim Kompol Erlin Tangjaya SH SIK kepada Serambi setelah mendapatkan keterangan dari Kanit II Tipikor, Ipda Darmawanto, Jumat (20/12) sore.
“Dari semua dokumen yang dipelajari dan diperlihatkan lengkap kepada kami, semuanya kami lihat dapat dipertanggungjawabkan oleh panitia pelaksana ketika dimintai keterangannya oleh penyidik. Itu jelas arahnya,” ujar Kapolresta Banda Aceh mengutip laporan Ipda Darmawanto.
Ipda Darmawanto yang dihubungi Serambi tadi malam, membenarkan sejauh ini kasus tersebut belum ditemukan adanya kerugian negara. Tapi, pihaknya masih melakukan penyelidikan dengan tetap mengumpulkan keterangan saksi dan bukti lainnya. “Kasusnya dihentikan juga tidak bisa saya katakan demikian. Karena pada dasarnya kami masih tetap melakukan penyelidikan, meskipun sampai saat ini belum ada ditemukan kerugian negara,” ujar Darmawanto.
Menanggapi masa pelaksanaan kegiatan--dari yang seharusnya tiga hari menjadi hanya satu hari--dan itu diakui oleh Kasi Promosi Kesehatan Dinkes Aceh, Saifullah Abdulgani, menurut Kanit Tipikor Polresta Banda Aceh, itu pun tidak terbukti karena didasari adanya tiga lembar kwitansi pembayaran sewa tempat yang dikeluarkan oleh pihak Asrama Haji. “Kalau memang bukan tiga hari, mana mungkin ada kuitansi ini dan hal tersebut bisa dibuktikan,” demikian penyidik Polresta Banda Aceh.(mir)

Ini Kesaksian Peserta Rakor

Serambi Indonesia

Senin, 23 Desember 2013 10:17 WIB

PESERTA Rakor Pesantren Mitra dengan Pimpinan Dayah Se-Aceh yang dilaksanakan Dinkes Aceh di Banda Aceh beberapa waktu lalu berkeyakinan adanya pemotongan uang saku peserta dan manipulasi jumlah hari pelaksanaan. Pengakuan itu didasari hasil penelusuran Serambi ke sejumlah pimpinan dayah di Aceh yang menjadi peserta rakor.
Tgk Abu Yazid, pimpinan sebuah pesantren di Blangpidie, Kabupaten Abdya mengatakan, berdasarkan undangan, rakor dilaksanakan tiga hari, tapi kenyataannya hanya satu hari, dibuka Kamis (5/12) malam, dan berakhir Jumat (6/12) sore.
Pada Jumat pagi hingga siang, kata Tgk Abu Yazid, diisi enam pemateri, termasuk Kadis Kesehatan Aceh, dr Taqwallah MKes. Sorenya diisi dengan penjelasan alakadar tentang pesentren mitra dinas kesehatan berlanjut penandatanganan MoU. Mejelang magrib, panitia menyelesaikan masalah administrasi, seperti pembagian uang saku dan meneken daftar hadir sebanyak tiga lembar. Penandatanganan daftar hadir dan tanda terima uang saku, menurut  Abu Yazid sangat tergesa-tergesa sehingga peserta kurang jelas melihat berapa uang saku yang tertera dalam tanda terima. Apa lagi, panitia hanya menyediakan dua meja, padahal jumlah peserta ratusan orang.
“Saya sempat melihat sekilas jumlah uang saku yang tertera dalam tanda terima, kalau tidak salah Rp 1.600.000. Namun ketika amplop berisi uang saku saya buka, jumlahnya Rp 990.000,” kata Abu Yazid.
Menurut Abu Yazid, mereka (pimpinan dayah) sebenarnya tidak mempersoalkan uang saku tersebut. Tidak diberikan juga tidak apa-apa. “Kami sebenarnya tersinggung dengan pernyataan Kadis Kesehatan Aceh ketika berbicara dalam rakor tersebut sangat arogan dan terkesan melecehkan ulama. Sebenarnya kami ingin menanggapi apa yang disampaikan tetapi dalam sesi materi beliau tidak dibuka tanya jawab,” ungkap Abu Yazid.
Selain Abu Yazid, Serambi juga menghubungi Tgk A Munir, pengurus pesantren di Manggeng, Abdya, yang juga peserta rakor. Tgk A Munir mengaku tidak tahu perihal pemotongan uang saku namun mengatakan bahwa ia menerima uang yang sudah dimasukkan dalam amplop sebesar Rp 960.000.
Pengakuan juga diterima Serambi dari tiga peserta rakor dari tiga pesantren di Aceh Timur. Ketiga peserta tersebut mengaku hanya menerima uang saku masing-masing Rp 930.000 per orang, padahal mereka semua mengaku menandatangani tanda terima sebesar Rp 1.430.000.
Tgk Zein dari salah satu pesantren di Aceh Timur, kepada Serambi, Minggu (22/12) mengatakan tidak tahu berapa dan bagaimana proses pemotongan terjadi. “Saya tidak tahu berapa pemotongan, tapi teman-teman mengatakan ada pengumuman pemotongan untuk akomodasi. Saya juga tidak lihat berapa jumlah uang pada kuitansi yang saya teken,” kata Tgk Zein.
Peserta lainnya, Tgk Abdullah Rasyid Kruet Lintang, Pereulak, mengatakan ia mengetahui adanya pemotongan dari peserta lain. “Saya juga tidak tahu berapa semua, saya juga tidak lihat saat saya teken,” katanya. Tgk Abdullah Rasyid mengaku menerima uang Rp 930.000.
Tgk Ibrahim Leugeu juga mengaku menerima uang saku Rp 930.000 tapi jumlah yang ditandatanganinya Rp 1.430.000. “Memang ada disebutkan di situ ada pemotongan untuk administrasi dan biaya tempat,” papar Tgk Ibrahim.
Tgk Ibrahim mengatakan, jumlah yang diterima peserta berbeda sesuai dengan daerah. “Kalau di Banda Aceh mungkin lebih sedikit, tapi kami dari Aceh Timur sama semua,” katanya.
Dari Aceh Utara, Tgk Sirajuddin yang juga peserta rakor mengaku dirinya tidak melihat berapa jumlah uang pada kuitansi yang ditandatanganinya. Tapi setiba di rumah ia membuka amplop dan jumlah uangnya Rp 920.000.
Sebelumnya, kata Tgk Sirajuddin, saat hendak pulang usai kegiatan, ada peserta yang membuka amplop dan menyebutkan jumlahnya tidak sesuai dengan yang diteken.
“Ada peserta lain yang menyebutkan kepada saya, pemotongan dana itu telah disampaikan panitia sebelumnya pada saat rakor. Tapi selama saya dalam kegiatan itu, tidak ada panitia yang menyampaikan atau mungkin hal itu disampaikan saat saya sedang di luar ruangan,” kata Tgk Sirajuddin.(nun/yuh/jf)

LSM Desak Jaksa Usut Kasus Dinkes

Serambi Indonesia

Senin, 23 Desember 2013 10:19 WIB

* “Ini Kejahatan, Ulama Harus Melawan”
BANDA ACEH - Dua LSM antikorupsi, yaitu MaTA dan GeRAK Aceh mendesak kejaksaan mengambi alih pengusutan dugaan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan rapat koordinasi (rakor) Pesantren Mitra dengan Pimpinan Dayah Se-Aceh yang dilaksanakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, beberapa waktu lalu. Desakan itu disuarakan MaTA dan GeRAK menanggapi informasi bahwa polisi tak menemukan bukti terjadinya tindak pidana korupsi pada kegiatan yang melibatkan kalangan ulama tersebut.
Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani menyerukan jaksa mengambil alih pengusutan kasus tersebut jika polisi memang menghentikan penyelidikan karena tidak atau belum menemukan indikasi korupsi. Menurut Askhalani, sebenarnya kasus ini tidak bisa dihentikan dengan begitu cepat oleh polisi, karena ada fakta bahwa kasus ini terjadi dengan skenario terstruktur.
Askhalani menambahkan, ada upaya dan niat dari pihak Dinkes Aceh untuk melakukan praktik korupsi. Faktanya, sebut Askhalani, ada usulan pemotongan hari kegiatan yang tidak sesuai rencana. “Bisa jadi polisi tidak menemukan adanya kerugian karena kasus ini sudah cepat mencuat ke publik. Tapi, jika kasus tidak mencuat dengan cepat, dapat dipastikan bahwa pihak Dinkes akan melakukan praktik korupsi,” kata Ashkhalani.
Sementara Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menyebutkan, dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001, selain mengatur tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara secara langsung, juga diatur kategori korupsi yang tidak merugikan negara secara langsung. Contohnya antara lain, suap, gratifikasi, penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasan.
Nah, untuk kasus pemotongan uang saku peserta rakor pimpinan dayah yang dilaksanakan oleh Dinkes Aceh ini, menurut Alfian, masuk dalam kategori tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara secara langsung. Tetapi, tetap merupakan tindak pidana korupsi.
Alfian memaparkan, kasus pemotongan uang saku ini modus operandinya mirip dengan kasus korupsi yang terjadi di Kantor Satpol PP dan WH Aceh. Di mana, unsur pimpinan kantor itu melakukan pemotongan honor 1.000 orang petugas sebesar Rp 600.000/orang dengan alasan untuk pengadaan seragam petugas.
Dalam kasus korupsi di Satpol PP itu, tidak ada kerugian negara secara langsung. Tapi, apa yang dilakukan Kasatpol PP itu tetap korupsi. “Jadi, kalau penyidik Polresta Banda Aceh bisa mengungkap indikasi korupsi yang terjadi di Kantor Satpol PP dan WH Aceh, sepertinya tidak ada alasan mereka tidak menemukan indikasi korupsi pada kasus pemotongan uang saku peserta rakor Dinkes,” ujarnya.
Alfian menambahkan, selain pada pemotongan uang saku, indikasi korupsi dalam kegiatan rakor Dinkes itu juga terlihat pada jumlah hari pelaksanaan kegiatan yang dipersingkat, dari tiga hari menjadi satu hari. Ini juga bagian dari korupsi, sebab dalam perencanaan, dana yang dianggarkan untuk tiga hari, tapi pelaksanaannya hanya satu hari.
“Kami menilai tindak pidana korupsi pada Rakor Pimpinan Pesantren yang dilaksanakan oleh Dinkes Aceh ini adalah kejahatan terstruktur, bukan kebijakan oknum di dinas tersebut. Karena itu, jika polisi menghentikan penyelidikan, kami minta kejaksaan mengambil alih pengusutannya,” pinta Alfian.
Terhadap tanggapan panitia yang menyebutkan bahwa uang yang diambil dari peserta Rp 500.000 per orang itu adalah partisipasi peserta (dana sharing), Alfian berpendapat, bahwa itu hanya alasan untuk menutupi modus pemotongan yang sudah dilakukan. Menurut Alfian, dalam konteks ini, yang berlaku adalah logika hukum bukan logika pihak penyelenggara.
Alasan penyelenggara bahwa dalam mekanisme acara seperti itu tidak dialokasikan secara terpisah untuk biaya konsumsi, penyelenggaraan dan penginapan peserta, maka panitia seharusnya tidak meminta peserta menandantangani berita acara yang nilainya tidak sama dengan jumlah uang yang diterima.
“Misalnya begini, uang yang ingin diberikan kepada peserta Rp 900.000, maka pada berita acara yang diteken oleh peserta juga harus tertulis Rp 900.000. Bukan diteken Rp 1.500.000 tapi yang diterima hanya Rp 900.000. Jadi, pemotongan itu adalah tindak pidana korupsi,” tegas Alfian.
Dalam keterangan tambahannya kepada Serambi, baik Alfian maupun Askhalani menandaskan, kasus pemotongan uang saku peserta rakor Dinkes Aceh tersebut adalah kejahatan tindak pidana korupsi. Karenanya, Alfian dan Askhalani berpendapat, para peserta rakor yang berasal dari kalangan dayah harus melawan segala bentuk kejahatan, termasuk korupsi. “Jika ulama saja yang sudah mengetahui adanya praktik kejahatan tapi tak melapor, apalagi kalau kondisi itu dialami kelompok masyarakat yang lain,” kata Alfian dibenarkan Askhalani.
Alfian menambahkan, pihaknya bersedia mendampingi para ulama dayah yang ingin melaporkan kasus tersebut kepada aparat hukum. MaTA juga siap menerima pengaduan dari peserta rakor lainnya yang dilaksanakan oleh pihak yang berbeda.
Kedua aktivis dari LSM antikorupsi itu membandingkan kasus Dinkes dengan yang terjadi di Kantor Satpol PP dan WH Aceh. Kasus di Satpol PP dan WH Aceh bisa diungkap aparat hukum berkat adanya petugas Satpol PP yang melapor. Laporan pengaduan dinilai penting, karena jika kasus itu nantinya sampai ke meja hijau, harus ada saksi-saksi yang dihadirkan.
“Kami berharap teman-teman ulama dayah melapor. Ini penting agar kejadian ini tidak terulang dan menimpa yang lainnya. Silakan lapor kepada orang dianggap bisa dipercaya. Teman-teman di MaTA dan GeRAK juga siap menerima laporan,” pungkas Askhalani.
Seperti diberitakan, sejumlah peserta Rakor Pesantren Mitra dengan Pimpinan Dayah Se-Aceh yang dilaksanakan Dinkes Aceh, mempersoalkan pemotongan uang saku. Sejumlah ulama dayah yang merupakan peserta kegiatan mengaku menerima uang yang jumlahnya tidak sama dengan yang tertera dalam berita acara yang mereka tandatangani.
Uang saku dipotong sekitar Rp 500.000 per orang. Sedangkan jumlah uang saku peserta disesuaikan dengan jauh dekatnya asal peserta. Angkanya berkisar antara Rp 1.200.000 sampai Rp 1.500.000.
Menurut peserta, rakor itu dijadwalkan tiga hari, 5-7 Desember 2013. Ada juga peserta yang menyebutkan mereka diberitahu bahwa acara itu berlangsung 5-8 Desember 2013. Tapi kenyataannya, rakor itu dibuka Kamis malam 5 Desember 2013 dan ditutup Jumat sore 6 Desember 2013. Atas dasar itu, sejumlah peserta meminta pihak terkait mengusut kasus tersebut.(saf)