Kamis, 06 Agustus 2015
17 Profesor Dukung Sanksi Potong Tangan bagi Koruptor
Rabu, 5 Agustus 2015 15:13
Polisi Pakistan dilaporkan memotong tangan dua pencuri telepon seluler dan kabel listrik
BANDA ACEH - Sebanyak 17 profesor (guru besar) dan tidak kurang dari 14 doktor di Aceh mendukung hukuman atau pidana (uqubat) potong tangan bagi para koruptor.
Jumlah guru besar dan doktor yang mendukung wacana potong tangan itu dihitung Serambi, Selasa (4/8) kemarin, dari hasil jajak pendapat terhadap 113 koresponden yang ditanyai sang peneliti, Muchsin Bani Amin SH MH MM (70), selaku Ketua Lembaga Konsultasi dan Mediasi Bersama (LKMB).
Dukungan tersebut disampaikan para tokoh Aceh dan luar Aceh dalam bentuk tanda tangan langsung dan tertulis oleh lembaga yang dia pilih secara acak.
Dia tambahkan bahwa jajak pendapat tentang hukuman potong tangan itu dilakukan atas inisiatif dan biaya pribadi. Khusus di Aceh jejak pendapat tersebut dilakukan sejak April lalu, sedangkan tingkat nasional sudah dilakukan sejak 2012 melibatkan 300 koresponden.
Para guru besar yang mendukung sanski potong tangan bagi koruptor itu, antara lain, Prof Farid Wajdi Ibrahim MA (Rektor UIN Ar-Raniry), Prof Samsul RIzal MEng (Rektor Universitas Syiah Kuala), Prof Dr Muslim Ibrahim MA (Wakil Ketua MPU Aceh), Prof Dr Syahrizal Abbas MA (Kepala Dinas Syariat Islam, Aceh), Prof Dr Mustanir (Dekan Fakultas Sains UIN Ar-Raniry), dan Prof Dr Adwani, Guru Besar Fakultas Hukum Unsyiah.
Menurut Muchsin, semua agama mendukung (pidana potong tangan bagi koruptor) karena diatur dalam kitab suci mereka, bukan hanya dalam Alquran. “Tapi agama satu-satunya yang mengurus hukum adalah agama Islam, sementara yang lain hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Asy Syafi’yah, Jakarta ini.
Dia jelaskan, jejak pendapat ini dilakukan terhadap tokoh-tokoh dari berbagai disiplin ilmu dan kalangan, termasuk pembimas semua agama di Aceh. Hasilnya, mereka menyatakan dukungannya terhadap pidana potong tangan terhadap koruptor. “Hasil penelitian ini akan disampaikan kepada Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah dan tembusannya akan disampaikan kepada Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haytar,” ujarnya.
Mantan hakim Pengadilan Agama ini menyatakan, dorongan dirinya melakukan jejak pendapat karena tidak sanggup melihat merajalelanya para koruptor di Indonesia.. Saat ini, katanya, perkara korupsi sudah berada dititik nadir. Karena itu, dirinya terdorong melakukan jejak pendapat terkait pidana potong tangan terhadap koruptor untuk kemudian diserahkan kepada Gubernur Aceh dan DPRA.
“Meunyoe broek eungkot jet taboh sira, tapi nyoe sira kabroek, peu yang akan taboh (jika ikan busuk bisa kita kasih garam, tapi jika garamnya sudah busuk apa yang akan kita bubuhkan). Sekarang yang membuat hukum adalah DPR, tapi mereka yang banyak menjadi koruptor. Begitu juga dengan hakim, jaksa, dan polisi, termasuk pejabat dan kelompok partai politik,” imbuhnya.
Dia mengatakan, korupsi sulit akan dihilangkan jika negara masih memberlakukan aturan yang diciptaan oleh manusia. Namun apabila hokum Tuhan diterapkan, maka prilaku korupsi akan hilang. “Kalaupun kita lihat di Cina koruptor dihukum mati, itu karena kepanikan karena tidak ada dasar. Kalau kita ada dasar Surat Al Maidah ayat 38 yang menegaskan bahwa pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dihukum dengan hukum potong tangan,” ungkap dosen Fakultas Hukum Institut Bisnis Law Managemant (IBLAM) Jakarta.
Karena itu dia berharap, dengan adanya hasil penelitian itu Pemerintah Aceh dan DPRA dapat menjajaki untuk merancang dan melahirkan qanun potong tangan bagi koruptor. Menurutnya, Qanun Jinayah memang sudah ada di Aceh, tapi tak ada pidana potong tangan bagi koruptor di dalamnya. “Saya minta pada saat penyerahan hasil ini nanti agar diundang semua koresponden dan bupati serta wali kota se Aceh,” pungkas pria asal Bireuen ini. (mz)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar