Rabu, 03 Juni 2015

Korupsi; Antara Mindanao dan Aceh





19 May 2015 06:00 - portalsatu.com

PEKAN lalu mantan Bupati Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim ditahan Polda Aceh karena tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Sebelumnya Kejaksaan Tinggi menangkap dan menjebloskan mantan Bupati Aceh Utara Ilyas A. Hamid ke penjara.

Di balik itu ada cerita menarik terselip di belakangnya. Baik Akmal maupun Ilyas, merupakan bupati pertama yang naik lewat pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) di daerah masing-masing. Pilkadasung pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang pertama kali dihajat pada 2006 silam. Aceh ketika itu menjadi daerah pertama pula yang melaksanakan pemilihan kepala daerah model ini. Percaya atau tidak pilkada model ini melahirkan sejumlah ‘rising star’ di tiap-tiap daerah.

Misalnya tak sedikit di antara mereka yang bukan politisi maupun birokrat memenangkan pemilihan. Khususnya di Aceh, banyak mantan kombatan GAM yang berhasil mengambil peluang ini. Mereka berhasil merebut hati rakyat. Buah dari perdamaian antara RI dengan GAM.

Perdamaian di Aceh melahirkan sejumlah konsesi. Salah satunya adalah partisipasi politik aktif bagi mantan kombatan GAM. Ini menjadikan pertarungan politik lokal terbuka lebar. Sejatinya melahirkan pemimpin yang benar-benar demokratis. Dan dengan itu akan semakin memperkuat perdamaian dan pembangunan.

Tapi realitanya bisa dibilang jauh panggang dari api. Di sejumlah daerah malah sangat carut marut sistem birokrasinya. Bahkan cenderung partisan. Pengelolaan keuangan daerah juga kacau dan berekor pada permasalahan yang tak kunjung selesai. Pembangunan amburadul. Kalau dijabarkan tentu sangat panjang dan banyak.

Sistem pilkada langsung ini ternyata tidak mampu diterjemahkan rakyat untuk memilih pemimpin yang melayani. Hasilnya rakyat menjadi pihak yang sangat dirugikan.

Kondisi ini juga terjadi di negara lain. Katakanlah seperti yang terjadi di Mindanao. Pasca terjadinya perdamaian, pemerintah Filipina memberi banyak konsesi politik untuk Mindanao. Sehingga pada waktu itu pemimpin tertinggi Mindanao National Liberation Front atau MNLF, Dr. Nurmisuari, menjadi gubernur otonomi Mindanao.

Apa yang terjadi kemudian? Wilayah itu menjadi aman dan damai. Tapi gagal dalam mewujudkan pembangunan. Korupsi merajalela. Rakyat tetap miskin. Perilaku para elit jauh dari harapan ideal. Hal ini memunculkan organisasi sempalan yang disebut Mindanao Islam National Liberation Front atau MINLF. Kita kenal dengan panglima robot. Kelompok sempalan ini sangat kuat dan ekstrem. Bahkan Amerika Serikat pun turun tangan untuk menumpas kelompok ini.

MNLF yang dipimpin Nurmisuari kemudian dihukum rakyat dalam pemilu selanjutnya. Mereka kalah telak. Nurmisuari kembali memberontak namun apa daya, tak ada lagi yang mau jadi pengikutnya. Ia lantas lari ke Malaysia dan tertangkap yang akhirnya kembali dideportasi ke Filipina dan mendekam di penjara.

Ini adalah sepenggal kisah tragis tentang tokoh pemberontak yang didukung masyarakat Islam. Nurmisuari melawan pemerintah yang didominasi umat Katolik. Kasus ini hendaknya menjadi pelajaran, bahwa orang sekharismatik itu bisa dijauhi pendukungnya. Kesalahan yang dilakukan Nurmisuari ketika menjadi gubernur adalah melakukan praktek korupsi.

Kasus ini mirip yang terjadi di Aceh. Ada tiga mantan bupati yang terjerat; Abdya, Aceh Utara dan Bireuen. Kita tidak berharap apa yang terjadi di Mindanao terjadi di Aceh. Kita tidak ingin pemimpin kehilangan kepercayaan dari rakyat. Idealnya pemimpin tidak boleh jauh-jauh dari rakyat. Ide-ide tentang idealisme harus dibumikan. Ini untuk mencegah agar tidak bertambahnya pemimpin yang masuk ke penjara.

Cukuplah Ilyas atau Akmal yang menjadi contoh dari kusutnya wajah suram sistem birokrasi kita. Kita mungkin sudah terbiasa dengan cerita tentang kegagalan. Tapi berakhirnya masa jabatan yang berujung ke balik jeruji hendaklah menjadi sesuatu yang tabu. Yang harus dihindari dan bahkan jangan sampai dibicarakan sama sekali karena itu sangat memalukan. Yang perlu diingat oleh para pemimpin adalah, mandat rakyat itu ibarat ‘doa’ seorang ibu. Yang bisa berubah menjadi petaka manakala itu diabaikan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar