Rabu, 22 Januari 2014

Opini : Dilema Dana Hibah


Serambi Indonesia

Rabu, 22 Januari 2014 08:43 WIB

Oleh Aulia Sofyan
MASYARAKAT luas mungkin masih ada yang bertanya, bagaimana sebenarnya keberadaan Dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) yang dianggarkan dalam anggaran pembangunan dan belanja daerah, termasuk Aceh (APBA). Berdasarkan PP No.2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, adalah pemberian dengan pengalihan hak atas suatu dari pemerintah atau pihak lain kepada pemda atau sebaliknya, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. 
Sedangkan Bansos adalah transfer uang atau barang yang diberikan pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial (Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Pedoman Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD).
Selain itu, soal hibah juga diatur dalam Permendagri No.39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD. 
Saat ini regulasi pemberian hibah dan bansos yang bersumber dari APBD sebenarnya sudah komplit. Jadi untuk pedoman pelaksaan hibah daerah kita harus merujuk pada tiga landasan peraturan yaitu PP No.2 Tahun 2012, Permendagri No.32 Tahun 2011, dan Permendagri No.39 Tahun 2012.
Sejalan dengan pengesahan APBA 2013 dan Mendagri mengevaluasi serta menerbitkan surat yang berisi ketidaksetujuan pemerintah pusat untuk sejumlah program dan kegiatan hibah dan bansos yang jumlahnya di atas Rp 1 triliun dalam APBA 2013. Akibatnya dana hibah dan bansos dalam APBA 2013 belum bisa digunakan dan dicairkan, sehingga progress anggaran juga tidak seperti target yang ditetapkan. 
Mengapa ada koreksi Mendagri terhadap alokasi dana hibah dan bansos dalam APBA 2013? Hal ini terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan prosedur penganggaran, tidak transparan dalam proses perencanaan dan pembahasan antara eksekutif dan legislatif, sampai dana hibah dan bansos muncul tiba-tiba saat anggaran hendak disahkan.
Seharusnya dalam KUA dan PPAS RAPBA 2013 sudah dimasukkan sehingga sesuai dengan mekanisme penganggaran dan tidak melanggar prosedur penganggaran. Akibatnya plot dana hibah dan bansos di beberapa SKPA ini menganggur dan diharuskan mengikuti koreksi Mendagri dan Pergub Aceh yang mengharuskan diverifikasi setiap proposal sebelum dananya diproses untuk dicairkan. 
Akibatnya Mendagri minta agar soal dana hibah dan bansos diproses kembali di APBA perubahan dan baru bisa dicairkan anggarannya setelah pengesahan APBA Perubahan.
 Mudah diselewengkan
Ditengarai dana bansos dan hibah merupakan pos anggaran yang paling mudah diselewengkan dan menjadi temuan atas dugaan pelaksanaan fiktif dan indikasi penyelewengan korupsi. Struktur anggaran dalam APBD 2013 di berbagai daerah memang terdapat begitu besar anggaran untuk dana hibah dan bansos. 
Hal ini diprediksi oleh berbagai pengamat akan terjadi rawan penyimpangan dan masalah hukum mengincar para eksekutif dan dewan di kemudian hari. Terlebih pada tahun ini yang merupakan tahun politik, tentu membutuhkan banyak cost politik bagi para politikus baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Politisasi anggaran sebenarnya bukanlah hal yang tabu dalam pembahasan anggaran, karena memang di lembaga legislatiflah anggaran dibahas dan disahkan. Bambang PS Brodjonegoro (2007), berpendapat bahwa keterlambatan pengesahan APBD yang terjadi di berbagai daerah selama ini disebabkan oleh pengawasan DPRD yang amat longgar, serta kelemahan dalam perencanaan pembangunan daerah. 
Satu penyebab rendahnya serapan anggaran di berbagai pemda adalah adanya kelemahan perencanaan yang mengakibatkan diperlukannya revisi rencana kerja dan anggaran. Penyebab lainnya adalah terkait dokumen anggaran seperti prosedur revisi RKA yang memerlukan waktu lama, dan adanya keterlambatan dalam siklus proyek seperti tender dan pelaksanaan di lapangan.
Bahwa perlu dilakukan perbaikan dalam langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan program, mekanisme penganggaran, serta pemantauan dan evaluasi penanganan masalah yang sistematis sehingga terjadi integrasi dan sinkronisasi program sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. 
Pemerintah daerah perlu secara tegas menguatkan kembali tujuan, strategi dan skala prioritas yang dilakukan dengan penajaman kembali rencana pembangunan dan anggaran dengan refocusing program sehingga mampu merangkum rencana menjadi dokumen yang sistematis dan praktis sehingga mampu menghindari multitafsir dan menata pentahapan program penganggaran sebagai petunjuk penyusunan kegiatan dengan memperhatikan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat dan disandingkan dengan RPJM daerah.
Secara umum modus pemborosan anggaran juga kerap ditemukan pemerintah daerah, seperti pembelian mobil baru dan biaya perjalanan dinas yang terlalu banyak bagi suatu instansi. Ada juga belanja penyelenggaraan kepemimpinan yang bentuknya hanya sosialisasi satu undang-undang namun dilakukan oleh beberapa departemen/SKPD/SKPA. 
Kalau ditinjau dari aspek penggunaan anggaran akan berakibat pada pemborosan. Mengapa hal tidak difokuskan pada satu instansi saja sehingga biaya bisa dipangkas. Apabila gaya ini masih dipertahankan, maka harapan dan target MDG (Millenium Development Goals) untuk pengentasan kemiskinan, pemenuhan pendidikan gratis hingga komunikasi global di tahun 2015 akan sulit tercapai. 
Struktur anggaran dan pemborosan yang ada sekarang diperparah oleh ketidaktransparannya pemerintah daerah dalam mem-break down APBD. Secara formalitas kelihatan trasparan namun pada kenyataannya tidak.
DPR sebenarnya perlu mengusahakan agar dokumen-dokuman rencana yang memuat anggaran program, kegiatan dan sub-kegiatan dapat dipublikasikan. Karena dalam dokumen ini berisi daftar-daftar rincian setiap kegiatan yang akan dilakukan.
 Dengan hal itu berarti masyarakat dapat melakukan pemantauan secara detail terhadap setiap program kegiatan yang akan dilakukan. Pemerintah DKI mulai tahun ini sudah mempublikasi APBD dan breakdown program/kegiatan yang ditempelkan di masing-masing kelurahan sehingga masyarakat tahu dan dapat turut serta mengawasi program/kegiatan yang dilaksanakan di wilayahnya.
 Beberapa alternatif
Ada beberapa alternatif yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menindaklanjuti koreksi Mendagri terhadap APBA 2013. Pertama, dana hibah dan bansos yang lebih Rp 1 triliun itu dapat dialihkan untuk menambah alokasi dana BKPG (Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong). 
Kalau sekarang baru dianggarkan sebesar Rp 50 juta per gampong, maka dalam APBA Perubahan bisa ditambah menjadi Rp 300 juta per gampong. Dana BKPG dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur gampong, pengentasan kemiskinan, pembinaan pendidikan, pengembangan kapasitas mantan GAM, pengembangan ekonomi seperti simpan pinjam, penguatan BUMDES dan kegiatan lain yang dibutuhkan masyarakat gampong.
Kedua, dana itu dialihkan kepada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Gayo pascagempa beberapa waktu yang lalu. Setelah disurvei ada sekitar 12.000 rumah yang harus diperbaiki dengan kategori rusak parah, sedang dan ringan.
 Hal ini membutuhkan dana besar yang bersumber dari APBN, APBA, serta APBK Aceh Tengah dan APBK Bener Meriah sendiri. Namun yang dominan dalam rehab rekon Gayo nantinya adalah berasal dari kantong APBA karena status bencana ditetapkan masuk dalam level penanganan provinsi. Artinya provinsilah yang paling dominan dalam rehab rekon Gayo.
Ketiga, dana yang sudah diplotkan untuk hibah dan bansos yang sedang diverifikasi oleh dinas-dinas tetap dimasukkan ke dalam KUA dan PPAS APBA Perubahan 2013, dengan catatan proposal yang sudah masuk dan tidak lolos verifikasi diperbaiki kembali. Tidak lolos verifikasi disebabkan berbagai alasan, seperti lokasi pelaksanan yang tidak valid, kegiatan tidak jelas, tujuan kabur dan rencana kegiatan yang diperkirakan akan bermasalah dan kemungkinan fiktif. 
Oleh sebab itu, Tim Verifikator SKPA tidak berani menerima proposal-proposal seperti itu karena akan menjadi masalah di kemudian hari. Masalah bukan ditanggung oleh penerima hibah atau bansos namun yang para pihak pengelola anggaran di SKPA lah yang akan menjadi pesakitan nantinya bila masalah muncul.
Keempat sebagai alternatif terakhir, dana hibah dan bansos yang ada dialihkan kepada kegiatan dan program padat karya yang dapat mengurangi angka pengangguran. Bencana Gempa Gayo beberapa waktu lalu telah dengan signifikan menaikkan kembali jumlah penduduk miskin di Aceh, walaupun angka yang pasti belum dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Yang pasti, masyarakat sangat berharap agar dana besar yang dianggarkan dalam APBA ini dapat dimanfaatkan segera dan memicu pengembangan perekonomian masyarakat di Aceh. Semoga!
* Dr. Aulia Sofyan, Pemerhati Masalah Perencanaan Pembangunan dan Anggaran. Email: s4071825@yahoo.com.au

Tidak ada komentar:

Posting Komentar