Kamis, 23 Januari 2014 09:34 WIB
* Pengusutan di Daerah tak Jelas
MEULABOH - Badan Pekerja Solidaritas untuk Antikorupsi (SuAK) Aceh meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mengusut dugaan korupsi pertambangan yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat. Masalahnya, pengusutan kasus yang sebelumnya ditangani oleh Kejari Meulaboh dinilai tak jelas arahnya.
“Sudah lebih setahun kami melaporkan kasus korupsi tambang ke Kejari Meulaboh, akan tetapi hingga kini masih saja mengambang,” kata T Neta Firdaus kepada Serambi, Rabu (22/1).
Dia mengatakan, awalnya Kejari Meulaboh merespons dengan baik kasus ini dan pengusutan kasus tersebut dinyatakan akan naik ke tahap penyidikan, sebagaimana pernyataan Kajari Meulaboh pada tanggal 27 Januari 2013.
Bahkan pada tanggal 13 Juli 2013, Kajari kembali memberi pernyataan di koran ini bahwa berkas dan pemeriksaan saksi kasus tambang sudah lengkap, meskipun proses penetapan tersangka harus menunggu audit BPKP.
Namun anehnya, kata Neta, ketika SuAK melakukan konfirmasi terkait penanganan kasus ini ke Kejari Meulaboh, H Mara Ongku Nasution pada 10 Januari 2015 lalu, diketahui bahwa kasus tambang akan dihentikan karena tidak ditemukan kerugian negara. Sedangkan uang hasil korupsi akan dikembalikan oleh pelaku, dan audit BPKB tidak jadi dilakukan.
“Meski uang korupsi dikembalikan oleh pelaku, namun tindak pidana tidak bisa dihilangkan. Ini sangat janggal, karena kasus tersebut sudah pernah diusut dan jelas adanya kerugian negara. Sekarang, kasus ini malah akan dihentikan,” ujarnya.
SuAK menduga, kasus ini menyeret banyak pihak yang berpotensi menjadi tersangka. “Karena itu sangat disayangkan jika kasus dugaan korupsi tambang Aceh Barat ini di-SP3 kan,” katanya.
Untuk itu, SuAK meminta Jamwas Kejati Aceh untuk memeriksa dan mengevaluasi Kejari Meulaboh. “Ini supaya citra institusi Kejaksaan Aceh yang sekarang sangat baik, tidak tercoreng oleh oknum di Kejari yang diduga suka mempermainkan kasus dan tidak punya integritas,” katanya.
Neta juga menegaskan, ada beberapa kejanggalan terkait tidak berlanjutkan kasus korupsi tambang ini. Di antaranya, setoran fiktif jaminan kesungguhan yang dilakukan PT AAM dan PT SPR pada tanggal 26 April 2011, dimana kedua perusahaan itu mengaku telah menyetor jaminan kesungguhan sebesar Rp 8.500.000.
Namun bedasarkan pengecekan ke rekening penampung (No.Rekening Pemerintah Kabupaten Aceh Barat: 0058322363 di Bank Negara Indonesia), saldo per 31 Desember 2011 sebesar Rp 1.056.718.104, dan setoran jaminan kesungguhan dari kedua perusahaan tersebut tidak ada. “Akibat dari persoalan ini, kedua perusahaan tersebut harus di-blacklist karena telah melakukan penipuan,” ujarnya.
Kejanggalan lainnya, pemerintah diduga sengaja membiarkan tujuh perusahaan pemegang izin usaha pertambangan ini tidak menyerahkan jaminan reklamasi, rencana pascatambang dan rencana penutupan tambang, serta belum menyerahkan jaminan reklamasi.
“Jika informasi ini benar, Dinas Pertambangan Aceh Barat telah melakukan pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor: 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang. Padahal pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus, wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang” ungkapnya.
Keadaan tersebut, kata dia, juga melanggar Permen-Minerba Nomor 18 Tahun 2008, pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa perusahaan wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan penutupan tambang sesuai dengan perhitungan rencana biaya reklamasi, dan perhitungan rencana biaya penutupan tambang yang telah mendapat persetujuan menteri, Gubernur atau Bupati/walikota sesuai dengan kwenangan masing-masing.
Seharusnya, tegas Neta, perusahaan yang telah melakukan pelanggaran hukum, izinnya langsung dicabut atau dialihkan kepada perusahaan lain. “Karena mereka telah melakukan praktik calo tambang yang merugikan daerah. SuAK juga menduga pemerintah sengaja melakukan pembiaran terhadap perusahaan tambang yang tidak menyetor jaminan kesungguhan pertambangan,” katanya.(edi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar