Muhajir Juli I The Globe Journal
Kamis, 31 Januari 2013 21:17 WIB
Banda Aceh-Besok, Jumat (1/2/2013) Rancangan
Anggaran Belanja Aceh (RAPBA) rencananya akan disahkan bakda Jumat oleh
pihak Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sebelum palu “keramat” itu diketuk
telah beredar kabar tak sedap tentang adanya alokasi dana operasional
untuk Wali Nanggroe Rp 40 miliar untuk tahun 2013.
Angka fantastis itu muncul dalam list anggaran yang diusulkan dalam pagu tambahan. Tak tanggung-tanggung, bila dihitung perhari, dana untuk operasional “sang wali” mencapai angka Rp 109 juta.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Kamis (31/2/2013) menilai ada empat hal yang menjadi perhatian mereka dalam pengalokasian dana tersebut. Pertama Pemerintah Aceh tidak punya dasar hukum untuk menganggarkan dana untuk Wali Nanggroe (WN). Sebab qanun tentang WN belum ada.
“Pemerintah Aceh telah melanggar hukum bila memaksakan pengalokasian dana untuk WN. Sebab belum ada qanun yang disahkan terkait dengan kelembagaan WN,” Ujar Baihaqi, Koordinator bidang advokasi korupsi.
Kedua, tambahnya, dilihat dari total yang diajukan, itu justru sangat besar sekali. Jumlah Rp 40 miliar tidak punya alat untuk mengukur keefektivan pengunaan anggaran. Sebab qanun tentang itu belum ada. Menurut MaTA anggaran sebesar itu diluar logika dan bertentangan dengan akal sehat.
Ketiga, alokasi anggaran sebesar itu sangat tidak logis jika digunakan untuk operasional, bayangkan saja satu jam harus di habiskan Rp 4,5 juta
Keempat, aktivis anti korupsi itu melihat dana Rp 40 miliar tersebut berpeluang terjadinya korupsi politik. Apalagi menjelang pileg di 2014. Wali Nanggroe yang merupakan bagian dari salah satu partai politik dicurigai akan menggunakan dana tersebut untuk mendulang pendanaan kampanye nantinya. Baihaqi menambahkan, untuk mencegah hal tersebut terjadi, harusnya DPR lebih bijak dalam melihat usulan alokasi anggaran yang diusulkan eksekutif. Harus dilihat kewajaran dan bila perlu harus disampaikan juga secara terbuka penggunaan anggaran tersebut utuk apa saja.
Dalam hal ini, lanjut Baihaqi, Pemerintah Aceh telah melanggar Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang mengamanatkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat bagi masyarakat.
Angka fantastis itu muncul dalam list anggaran yang diusulkan dalam pagu tambahan. Tak tanggung-tanggung, bila dihitung perhari, dana untuk operasional “sang wali” mencapai angka Rp 109 juta.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Kamis (31/2/2013) menilai ada empat hal yang menjadi perhatian mereka dalam pengalokasian dana tersebut. Pertama Pemerintah Aceh tidak punya dasar hukum untuk menganggarkan dana untuk Wali Nanggroe (WN). Sebab qanun tentang WN belum ada.
“Pemerintah Aceh telah melanggar hukum bila memaksakan pengalokasian dana untuk WN. Sebab belum ada qanun yang disahkan terkait dengan kelembagaan WN,” Ujar Baihaqi, Koordinator bidang advokasi korupsi.
Kedua, tambahnya, dilihat dari total yang diajukan, itu justru sangat besar sekali. Jumlah Rp 40 miliar tidak punya alat untuk mengukur keefektivan pengunaan anggaran. Sebab qanun tentang itu belum ada. Menurut MaTA anggaran sebesar itu diluar logika dan bertentangan dengan akal sehat.
Ketiga, alokasi anggaran sebesar itu sangat tidak logis jika digunakan untuk operasional, bayangkan saja satu jam harus di habiskan Rp 4,5 juta
Keempat, aktivis anti korupsi itu melihat dana Rp 40 miliar tersebut berpeluang terjadinya korupsi politik. Apalagi menjelang pileg di 2014. Wali Nanggroe yang merupakan bagian dari salah satu partai politik dicurigai akan menggunakan dana tersebut untuk mendulang pendanaan kampanye nantinya. Baihaqi menambahkan, untuk mencegah hal tersebut terjadi, harusnya DPR lebih bijak dalam melihat usulan alokasi anggaran yang diusulkan eksekutif. Harus dilihat kewajaran dan bila perlu harus disampaikan juga secara terbuka penggunaan anggaran tersebut utuk apa saja.
Dalam hal ini, lanjut Baihaqi, Pemerintah Aceh telah melanggar Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang mengamanatkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat bagi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar