Kamis, 02 Januari 2014

LSM Desak Jaksa Usut Kasus Dinkes

Serambi Indonesia

Senin, 23 Desember 2013 10:19 WIB

* “Ini Kejahatan, Ulama Harus Melawan”
BANDA ACEH - Dua LSM antikorupsi, yaitu MaTA dan GeRAK Aceh mendesak kejaksaan mengambi alih pengusutan dugaan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan rapat koordinasi (rakor) Pesantren Mitra dengan Pimpinan Dayah Se-Aceh yang dilaksanakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, beberapa waktu lalu. Desakan itu disuarakan MaTA dan GeRAK menanggapi informasi bahwa polisi tak menemukan bukti terjadinya tindak pidana korupsi pada kegiatan yang melibatkan kalangan ulama tersebut.
Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani menyerukan jaksa mengambil alih pengusutan kasus tersebut jika polisi memang menghentikan penyelidikan karena tidak atau belum menemukan indikasi korupsi. Menurut Askhalani, sebenarnya kasus ini tidak bisa dihentikan dengan begitu cepat oleh polisi, karena ada fakta bahwa kasus ini terjadi dengan skenario terstruktur.
Askhalani menambahkan, ada upaya dan niat dari pihak Dinkes Aceh untuk melakukan praktik korupsi. Faktanya, sebut Askhalani, ada usulan pemotongan hari kegiatan yang tidak sesuai rencana. “Bisa jadi polisi tidak menemukan adanya kerugian karena kasus ini sudah cepat mencuat ke publik. Tapi, jika kasus tidak mencuat dengan cepat, dapat dipastikan bahwa pihak Dinkes akan melakukan praktik korupsi,” kata Ashkhalani.
Sementara Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menyebutkan, dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001, selain mengatur tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara secara langsung, juga diatur kategori korupsi yang tidak merugikan negara secara langsung. Contohnya antara lain, suap, gratifikasi, penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasan.
Nah, untuk kasus pemotongan uang saku peserta rakor pimpinan dayah yang dilaksanakan oleh Dinkes Aceh ini, menurut Alfian, masuk dalam kategori tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara secara langsung. Tetapi, tetap merupakan tindak pidana korupsi.
Alfian memaparkan, kasus pemotongan uang saku ini modus operandinya mirip dengan kasus korupsi yang terjadi di Kantor Satpol PP dan WH Aceh. Di mana, unsur pimpinan kantor itu melakukan pemotongan honor 1.000 orang petugas sebesar Rp 600.000/orang dengan alasan untuk pengadaan seragam petugas.
Dalam kasus korupsi di Satpol PP itu, tidak ada kerugian negara secara langsung. Tapi, apa yang dilakukan Kasatpol PP itu tetap korupsi. “Jadi, kalau penyidik Polresta Banda Aceh bisa mengungkap indikasi korupsi yang terjadi di Kantor Satpol PP dan WH Aceh, sepertinya tidak ada alasan mereka tidak menemukan indikasi korupsi pada kasus pemotongan uang saku peserta rakor Dinkes,” ujarnya.
Alfian menambahkan, selain pada pemotongan uang saku, indikasi korupsi dalam kegiatan rakor Dinkes itu juga terlihat pada jumlah hari pelaksanaan kegiatan yang dipersingkat, dari tiga hari menjadi satu hari. Ini juga bagian dari korupsi, sebab dalam perencanaan, dana yang dianggarkan untuk tiga hari, tapi pelaksanaannya hanya satu hari.
“Kami menilai tindak pidana korupsi pada Rakor Pimpinan Pesantren yang dilaksanakan oleh Dinkes Aceh ini adalah kejahatan terstruktur, bukan kebijakan oknum di dinas tersebut. Karena itu, jika polisi menghentikan penyelidikan, kami minta kejaksaan mengambil alih pengusutannya,” pinta Alfian.
Terhadap tanggapan panitia yang menyebutkan bahwa uang yang diambil dari peserta Rp 500.000 per orang itu adalah partisipasi peserta (dana sharing), Alfian berpendapat, bahwa itu hanya alasan untuk menutupi modus pemotongan yang sudah dilakukan. Menurut Alfian, dalam konteks ini, yang berlaku adalah logika hukum bukan logika pihak penyelenggara.
Alasan penyelenggara bahwa dalam mekanisme acara seperti itu tidak dialokasikan secara terpisah untuk biaya konsumsi, penyelenggaraan dan penginapan peserta, maka panitia seharusnya tidak meminta peserta menandantangani berita acara yang nilainya tidak sama dengan jumlah uang yang diterima.
“Misalnya begini, uang yang ingin diberikan kepada peserta Rp 900.000, maka pada berita acara yang diteken oleh peserta juga harus tertulis Rp 900.000. Bukan diteken Rp 1.500.000 tapi yang diterima hanya Rp 900.000. Jadi, pemotongan itu adalah tindak pidana korupsi,” tegas Alfian.
Dalam keterangan tambahannya kepada Serambi, baik Alfian maupun Askhalani menandaskan, kasus pemotongan uang saku peserta rakor Dinkes Aceh tersebut adalah kejahatan tindak pidana korupsi. Karenanya, Alfian dan Askhalani berpendapat, para peserta rakor yang berasal dari kalangan dayah harus melawan segala bentuk kejahatan, termasuk korupsi. “Jika ulama saja yang sudah mengetahui adanya praktik kejahatan tapi tak melapor, apalagi kalau kondisi itu dialami kelompok masyarakat yang lain,” kata Alfian dibenarkan Askhalani.
Alfian menambahkan, pihaknya bersedia mendampingi para ulama dayah yang ingin melaporkan kasus tersebut kepada aparat hukum. MaTA juga siap menerima pengaduan dari peserta rakor lainnya yang dilaksanakan oleh pihak yang berbeda.
Kedua aktivis dari LSM antikorupsi itu membandingkan kasus Dinkes dengan yang terjadi di Kantor Satpol PP dan WH Aceh. Kasus di Satpol PP dan WH Aceh bisa diungkap aparat hukum berkat adanya petugas Satpol PP yang melapor. Laporan pengaduan dinilai penting, karena jika kasus itu nantinya sampai ke meja hijau, harus ada saksi-saksi yang dihadirkan.
“Kami berharap teman-teman ulama dayah melapor. Ini penting agar kejadian ini tidak terulang dan menimpa yang lainnya. Silakan lapor kepada orang dianggap bisa dipercaya. Teman-teman di MaTA dan GeRAK juga siap menerima laporan,” pungkas Askhalani.
Seperti diberitakan, sejumlah peserta Rakor Pesantren Mitra dengan Pimpinan Dayah Se-Aceh yang dilaksanakan Dinkes Aceh, mempersoalkan pemotongan uang saku. Sejumlah ulama dayah yang merupakan peserta kegiatan mengaku menerima uang yang jumlahnya tidak sama dengan yang tertera dalam berita acara yang mereka tandatangani.
Uang saku dipotong sekitar Rp 500.000 per orang. Sedangkan jumlah uang saku peserta disesuaikan dengan jauh dekatnya asal peserta. Angkanya berkisar antara Rp 1.200.000 sampai Rp 1.500.000.
Menurut peserta, rakor itu dijadwalkan tiga hari, 5-7 Desember 2013. Ada juga peserta yang menyebutkan mereka diberitahu bahwa acara itu berlangsung 5-8 Desember 2013. Tapi kenyataannya, rakor itu dibuka Kamis malam 5 Desember 2013 dan ditutup Jumat sore 6 Desember 2013. Atas dasar itu, sejumlah peserta meminta pihak terkait mengusut kasus tersebut.(saf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar