Kamis, 31 Januari 2013
Pemerintah Aceh Inkonsisten Dalam Perencanaan Anggaran
Banda Aceh ( Berita ) : Lembaga swadaya masyarakat Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh menilai Pemerintah Aceh inkonsisten dalam perencanaan anggaran terkait penambahan anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2013.
”Penambahan pagu dalam RAPBA 2013 itu mengindikasikan inkonsistensi Pemerintah Aceh terhadap perencanaan anggaran,” kata Kepala Divisi Kebijakan Publik Gerak Aceh Isra Safril di Banda Aceh, Rabu [30/01]. Disebutkan dalam RAPBA 2013 Pemerintah Aceh telah mencantumkan penambahan anggaran sebesar Rp1,842 triliun.
Penambahan anggaran itu antara lain dialokasikan untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat, operasional rutin satuan kerja, bantuan untuk pemerintah kabupaten dan kota, dan operasional Wali Nanggroe.
“Usulan itu belum menunjukkan perencanaan anggaran yang transparan kepada publik, karena diusulkan menjelang akhir pengesahan APBA sehingga berpotensi terjadinya pengalokasian yang tidak sesuai aturan perundang-undangan,” kata Isra.
Isra menilai ada beberapa pos anggaran tambahan yang terindikasi memberikan keuntungan secara anggaran dan politik kepada pihak pengusul, diantaranya adalah dana kerja gubernur, alokasi untuk lembaga Wali Nanggroe, anggaran Biro Umum (Operasional MAF).
Kemudian anggaran Biro Ekonomi (Kapet Bandar Darussalam), Biro Ekonomi (PDPA), Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A), dana Program Ekonomi Rakyat (PER), dan dana untuk membayar dana nonbencana (pembayaran anggaran tanggap darurat alih APBA-P 2012) BPBA.
Selanjutnya anggaran penanggulangan bencana (BPBA), LPSDM beasiswa, operasional kunjungan tamu negara. “Alokasi terhadap program dan kegiatan ini berpotensi terjadi pengelembungan dan penyelewengan anggaran saat pelaksanaan kegiatan dan program,” kata Isra.
Untuk itu, ia mengharapkan Pemerintah Aceh dan DPRA merasionalisasi pagu anggaran RAPBA 2013 tersebut agar program dan kegiatan yang tertuang dalam APBA 2013 nantinya bisa dilaksanakan dengan baik dan melahirkan pemerintahan yang baik dan bersih. (ant )
DPRA Minta Eksekutif Teliti Anggaran Tidak Rasional
Banda Aceh ( Berita ) : Badan Anggaran DPR Aceh meminta pihak
eksekutif meneliti kembali anggaran yang tidak rasional dan bertentangan
dengan ketentuan. “Kami meminta Tim Anggaran Pemerintah Aceh meneliti
anggaran tidak rasional dalam Rancangan APBA 2013,” kata Ermiadi Abdul
Rahman, anggota Badan Anggaran DPR Aceh, di Banda Aceh, Kamis [31/01].
Sebelumnya, kata dia, Pemerintah Aceh mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2013 dengan komposisi pendapatan Rp10,116 triliun, belanja Rp11,786 triliun dan defisit Rp1,668 triliun. Defisit ini ditutupi dari pembiayaan yang terdiri atas penerimaan Rp1,673 triliun dan pengeluaran Rp4,850 miliar, sehingga pembiayaan neto menjadi Rp1,668 triliun.
Ia mengatakan, untuk menghindari terjadinya anggaran tidak rasional, maka eksekutif yang menangani perencanaan penganggaran harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Untuk itu, rancangan anggaran ini harus diteliti dan dicermati secara mendalam dengan mengacu pada pedoman yang berlaku serta tidak menyimpang dari standar akuntansi pemerintah,” katanya.
Ia juga menegaskan, alokasi APBA 2013 yang nantinya disahkan DPR Aceh harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian masyarakat.
Menurut dia, penyusunan anggaran yang dituangkan dalam APBA harus dikelola menurut kaidah penyelenggaraan pemerintahan berbasis tata kelola yang baik.
“Karena itu, pemahaman aparatur pemerintahan terhadap pengelolaan anggaran harus ditingkatkan, sehingga belanja yang tidak relevan tidak perlu diajukan,” kata Ermiadi Abdul Rahman.
APBA 2013 Jangan Boros
Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah mengingatkan anggaran pendapatan belanja tahun anggaran 2013 yang akan disahkan harus mencerminkan skala prioritas dan agar tidak sampai terjadi pemborosan.
“Penggunaan APBA 2013 harus mencerminkan skala prioritas tidak boleh terjadi kebocoran dan jangan ada pemborosan,” tegasnya pada pembukaan Masa Persidangan I Tahun 2013 DPR Aceh membahas nota keuangan Rancangan APBA 2013 di Banda Aceh, Rabu malam.
Ia mengatakan, untuk mengantisipasi kebocoran dan pemborosan anggaran, maka fungsi pengawasan yang melekat pada legislatif dapat digunakan semaksimal mungkin, sehingga anggaran tersebut memberi manfaat kepada masyarakat.
Selain itu, kata dia, APBA 2013 yang akan segera disahkan ini harus mencerminkan visi dan misi Pemerintah Aceh serta mengutamakan skala prioritas pembangunan.
“Karena itu, dalam pembahasannya, Rancangan APBA 2013 harus dibahas secara mendalam antara Panitia Anggaran DPRA dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh,” kata dia.
Hasbi Abdullah mengharapkan dalam pembahasan Rancangan APBA 2013 ada sinkronisasi antara kebutuhan yang diajukan eksekutif dengan realitas di lapangan, sesuai kebutuhan pembangunan masyarakat.
“Dengan demikian, APBA tahun anggaran 2013 ini benar-benar mencerminkan program pemerintah yang berpedoman kepada keinginan masyarakat,” ungkap politisi Partai Aceh tersebut.
Menyangkut keterlambatan pembahasan anggaran, Hasbi mengatakan ada hal yang tidak bisa dielakkan, karena padatnya tugas legislatif membuat pengesahan anggaran melampaui jadwal yang telah direncanakan sebelumnya.
Kendati begitu, lanjut dia, pembahasan anggaran 2013 lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti APBA 2010 dan 2011, baru disahkan pada April tahun anggaran berjalan.
“Namun, pada tahun anggaran 2012, APBA disahkan akhir Januari tahun lalu. Begitu juga hendaknya APBA 2013, diharapkan dapat disahkan awal bulan ini,” kata Hasbi Abdullah. (ant )
Sebelumnya, kata dia, Pemerintah Aceh mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2013 dengan komposisi pendapatan Rp10,116 triliun, belanja Rp11,786 triliun dan defisit Rp1,668 triliun. Defisit ini ditutupi dari pembiayaan yang terdiri atas penerimaan Rp1,673 triliun dan pengeluaran Rp4,850 miliar, sehingga pembiayaan neto menjadi Rp1,668 triliun.
Ia mengatakan, untuk menghindari terjadinya anggaran tidak rasional, maka eksekutif yang menangani perencanaan penganggaran harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Untuk itu, rancangan anggaran ini harus diteliti dan dicermati secara mendalam dengan mengacu pada pedoman yang berlaku serta tidak menyimpang dari standar akuntansi pemerintah,” katanya.
Ia juga menegaskan, alokasi APBA 2013 yang nantinya disahkan DPR Aceh harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian masyarakat.
Menurut dia, penyusunan anggaran yang dituangkan dalam APBA harus dikelola menurut kaidah penyelenggaraan pemerintahan berbasis tata kelola yang baik.
“Karena itu, pemahaman aparatur pemerintahan terhadap pengelolaan anggaran harus ditingkatkan, sehingga belanja yang tidak relevan tidak perlu diajukan,” kata Ermiadi Abdul Rahman.
APBA 2013 Jangan Boros
Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah mengingatkan anggaran pendapatan belanja tahun anggaran 2013 yang akan disahkan harus mencerminkan skala prioritas dan agar tidak sampai terjadi pemborosan.
“Penggunaan APBA 2013 harus mencerminkan skala prioritas tidak boleh terjadi kebocoran dan jangan ada pemborosan,” tegasnya pada pembukaan Masa Persidangan I Tahun 2013 DPR Aceh membahas nota keuangan Rancangan APBA 2013 di Banda Aceh, Rabu malam.
Ia mengatakan, untuk mengantisipasi kebocoran dan pemborosan anggaran, maka fungsi pengawasan yang melekat pada legislatif dapat digunakan semaksimal mungkin, sehingga anggaran tersebut memberi manfaat kepada masyarakat.
Selain itu, kata dia, APBA 2013 yang akan segera disahkan ini harus mencerminkan visi dan misi Pemerintah Aceh serta mengutamakan skala prioritas pembangunan.
“Karena itu, dalam pembahasannya, Rancangan APBA 2013 harus dibahas secara mendalam antara Panitia Anggaran DPRA dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh,” kata dia.
Hasbi Abdullah mengharapkan dalam pembahasan Rancangan APBA 2013 ada sinkronisasi antara kebutuhan yang diajukan eksekutif dengan realitas di lapangan, sesuai kebutuhan pembangunan masyarakat.
“Dengan demikian, APBA tahun anggaran 2013 ini benar-benar mencerminkan program pemerintah yang berpedoman kepada keinginan masyarakat,” ungkap politisi Partai Aceh tersebut.
Menyangkut keterlambatan pembahasan anggaran, Hasbi mengatakan ada hal yang tidak bisa dielakkan, karena padatnya tugas legislatif membuat pengesahan anggaran melampaui jadwal yang telah direncanakan sebelumnya.
Kendati begitu, lanjut dia, pembahasan anggaran 2013 lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti APBA 2010 dan 2011, baru disahkan pada April tahun anggaran berjalan.
“Namun, pada tahun anggaran 2012, APBA disahkan akhir Januari tahun lalu. Begitu juga hendaknya APBA 2013, diharapkan dapat disahkan awal bulan ini,” kata Hasbi Abdullah. (ant )
Biaya Wali Nanggroe Rp109 Juta/Hari
BANDA ACEH ( Berita ) : Biaya operasional Wali Nanggroe, sebuah
lembaga yang baru disahkan belum dua bulan ini oleh DPRA, setiap harinya
Rp109.089.041,590. Artinya, besaran anggaran Wali Nanggoe Aceh setiap
hari bisa membangun sebanyak tiga lokal gedung sekolah, misalnya
seperti di Mane, Pidie yang sekolahnya rusak akibat gempa beberapa hari
lalu.
Bila dikalikan 365 hari atau setahun dana yang disediakan untuk Wali Nanggroe hamper mendekati angka Rp 40 miliar, seperti yang diusulkan belakangan oleh tim anggaran eksekutif yang, Rabu (30/1) diserahkan ke DPRA.
Tentusaja bisa membangun ribuan lokal di sekolah-sekolah terpencil di Aceh, yang dilaporkan fasilitasnya masih minim. Biaya Wali Nanggroe ini ternyata masih terbilang kecil bila dilihat dana kerja Gubernur Aceh yang diusulkan eksekutif ke panitia anggaran DPRA sebesar Rp100 miliar.
Penempatan dana untukketiga pos tersebut mendapat sorotan tajam dari sejumlah LSM anti korupsi. Neta Firdaus, Koordinator Suak Aceh,menegaskan, penempatan dana operasional gubernur melebihi dari PAD (Pendapatan Asli Aceh), suatu system pengelolaan keuangan yang buruk. “Saya melihat usulan ini sangat aneh, karena PAD Aceh masih di bawah 100 miliar,”kata Neta menyoroti RAPBA 2013 kepada pers, kemarin.(WSP/b01/b04)
Bila dikalikan 365 hari atau setahun dana yang disediakan untuk Wali Nanggroe hamper mendekati angka Rp 40 miliar, seperti yang diusulkan belakangan oleh tim anggaran eksekutif yang, Rabu (30/1) diserahkan ke DPRA.
Tentusaja bisa membangun ribuan lokal di sekolah-sekolah terpencil di Aceh, yang dilaporkan fasilitasnya masih minim. Biaya Wali Nanggroe ini ternyata masih terbilang kecil bila dilihat dana kerja Gubernur Aceh yang diusulkan eksekutif ke panitia anggaran DPRA sebesar Rp100 miliar.
Penempatan dana untukketiga pos tersebut mendapat sorotan tajam dari sejumlah LSM anti korupsi. Neta Firdaus, Koordinator Suak Aceh,menegaskan, penempatan dana operasional gubernur melebihi dari PAD (Pendapatan Asli Aceh), suatu system pengelolaan keuangan yang buruk. “Saya melihat usulan ini sangat aneh, karena PAD Aceh masih di bawah 100 miliar,”kata Neta menyoroti RAPBA 2013 kepada pers, kemarin.(WSP/b01/b04)
MaTA: Dasar Hukum Alokasi Dana Wali Nanggroe Tidak Ada
Muhajir Juli I The Globe Journal
Kamis, 31 Januari 2013 21:17 WIB
Banda Aceh-Besok, Jumat (1/2/2013) Rancangan
Anggaran Belanja Aceh (RAPBA) rencananya akan disahkan bakda Jumat oleh
pihak Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sebelum palu “keramat” itu diketuk
telah beredar kabar tak sedap tentang adanya alokasi dana operasional
untuk Wali Nanggroe Rp 40 miliar untuk tahun 2013.
Angka fantastis itu muncul dalam list anggaran yang diusulkan dalam pagu tambahan. Tak tanggung-tanggung, bila dihitung perhari, dana untuk operasional “sang wali” mencapai angka Rp 109 juta.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Kamis (31/2/2013) menilai ada empat hal yang menjadi perhatian mereka dalam pengalokasian dana tersebut. Pertama Pemerintah Aceh tidak punya dasar hukum untuk menganggarkan dana untuk Wali Nanggroe (WN). Sebab qanun tentang WN belum ada.
“Pemerintah Aceh telah melanggar hukum bila memaksakan pengalokasian dana untuk WN. Sebab belum ada qanun yang disahkan terkait dengan kelembagaan WN,” Ujar Baihaqi, Koordinator bidang advokasi korupsi.
Kedua, tambahnya, dilihat dari total yang diajukan, itu justru sangat besar sekali. Jumlah Rp 40 miliar tidak punya alat untuk mengukur keefektivan pengunaan anggaran. Sebab qanun tentang itu belum ada. Menurut MaTA anggaran sebesar itu diluar logika dan bertentangan dengan akal sehat.
Ketiga, alokasi anggaran sebesar itu sangat tidak logis jika digunakan untuk operasional, bayangkan saja satu jam harus di habiskan Rp 4,5 juta
Keempat, aktivis anti korupsi itu melihat dana Rp 40 miliar tersebut berpeluang terjadinya korupsi politik. Apalagi menjelang pileg di 2014. Wali Nanggroe yang merupakan bagian dari salah satu partai politik dicurigai akan menggunakan dana tersebut untuk mendulang pendanaan kampanye nantinya. Baihaqi menambahkan, untuk mencegah hal tersebut terjadi, harusnya DPR lebih bijak dalam melihat usulan alokasi anggaran yang diusulkan eksekutif. Harus dilihat kewajaran dan bila perlu harus disampaikan juga secara terbuka penggunaan anggaran tersebut utuk apa saja.
Dalam hal ini, lanjut Baihaqi, Pemerintah Aceh telah melanggar Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang mengamanatkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat bagi masyarakat.
Angka fantastis itu muncul dalam list anggaran yang diusulkan dalam pagu tambahan. Tak tanggung-tanggung, bila dihitung perhari, dana untuk operasional “sang wali” mencapai angka Rp 109 juta.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Kamis (31/2/2013) menilai ada empat hal yang menjadi perhatian mereka dalam pengalokasian dana tersebut. Pertama Pemerintah Aceh tidak punya dasar hukum untuk menganggarkan dana untuk Wali Nanggroe (WN). Sebab qanun tentang WN belum ada.
“Pemerintah Aceh telah melanggar hukum bila memaksakan pengalokasian dana untuk WN. Sebab belum ada qanun yang disahkan terkait dengan kelembagaan WN,” Ujar Baihaqi, Koordinator bidang advokasi korupsi.
Kedua, tambahnya, dilihat dari total yang diajukan, itu justru sangat besar sekali. Jumlah Rp 40 miliar tidak punya alat untuk mengukur keefektivan pengunaan anggaran. Sebab qanun tentang itu belum ada. Menurut MaTA anggaran sebesar itu diluar logika dan bertentangan dengan akal sehat.
Ketiga, alokasi anggaran sebesar itu sangat tidak logis jika digunakan untuk operasional, bayangkan saja satu jam harus di habiskan Rp 4,5 juta
Keempat, aktivis anti korupsi itu melihat dana Rp 40 miliar tersebut berpeluang terjadinya korupsi politik. Apalagi menjelang pileg di 2014. Wali Nanggroe yang merupakan bagian dari salah satu partai politik dicurigai akan menggunakan dana tersebut untuk mendulang pendanaan kampanye nantinya. Baihaqi menambahkan, untuk mencegah hal tersebut terjadi, harusnya DPR lebih bijak dalam melihat usulan alokasi anggaran yang diusulkan eksekutif. Harus dilihat kewajaran dan bila perlu harus disampaikan juga secara terbuka penggunaan anggaran tersebut utuk apa saja.
Dalam hal ini, lanjut Baihaqi, Pemerintah Aceh telah melanggar Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang mengamanatkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat bagi masyarakat.
Rabu, 30 Januari 2013
Jadi Tersangka Korupsi Alat Kesehatan Lhokseumawe, Dirut Kana Farma Indonesia: No Comment
Sabtu, 19 Januari 2013 21:50 WIB
ALFIANSYAH OCXIE
LHOKSEUMAWE – Setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus indikasi korupsi pengadaan alat kesehatan, Direktur Utama PT Kana Farma Indonesia, Husaini Setiawan, menolak berkomentar lebih lanjut.“No comment dulu untuk masalah itu, biarkan sepenuhnya ditangani oleh Kejaksaan,” ujar Husaini kepada ATJEHPOSTcom saat ditemui di Kana Dhapu Kupi Lhokseumawe, Sabtu 19 Januari 2013.
Ketika ditanya mengenai upaya yang bakal ditempuhnya, Husaini tetap tidak memberikan komentar sedikit pun. Kejaksaan Negeri Lhokseumawe pada Jumat 11 Januari 2013 secara resmi menetapkan dua tersangka baru pada kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan Lhokseumawe.
Kedua tersangka itu adalah kuasa Bendahara Umum Daerah Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Lhokseumawe tahun 2011 Helma Faidar, dan Direktur Utama PT Kana Farma Indonesia Husaini Setiawan, selaku pelaksana proyek.
Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Royani, kepada ATJEHPOSTcom mengatakan, penetapan kedua nama itu berdasarkan pengembangan dari keterangan sejumlah saksi. Selain itu, kata dia, juga berdasarkan pemeriksaan dokumen barang bukti yang dilakukan Jaksa Penyidik dan Jaksa Peneliti.[](rz)
Ini Barang Bukti Sitaan Jaksa Dugaan Korupsi Alat kesehatan di RSUCM Lhokseumawe
Rabu, 30 Januari 2013 13:50 WIB
ZULKIFLI ANWAR | Foto : ZULKIFLI ANWAR
LHOKSUKON – Terkait penetapan dua tersangka kasus dugaan korupsi alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Cut Mutia (RSUCM), Buket Rata, Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri Lhoksukon juga menyita 15 item barang bukti dari RSUCM.
Namun, lima item barang masih kosong dan belum tersedia di RSUCM. Padahal dana telah dibayar penuh pada 14 Desember 2012 lalu. Berikut data 15 item barang bukti yang telah disita oleh Kejaksaan Negeri Lhoksukon:
Orthopedie set, masing-masing:
1. Forceps dressing 14,5 cm merk SHM-Germany (1pc)
2. Hammer lead filled 26cm-400gr merk SHM-Germany (1pc)
3. Late Nar Smpres 71mm 4h merk SHM-Germany (3pc)
4. Srew cone SM Hex merk SHM-Germany (5pc)
5. Bak Instrument besar Uk 53x32x10cm merk Magnate-Thailand (2pc)
Mayor Surgeri set, masing-masing :
1. Haberer Reter 45x300mm merk SHM-Germany (1pc)
2. Myrtle Leaf Probe 14,5mm merk SHM-Germany (1pc)
3. Bak Instrument besar Uk 53x32x10cm merk Magnate-Thailand (2pc)
Section Caesarean Intrument set, masing – masing :
1. Intestinal Forceps Str merk SHM-Germany (8pc)
2. Intestinal Forceps CVD merk SHM-Germany (8pc)
3. Dissecting Forceps 14cm merk SHM-Germany (4pc)
4. Probe Double Ended merk SHM-Germany (2pc)
5. Nearbeken 23cm merk Magnate-Thailand (6pc)
6. Bak Instrument besar Uk 53x32x10cm merk Magnate-Thailand (2pc) (tanggal 6 Desember 2012, No 028/5710)
- Photo Therapy merk Olidef Cz-Brazil (2unit) (tanggal 13 Desesmber 2012, No 028/5759)
Berikut data 5 item barang yang belum tersedia di RSUCM, sedangkan dana telah diberikan penuh:
1. Endescopy Needle Blocker (ENB) merk Olympus-Germany (1pc)
2. Articulated Arm merk Fisco-Swiss (1pc)
3. Trolley Made In Indonesia (1unit)
4. Endoscopy Basket merk Olympus-Germany (1set) (tanggal 4 Desember 2012, No 028/5713)
Sekolah Anti Korupsi Buka Pendaftaran
Written by Salman Iqbal Saturday, 19 January 2013 09:47
Sekolah Anti korupsi Aceh Kembali membuka kesempatan untuk seluruh golongan masyarakat dari berbagai latar belakang profesi untuk belajar pendidikan anti korupsi.
Sekolah Antikorupsi Aceh sebagai sebuah sekolah yang konsen dengan pendidikan anti korupsi di Provinsi Aceh dan telah berdiri selama 3 tahun, kembali membuka pendaftaran penerimaan siswa baru untuk gelombang ke-IV Tahun Ajaran 2013.Kepala Devisi kebijakan Publik Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, Isra Safril mengatakan Setiap siswa sekolah antikorupsi akan belajar selama 6 bulan dengan mengikuti 3 pokok materi pelajaran yang meliputi pelajaran umum, pelajaran khusus dan investigasi lapangan.
Dalam pelajaran umum setiap siswa akan dibekali dengan pengetahuan dasar tentang anti korupsi dari aspek sosial kemasyaraktan seperti korupsi dan gender, korupsi dan politik, korupsi dan lingkungan.
Kemudian akan dilanjutkan dengan mempelajari anggaran daerah dan ditutup dengan investigasi lapangan sebagai bentuk praktek kerja lapangan.
"Formulir pendaftaran dapat diperoleh disekretariat GeRAK Aceh: Jalan.Anggsa, Lorong Paya Umet No 2A, Desa Batoh, Kec.Lueng Bata"lanjutnya.
Selasa, 29 Januari 2013
Berkas TVRI ke Pengadilan Tipikor
Jumat, 21 September 2012 11:16 WIB
* Kasus Zul Namploh Terus Didalami
BANDA ACEH - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Banda Aceh telah melimpahkan berkas dakwaan beserta tersangka kasus dugaan korupsi TVRI Aceh senilai Rp 3,1 miliar yang bersumber APBA Tahun 2007 ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Selasa (18/9).
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH, kepada Serambi, Kamis (20/9), mengatakan, terkait kasus dugaan korupsi TVRI Aceh yang melibatkan empat tersangka dan statusnya kini sudah berubah menjadi terdakwa kini sudah berada Pengadilan. “Karena berkas kasus itu sudah di limpahkan oleh JPU pada hari Selasa (18/9),” katanya.
Dengan dilimpahnya berkas perkara itu ke Pengadilan, maka saat ini perkara bersama empat terdakwa sudah menjadi tanggung jawab Pengadilan Tipikor Banda Aceh. “Artinya status tahanan keempat terdakwa itu menjadi tahanan hakim,” tambah Amir Hamzah.
Ada pun empat orang yang tersangkut dalam kasus itu, akan segera diadili di Pengadilan Tipikor yaitu, Nelwan Yus (mantan Kepala Stasiun TVRI Aceh) Epizar Saleh (Staf TVRI Stasiun Aceh), Saiful Bahri (mantan Kepala Bidang Program TVRI Stasiun Aceh), Safwan Achmad (staf Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Telekomunikasi Aceh). Keempat terdakwa itu kini masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar.
Kasus Zul Namploh
BANDA ACEH - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Banda Aceh telah melimpahkan berkas dakwaan beserta tersangka kasus dugaan korupsi TVRI Aceh senilai Rp 3,1 miliar yang bersumber APBA Tahun 2007 ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Selasa (18/9).
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH, kepada Serambi, Kamis (20/9), mengatakan, terkait kasus dugaan korupsi TVRI Aceh yang melibatkan empat tersangka dan statusnya kini sudah berubah menjadi terdakwa kini sudah berada Pengadilan. “Karena berkas kasus itu sudah di limpahkan oleh JPU pada hari Selasa (18/9),” katanya.
Dengan dilimpahnya berkas perkara itu ke Pengadilan, maka saat ini perkara bersama empat terdakwa sudah menjadi tanggung jawab Pengadilan Tipikor Banda Aceh. “Artinya status tahanan keempat terdakwa itu menjadi tahanan hakim,” tambah Amir Hamzah.
Ada pun empat orang yang tersangkut dalam kasus itu, akan segera diadili di Pengadilan Tipikor yaitu, Nelwan Yus (mantan Kepala Stasiun TVRI Aceh) Epizar Saleh (Staf TVRI Stasiun Aceh), Saiful Bahri (mantan Kepala Bidang Program TVRI Stasiun Aceh), Safwan Achmad (staf Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Telekomunikasi Aceh). Keempat terdakwa itu kini masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar.
Kasus Zul Namploh
Amir Hamzah SH ketika ditanyai mengenai perkembangan pengusutan kasus rumah guru terpencil mengatakan masih terus didalami tim jaksa penyidik. Kasus ini sendiri melibatkan dua tersangka, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh) selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Ir Ir Syahrul Amri selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada proyek tersebut.
“Tim jaksa penyidik saat ini sedang mendalami dan mempelajari keterangan dari saksi ahli. Kami minta masyarakat bersabar karena mengusut sebuah kasus korupsi tetap memakan waktu yang tidak sedikit, sebab berbagai keterangan harus dikumpulkan untuk melengkapi berkas hasil penyidikan,” ujarnya. Tersangka, Zul Namploh bersama Syahrul Amri sudah ditahan jaksa penyidik sejak tanggal 12 September 2012 yang dititipkan di LP Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar.(sup)
Editor : bakri
Jaksa Tahan Dua Tersangka Dugaan Korupsi Dana Alat Kesehatan RSUCM
Selasa, 29 Januari 2013 12:30 WIB
ZULKIFLI ANWAR | Foto : ilustrasi, Atjehpost
LHOKSUKON - Penyidik Kejaksaan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara, telah menahan dua tersangka dugaan korupsi dana alat kesehatan Rumah Sakit Umum Cut Mutia, Buket Rata Lhokseumawe. Kedua tersangka ditahan dan dititipkan di Rutan Lhoksukon sejak Senin malam 28 Januari 2013 sekitar pukul 20.00 WIB.
Hal itu disampaikan Kasi Intel M Khadafi, kepada ATJEHPOST.com, saat ditemui di ruang kerjanya Selasa 29 Januari 2013.“Saat ini kedua tersangka telah kita tahan tadi malam (red-Senin), usai dimintai keterangannya sebagai tersangka,” ujarnya.
Seperti yang diketahui, Penyidik Kejaksaan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana alat kesehatan senilai Rp25 miliar di Rumah Sakit Umum Cut Mutia, Buket Rata, Lhokseumawe. Dana tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasioanal atau APBN tahun 2012 senilai Rp 25 Miliar.
Dua tersangka tersebut yaitu M Saladin Akbar selaku Direktur PT Visa Karya Mandiri, Banda Aceh (rekanan) dan Surdeni Sulaiman selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Dalam kasus itu, kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 3 Jo Pasal 9 Jo Pasal 18, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Total pagu anggaran tahun 2012 yang diduga telah diselewengkan sebesar Rp72 miliar. Masing–masing, dari APBN Rp25 miliar, APBA Rp8 miliar lebih, dan APBK Rp39 miliar.[] (ihn)
Ahli: Pemeriksa Barang Harus Bertanggungjawab
Rabu, 23 Januari 2013 13:55 WIB
* Sidang Lanjutan Zul Namploh
BANDA ACEH - Ahli hukum pidana, Dr Chairul Huda SH MH mengatakan perkara korupsi tidak boleh hanya meminta pertanggungjawaban hukum kepada seseorang saja, padahal perbuatan patut diduga dilakukan bersama. Karena itu, ia menilai prematur tuntutan atau putusan nanti, jika hanya terhadap satu atau dua terdakwa, padahal perbuatan korupsi dilakukan bersama-sama.
Chairul menyampaikan hal itu ketika menjadi ahli yang dihadirkan pengacara Sekdisdik Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (50) pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN)/Tipikor Banda Aceh, Selasa (22/1). Sedangkan keterangan tersebut ketika menjawab pertanyaan pengacara Zulkifli bernama Ahmad Benyamin SH.
Didampingi rekannya Kamal Farza SH, Ahmad menanyakan hal itu untuk mengaitkan dengan perkara dugaan korupsi proyek pembangunan rumah dinas guru terpencil di 18 kabupaten/kota di Aceh. Pasalnya, jaksa hanya menghadirkan kliennya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai terdakwa I dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Ir Ir Syahrul Amri (56) sebagai terdakwa II, padahal pengacara menilai kontraktor, konsultan pengawas, dan panitia pemeriksa barang yang memanipulasi data, tanpa diketahui KPA dan PPTK.
“Pertanggungjawaban terhadap dugaan korupsi harus dimulai dari hulu hingga ke hilir. Tidak boleh dugaan perbuatan dilakukan dari hulu, misalnya oleh kontraktor, konsultan pengawas, dan panitia pemeriksa barang, tetapi hanya diminta pertanggungjawaban kepada atasannya. Penyalahgunaan kewenangan oleh masing-masing ini sehingga menyebabkan kerugian negara harus dipertanggungjawabkan oleh semuanya,” kata Chairul.
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini juga menyebutkan penyalahgunaan kewenangan atau kelalaian juga dibagi dua, yaitu disengaja atau tidak, sehingga menimbulkan kerugian negara. Disengaja, misalnya seseorang sudah mengetahui perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian negara, tetapi tetap dilaksanakan atau tidak dicegah.
“Itu harus dipertanggungjawabkan sebagai perbuatan korupsi. Tetapi ada kelalaian merugikan negara, tetapi tidak disengaja. Misalnya, hakim dalam menggunakan mobil dinas lupa mencabut kunci sehingga mobil dicuri. Itu harus dipertanggungjawabkan karena kelalaiannya, tetapi bukan karena kelalaian disengaja sehingga menimbulkan kerugian negara atau korupsi yang harus dipertanggungjawabkan,” jelas Chairul.
Selanjutnya, giliran Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya. Jaksa juga harus bertanya tentang pendapat ahli, tidak boleh bertanya pendapat ahli terhadap kasus sedang disidangkan. Karena itu, JPU Helmi Aziz SH dalam pertanyaannya juga mengilustrasikan ketika pekerjaan baru selesai 70 persen, tetapi sudah dibayar 100 persen karena perbuatan manipulasi dokumen oleh pemangku kekuasaan sehingga negara dirugikan, apakah dapat dikatakan korupsi?
“Ya, pada saat itu terjadi korupsi. Tetapi jika bangunan belum rampung dan dana tidak dicairkan 100 persen, maka tak terjadi korupsi. Tetapi rekanan telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji yang bisa dipersoalkan secara perdata,” sebutnya.
Terdakwa II, Ir Syahrul Amri didampingi pengacaranya Basrun SH dan Samsul Bahri SH juga menghadirkan ahli kontrak dan pengadaan barang, Razali ST. Majelis hakim diketuai Taswir MH dibantu hakim anggota Abu Hanifah MH dan Syaiful SH memutuskan sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Selasa (29/1).(sal)
BANDA ACEH - Ahli hukum pidana, Dr Chairul Huda SH MH mengatakan perkara korupsi tidak boleh hanya meminta pertanggungjawaban hukum kepada seseorang saja, padahal perbuatan patut diduga dilakukan bersama. Karena itu, ia menilai prematur tuntutan atau putusan nanti, jika hanya terhadap satu atau dua terdakwa, padahal perbuatan korupsi dilakukan bersama-sama.
Chairul menyampaikan hal itu ketika menjadi ahli yang dihadirkan pengacara Sekdisdik Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (50) pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN)/Tipikor Banda Aceh, Selasa (22/1). Sedangkan keterangan tersebut ketika menjawab pertanyaan pengacara Zulkifli bernama Ahmad Benyamin SH.
Didampingi rekannya Kamal Farza SH, Ahmad menanyakan hal itu untuk mengaitkan dengan perkara dugaan korupsi proyek pembangunan rumah dinas guru terpencil di 18 kabupaten/kota di Aceh. Pasalnya, jaksa hanya menghadirkan kliennya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai terdakwa I dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Ir Ir Syahrul Amri (56) sebagai terdakwa II, padahal pengacara menilai kontraktor, konsultan pengawas, dan panitia pemeriksa barang yang memanipulasi data, tanpa diketahui KPA dan PPTK.
“Pertanggungjawaban terhadap dugaan korupsi harus dimulai dari hulu hingga ke hilir. Tidak boleh dugaan perbuatan dilakukan dari hulu, misalnya oleh kontraktor, konsultan pengawas, dan panitia pemeriksa barang, tetapi hanya diminta pertanggungjawaban kepada atasannya. Penyalahgunaan kewenangan oleh masing-masing ini sehingga menyebabkan kerugian negara harus dipertanggungjawabkan oleh semuanya,” kata Chairul.
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini juga menyebutkan penyalahgunaan kewenangan atau kelalaian juga dibagi dua, yaitu disengaja atau tidak, sehingga menimbulkan kerugian negara. Disengaja, misalnya seseorang sudah mengetahui perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian negara, tetapi tetap dilaksanakan atau tidak dicegah.
“Itu harus dipertanggungjawabkan sebagai perbuatan korupsi. Tetapi ada kelalaian merugikan negara, tetapi tidak disengaja. Misalnya, hakim dalam menggunakan mobil dinas lupa mencabut kunci sehingga mobil dicuri. Itu harus dipertanggungjawabkan karena kelalaiannya, tetapi bukan karena kelalaian disengaja sehingga menimbulkan kerugian negara atau korupsi yang harus dipertanggungjawabkan,” jelas Chairul.
Selanjutnya, giliran Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya. Jaksa juga harus bertanya tentang pendapat ahli, tidak boleh bertanya pendapat ahli terhadap kasus sedang disidangkan. Karena itu, JPU Helmi Aziz SH dalam pertanyaannya juga mengilustrasikan ketika pekerjaan baru selesai 70 persen, tetapi sudah dibayar 100 persen karena perbuatan manipulasi dokumen oleh pemangku kekuasaan sehingga negara dirugikan, apakah dapat dikatakan korupsi?
“Ya, pada saat itu terjadi korupsi. Tetapi jika bangunan belum rampung dan dana tidak dicairkan 100 persen, maka tak terjadi korupsi. Tetapi rekanan telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji yang bisa dipersoalkan secara perdata,” sebutnya.
Terdakwa II, Ir Syahrul Amri didampingi pengacaranya Basrun SH dan Samsul Bahri SH juga menghadirkan ahli kontrak dan pengadaan barang, Razali ST. Majelis hakim diketuai Taswir MH dibantu hakim anggota Abu Hanifah MH dan Syaiful SH memutuskan sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Selasa (29/1).(sal)
Editor : bakri
Jaksa Minta Keterangan Panitia Pemeriksa Barang
Selasa, 31 Juli 2012 14:17 WIB
BANDA ACEH - Pengusutan kasus
dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil senilai Rp 20
miliar terus berlanjut. Tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Aceh, Senin (30/7), memeriksa enam anggota Panitia Pemeriksa Barang dari
Dinas Pendidikan Aceh.
“Ya, tadi (kemarin-red) panitia pemeriksa barang diperiksa tim penyidik sebagai saksi,” kata Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH kepada Serambi, kemarin. Keenam panitia pemeriksa barang yang dimintai keterangan itu, sebut Amir, yaitu Zulkifli (ketua) dan lima anggotanya yaitu, Aswir, Lukman Nurhakim, Fauzi, M Yusuf, dan Ismail Alibasyah.
“Keterangan mereka ini sangat dibutuhkan penyidik untuk melengkapi berkas pemeriksaan belumnya. Karena mereka turut mengetahui tentang proyek tersebut,” kata Amir Hamzah.
Sumber Serambi menyebutkan dalam pemeriksaan itu panitia pemeriksa barang memberi keterangan secara terbuka kepada penyidik. Menurut panitia itu, mereka sangat sulit turun ke lapangan untuk memeriksa proyek yang tersebar di 18 kabupaten/kota itu karena selain tidak diberikan honor, juga tidak disediakan dana untuk pemeriksaan proyek ke lapangan.
Dalam pemeriksaan itu juga terungkap, bahwa Ketua Panitia Pemeriksa Barang Zulkifli meneken berita acara pemeriksaan dilakukan setelah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan pihak yang berkompoten lain menandatangani seluruh dokumen yang ada. “Padahal, secara aturan KPA semestinya harus belakangan baru menandatangi dokumen tersebut, setelah semua pihak yang berkompoten menandatanganinya,” ungkap sumber itu.(sup)
“Ya, tadi (kemarin-red) panitia pemeriksa barang diperiksa tim penyidik sebagai saksi,” kata Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH kepada Serambi, kemarin. Keenam panitia pemeriksa barang yang dimintai keterangan itu, sebut Amir, yaitu Zulkifli (ketua) dan lima anggotanya yaitu, Aswir, Lukman Nurhakim, Fauzi, M Yusuf, dan Ismail Alibasyah.
“Keterangan mereka ini sangat dibutuhkan penyidik untuk melengkapi berkas pemeriksaan belumnya. Karena mereka turut mengetahui tentang proyek tersebut,” kata Amir Hamzah.
Sumber Serambi menyebutkan dalam pemeriksaan itu panitia pemeriksa barang memberi keterangan secara terbuka kepada penyidik. Menurut panitia itu, mereka sangat sulit turun ke lapangan untuk memeriksa proyek yang tersebar di 18 kabupaten/kota itu karena selain tidak diberikan honor, juga tidak disediakan dana untuk pemeriksaan proyek ke lapangan.
Dalam pemeriksaan itu juga terungkap, bahwa Ketua Panitia Pemeriksa Barang Zulkifli meneken berita acara pemeriksaan dilakukan setelah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan pihak yang berkompoten lain menandatangani seluruh dokumen yang ada. “Padahal, secara aturan KPA semestinya harus belakangan baru menandatangi dokumen tersebut, setelah semua pihak yang berkompoten menandatanganinya,” ungkap sumber itu.(sup)
Editor : bakri
Mantan Humas Kejati Disebut Terima Fee
Rabu, 12 Desember 2012 10:12 WIB
* Terungkap dalam Sidang Zul Namploh
* Dibantah Konsultan Pengawas
BANDA ACEH - Kamal Farza SH, pengacara Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (50) mempertanyakan kebenaran laporan yang menyebutkan mantan Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH menerima fee Rp 60 juta dari Kuasa Direktur CV Devela Industri, Wardi B selaku konsultan pengawas proyek pembangunan 10 rumah guru terpencil di Aceh Selatan. Namun, Wardi membantah perihal ini.
Kamal mempertanyakan hal itu saat sesi akhir pemeriksaan saksi Wardi B dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Selasa (11/12) atas perkara dugaan korupsi pembangunan rumah guru terpencil di 17 kabupaten/kota di Aceh pada 2009.
Terdakwa I perkara ini Sekdisdik Aceh Zul Namploh selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan terdakwa II Ir Syahrul Amri (56) selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
“Pernahkan saksi membuat surat pernyataan di atas materai bahwa mendapatkan proyek ini di Aceh Selatan bukan dari PPTK dan KPA, melainkan dari Kasi Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis. Kemudian saudara bersama Direktur CV Devela Industri T Saudi menyerahkan fee kepada Ali Rasab Rp 60 juta,” tanya Kamal.
Wardi terlihat sempat berpikir sejenak, kurang jelas dan berbelit menjawab pertanyaan ini, tetapi intinya membantah. Kemudian ia mengatakan hanya menyerahkan Rp 90 juta kepada T Saudi sebagai Direktur CV Devela Industri selaku perusahaan pemenang proyek itu. Kamal yang ingin mempertegas hal ini diminta oleh hakim Ketua Taswir MH tak mempertanyakan hal itu lagi. “Yang penting tadi, saudara saksi sudah mengakui surat pernyataannya,” tegas Taswir, sambil mempersilakan Kamal mempertanyakan hal lain.
Kemudian Kamal tak bertanya lagi karena sebelumnya pengacara Zul Namploh bernama Ahmad Benyamin SH juga sudah bertanya. Giliran pengacara Ir Syahrul bernama Basrun Yusuf SH dan Syamsul Rizal SH bertanya, Basrun mempertegas apakah saat menyerahkan dokumen pembangunan 10 rumah itu ke PPTK, saksi Wardi menyerahkan data riil bahwa rumah guru di Aceh Selatan belum rampung? bahkan ada satu tak dibangun sama sekali atau menyerahkan progres seakan pembangunan itu sudah rampung 100 persen, termasuk dibuktikan tanda tangan panitia pemeriksa barang atau diistilahkan provisional hand over (PHO).
Terhadap pertanyaan ini, Wardi yang sebelumnya mengatakan pengajuan dokumen 100 persen ini disuruh PPTK karena sudah akhir 2009 agar dana bisa cair semua, mulai memberi keterangan berbeda dengan sebelumnya. Ia mengatakan, dirinya yang mengajukan progress 100 persen agar dana cair semua, padahal pembangunan rumah baru sekitar 80 persen.
“Ya, saya membayar panitia PHO Rp 2 juta. Katanya untuk uang administrasi, tidak hanya saya, semua rekanan membayar Rp 2 juta untuk administrasi ini,” jelas Wardi.
Hakim Taswir didampingi hakim anggota, Abu Hanifah MH dan Syaiful SH mempersilakan terdakwa Zul menanggapi keterangan saksi Wardi. Ia hanya mempertegas kenal dengan Wardi setelah adanya temuan Inspektorat Aceh bahwa proyek itu bermasalah.
Sedangkan kewenangan KPA menandatangani surat perintah membayar (SPM) karena syarat pengamprahan 100 persen sudah lengkap, seperti sudah ada tandatangan panitia pemeriksa barang. Begitu juga Syahrul menandatangani progress proyek itu sudah rampung 100 persen karena sudah ada tanda tangan panitia berwenang lainnya, seperti Konsultan Pengawas dan Panitia PHO.
Sidang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB, hingga malam tadi masih berlangsung. Jaksa Helmi dan Mairia Evita Ayu kemarin menyiapkan 23 saksi, termasuk mantan Kadisdik Aceh Mohd Ilyas. Sedangkan malam tadi, informasinya mantan Kadisdik Aceh Bakhtiar Ishak sedang diperiksa.
Proyek APBA 2009 dengan pagu Rp 20 miliar lebih ini terjadi kerugian negara hampir Rp 1,5 miliar sesuai surat Inspektur Aceh, 12 September 2012. Nilai kontrak untuk satu rumah antara Rp 70-90 Juta. (sal)
* Dibantah Konsultan Pengawas
BANDA ACEH - Kamal Farza SH, pengacara Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (50) mempertanyakan kebenaran laporan yang menyebutkan mantan Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH menerima fee Rp 60 juta dari Kuasa Direktur CV Devela Industri, Wardi B selaku konsultan pengawas proyek pembangunan 10 rumah guru terpencil di Aceh Selatan. Namun, Wardi membantah perihal ini.
Kamal mempertanyakan hal itu saat sesi akhir pemeriksaan saksi Wardi B dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Selasa (11/12) atas perkara dugaan korupsi pembangunan rumah guru terpencil di 17 kabupaten/kota di Aceh pada 2009.
Terdakwa I perkara ini Sekdisdik Aceh Zul Namploh selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan terdakwa II Ir Syahrul Amri (56) selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
“Pernahkan saksi membuat surat pernyataan di atas materai bahwa mendapatkan proyek ini di Aceh Selatan bukan dari PPTK dan KPA, melainkan dari Kasi Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis. Kemudian saudara bersama Direktur CV Devela Industri T Saudi menyerahkan fee kepada Ali Rasab Rp 60 juta,” tanya Kamal.
Wardi terlihat sempat berpikir sejenak, kurang jelas dan berbelit menjawab pertanyaan ini, tetapi intinya membantah. Kemudian ia mengatakan hanya menyerahkan Rp 90 juta kepada T Saudi sebagai Direktur CV Devela Industri selaku perusahaan pemenang proyek itu. Kamal yang ingin mempertegas hal ini diminta oleh hakim Ketua Taswir MH tak mempertanyakan hal itu lagi. “Yang penting tadi, saudara saksi sudah mengakui surat pernyataannya,” tegas Taswir, sambil mempersilakan Kamal mempertanyakan hal lain.
Kemudian Kamal tak bertanya lagi karena sebelumnya pengacara Zul Namploh bernama Ahmad Benyamin SH juga sudah bertanya. Giliran pengacara Ir Syahrul bernama Basrun Yusuf SH dan Syamsul Rizal SH bertanya, Basrun mempertegas apakah saat menyerahkan dokumen pembangunan 10 rumah itu ke PPTK, saksi Wardi menyerahkan data riil bahwa rumah guru di Aceh Selatan belum rampung? bahkan ada satu tak dibangun sama sekali atau menyerahkan progres seakan pembangunan itu sudah rampung 100 persen, termasuk dibuktikan tanda tangan panitia pemeriksa barang atau diistilahkan provisional hand over (PHO).
Terhadap pertanyaan ini, Wardi yang sebelumnya mengatakan pengajuan dokumen 100 persen ini disuruh PPTK karena sudah akhir 2009 agar dana bisa cair semua, mulai memberi keterangan berbeda dengan sebelumnya. Ia mengatakan, dirinya yang mengajukan progress 100 persen agar dana cair semua, padahal pembangunan rumah baru sekitar 80 persen.
“Ya, saya membayar panitia PHO Rp 2 juta. Katanya untuk uang administrasi, tidak hanya saya, semua rekanan membayar Rp 2 juta untuk administrasi ini,” jelas Wardi.
Hakim Taswir didampingi hakim anggota, Abu Hanifah MH dan Syaiful SH mempersilakan terdakwa Zul menanggapi keterangan saksi Wardi. Ia hanya mempertegas kenal dengan Wardi setelah adanya temuan Inspektorat Aceh bahwa proyek itu bermasalah.
Sedangkan kewenangan KPA menandatangani surat perintah membayar (SPM) karena syarat pengamprahan 100 persen sudah lengkap, seperti sudah ada tandatangan panitia pemeriksa barang. Begitu juga Syahrul menandatangani progress proyek itu sudah rampung 100 persen karena sudah ada tanda tangan panitia berwenang lainnya, seperti Konsultan Pengawas dan Panitia PHO.
Sidang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB, hingga malam tadi masih berlangsung. Jaksa Helmi dan Mairia Evita Ayu kemarin menyiapkan 23 saksi, termasuk mantan Kadisdik Aceh Mohd Ilyas. Sedangkan malam tadi, informasinya mantan Kadisdik Aceh Bakhtiar Ishak sedang diperiksa.
Proyek APBA 2009 dengan pagu Rp 20 miliar lebih ini terjadi kerugian negara hampir Rp 1,5 miliar sesuai surat Inspektur Aceh, 12 September 2012. Nilai kontrak untuk satu rumah antara Rp 70-90 Juta. (sal)
Editor : bakri
Jaksa Tahan Zul Namploh
Kamis, 13 September 2012 10:37 WIB
Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh dan
Ir Syahrul (staf Dinas Pendidikan Aceh/PPTK) saat hendak dinaikan ke
mobil tahanan kejaksaan untuk dibawa ke LP Banda Aceh di Lambaro, Aceh
Besar. Rabu (11/9). FOTO/HUMAS KEJATI
* Termasuk Syahrul Amri
* Dititip di LP Banda Aceh
BANDA ACEH - Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi SPd alias Zul Namploh dan Ir Syahrul Amri (staf Disdik Aceh) akhirnya resmi ditahan tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (12/9).
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil senilai Rp 20,1 miliar bersumber APBA Tahun 2009. Kemarin, mereka dititipkan jaksa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh yang terletak di kawasan Lambaro, Aceh Besar.
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH kepada Serambi kemarin mengakui bahwa kedua tersangka kasus proyek pembangunan rumah guru terpencil itu telah ditahan tim jaksa penyidik. “Benar, Zul Namploh dan Syahrul sudah ditahan,” katanya.
Penahanan kedua tersangka didasarkan pada Pasal 21 KUHAPidana, karena tim penyidik khawatir tersangka akan mengulangi lagi perbuatan pidana. “Yang pasti, tim jaksa penyidik memiliki cukup alasan untuk menahan tersangka. Pemeriksaan tadi (kemarin-red) sebenarnya untuk pendalaman,” kata Amir Hamzah.
Menurut Amir Hamzah, kedua tersangka dipanggil tim jaksa penyidik untuk hadir ke Gedung Kejati Aceh pukul 09.00 WIB guna menjalani pemeriksaan lanjutan. Syahrul Amri selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek rumah guru terpencil itu hadir di Kejati mengenakan kemeja kotak-kotak sekitar pukul 09.00, kemudian disusul Zul Namploh pukul 09.30 WIB.
Zul Namploh selaku Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus proyek tersebut hadir di Kejati kemarin, tidak lagi didampingi tim pengacara dari Kantor Advokat Zaini Djalil SH, tapi sudah diganti dengan pengacara baru, yaitu Achmad Benyamin Daniel SH (dari Jakarta) dan Jamalul Kamal Farza SH (Banda Aceh). Sedangkan Syahrul masih didampingi pengacara lama dari Kantor SBSS Law Firm yaitu, M Nasir SHI.
Pemeriksaan kedua tersangka berlangsung dalam ruang terpisah di lantai I Gedung Kejati Aceh pada ruang Satuan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Satsus Tipikor). Seusai menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam, tim jaksa penyidik mendadak menggelar rapat di sebuah ruang khusus yang berlangsung sekitar 20 menit.
Dalam rapat tersebut tim jaksa penyidik akhirnya berkesimpulan untuk mengajukan penahanan bagi kedua tersangka dengan alasan takut mengulangi lagi perbuatan yang sama.
Permohonan tim penyidik untuk menahan tersangka mendapat respons potisif dari pejabat tinggi di Kejati yang langsung mengeluarkan surat resmi perintah penahanan sekitar pukul 12.40 WIB kemarin.
Setelah surat itu turun, tim penyidik langsung mengarahkan kedua tersangka untuk diperiksa kesehatannya di ruang Klinik Kejati Aceh sekitar pukul 13.30 WIB. “Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter, kedua tersangka dinyatakan sehat,” katanya.
Sekitar pukul 14.45 WIB, Zul dan Syahrul dibawa ke mobil tahanan kejaksaan yang standby di pelataran parkir bagian belakang Gedung Kejati. Pengamanan untuk membawa kedua tersangka ke penjara langsung dikendalikan oleh Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Ravik SH.
Menggunakan satu mobil tahanan dan tiga mobil pengiring untuk pengamanan tertutup, konvoi mobil pembawa dua tersangka ke LP Banda Aceh di kawasan Lambaro yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari Kantor Kajati Aceh itu berjalan lancar dan aman. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, mereka tiba di LP Banda Aceh.
Dengan gerak cepat, tim jaksa penyidik yang terdiri atas Mukhlis, Ramadiagus, Boby Sandri, dan Ibnu Sakdan menyerahkan tersangka kepada petugas LP. Kedua tersangka merupakan tahanan dengan status titipan jaksa.
Seperti diketahui, kasus proyek rumah guru terpencil yang tersebar di 18 kabupaten/kota menggunakan dana APBA 2009 senilai Rp 20,1 miliar itu mencuat ke permukaan awal 2011. Kemudian Kejati mengsut dengan gerak cepat, sehingga akhir 2011 kasus itu sudah mulai ditemukan bukti kuat, kemudian ditingkatkan statusnya ke penyidik dengan menetapkan dua orang tersangka, Zul Namploh dan Syahrul Amri.(sup)
* Dititip di LP Banda Aceh
BANDA ACEH - Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi SPd alias Zul Namploh dan Ir Syahrul Amri (staf Disdik Aceh) akhirnya resmi ditahan tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (12/9).
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil senilai Rp 20,1 miliar bersumber APBA Tahun 2009. Kemarin, mereka dititipkan jaksa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh yang terletak di kawasan Lambaro, Aceh Besar.
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH kepada Serambi kemarin mengakui bahwa kedua tersangka kasus proyek pembangunan rumah guru terpencil itu telah ditahan tim jaksa penyidik. “Benar, Zul Namploh dan Syahrul sudah ditahan,” katanya.
Penahanan kedua tersangka didasarkan pada Pasal 21 KUHAPidana, karena tim penyidik khawatir tersangka akan mengulangi lagi perbuatan pidana. “Yang pasti, tim jaksa penyidik memiliki cukup alasan untuk menahan tersangka. Pemeriksaan tadi (kemarin-red) sebenarnya untuk pendalaman,” kata Amir Hamzah.
Menurut Amir Hamzah, kedua tersangka dipanggil tim jaksa penyidik untuk hadir ke Gedung Kejati Aceh pukul 09.00 WIB guna menjalani pemeriksaan lanjutan. Syahrul Amri selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek rumah guru terpencil itu hadir di Kejati mengenakan kemeja kotak-kotak sekitar pukul 09.00, kemudian disusul Zul Namploh pukul 09.30 WIB.
Zul Namploh selaku Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus proyek tersebut hadir di Kejati kemarin, tidak lagi didampingi tim pengacara dari Kantor Advokat Zaini Djalil SH, tapi sudah diganti dengan pengacara baru, yaitu Achmad Benyamin Daniel SH (dari Jakarta) dan Jamalul Kamal Farza SH (Banda Aceh). Sedangkan Syahrul masih didampingi pengacara lama dari Kantor SBSS Law Firm yaitu, M Nasir SHI.
Pemeriksaan kedua tersangka berlangsung dalam ruang terpisah di lantai I Gedung Kejati Aceh pada ruang Satuan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Satsus Tipikor). Seusai menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam, tim jaksa penyidik mendadak menggelar rapat di sebuah ruang khusus yang berlangsung sekitar 20 menit.
Dalam rapat tersebut tim jaksa penyidik akhirnya berkesimpulan untuk mengajukan penahanan bagi kedua tersangka dengan alasan takut mengulangi lagi perbuatan yang sama.
Permohonan tim penyidik untuk menahan tersangka mendapat respons potisif dari pejabat tinggi di Kejati yang langsung mengeluarkan surat resmi perintah penahanan sekitar pukul 12.40 WIB kemarin.
Setelah surat itu turun, tim penyidik langsung mengarahkan kedua tersangka untuk diperiksa kesehatannya di ruang Klinik Kejati Aceh sekitar pukul 13.30 WIB. “Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter, kedua tersangka dinyatakan sehat,” katanya.
Sekitar pukul 14.45 WIB, Zul dan Syahrul dibawa ke mobil tahanan kejaksaan yang standby di pelataran parkir bagian belakang Gedung Kejati. Pengamanan untuk membawa kedua tersangka ke penjara langsung dikendalikan oleh Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Ravik SH.
Menggunakan satu mobil tahanan dan tiga mobil pengiring untuk pengamanan tertutup, konvoi mobil pembawa dua tersangka ke LP Banda Aceh di kawasan Lambaro yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari Kantor Kajati Aceh itu berjalan lancar dan aman. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, mereka tiba di LP Banda Aceh.
Dengan gerak cepat, tim jaksa penyidik yang terdiri atas Mukhlis, Ramadiagus, Boby Sandri, dan Ibnu Sakdan menyerahkan tersangka kepada petugas LP. Kedua tersangka merupakan tahanan dengan status titipan jaksa.
Seperti diketahui, kasus proyek rumah guru terpencil yang tersebar di 18 kabupaten/kota menggunakan dana APBA 2009 senilai Rp 20,1 miliar itu mencuat ke permukaan awal 2011. Kemudian Kejati mengsut dengan gerak cepat, sehingga akhir 2011 kasus itu sudah mulai ditemukan bukti kuat, kemudian ditingkatkan statusnya ke penyidik dengan menetapkan dua orang tersangka, Zul Namploh dan Syahrul Amri.(sup)
Editor : bakri
Saksi Terancam SMS Zul Namploh
Kamis, 13 September 2012 10:37 WIB
Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh dan
Ir Syahrul (staf Dinas Pendidikan Aceh/PPTK) saat hendak dinaikan ke
mobil tahanan kejaksaan untuk dibawa ke LP Banda Aceh di Lambaro, Aceh
Besar. Rabu (11/9). FOTO/HUMAS KEJATI
* Termasuk Syahrul Amri
* Dititip di LP Banda Aceh
BANDA ACEH - Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi SPd alias Zul Namploh dan Ir Syahrul Amri (staf Disdik Aceh) akhirnya resmi ditahan tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (12/9).
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil senilai Rp 20,1 miliar bersumber APBA Tahun 2009. Kemarin, mereka dititipkan jaksa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh yang terletak di kawasan Lambaro, Aceh Besar.
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH kepada Serambi kemarin mengakui bahwa kedua tersangka kasus proyek pembangunan rumah guru terpencil itu telah ditahan tim jaksa penyidik. “Benar, Zul Namploh dan Syahrul sudah ditahan,” katanya.
Penahanan kedua tersangka didasarkan pada Pasal 21 KUHAPidana, karena tim penyidik khawatir tersangka akan mengulangi lagi perbuatan pidana. “Yang pasti, tim jaksa penyidik memiliki cukup alasan untuk menahan tersangka. Pemeriksaan tadi (kemarin-red) sebenarnya untuk pendalaman,” kata Amir Hamzah.
Menurut Amir Hamzah, kedua tersangka dipanggil tim jaksa penyidik untuk hadir ke Gedung Kejati Aceh pukul 09.00 WIB guna menjalani pemeriksaan lanjutan. Syahrul Amri selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek rumah guru terpencil itu hadir di Kejati mengenakan kemeja kotak-kotak sekitar pukul 09.00, kemudian disusul Zul Namploh pukul 09.30 WIB.
Zul Namploh selaku Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus proyek tersebut hadir di Kejati kemarin, tidak lagi didampingi tim pengacara dari Kantor Advokat Zaini Djalil SH, tapi sudah diganti dengan pengacara baru, yaitu Achmad Benyamin Daniel SH (dari Jakarta) dan Jamalul Kamal Farza SH (Banda Aceh). Sedangkan Syahrul masih didampingi pengacara lama dari Kantor SBSS Law Firm yaitu, M Nasir SHI.
Pemeriksaan kedua tersangka berlangsung dalam ruang terpisah di lantai I Gedung Kejati Aceh pada ruang Satuan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Satsus Tipikor). Seusai menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam, tim jaksa penyidik mendadak menggelar rapat di sebuah ruang khusus yang berlangsung sekitar 20 menit.
Dalam rapat tersebut tim jaksa penyidik akhirnya berkesimpulan untuk mengajukan penahanan bagi kedua tersangka dengan alasan takut mengulangi lagi perbuatan yang sama.
Permohonan tim penyidik untuk menahan tersangka mendapat respons potisif dari pejabat tinggi di Kejati yang langsung mengeluarkan surat resmi perintah penahanan sekitar pukul 12.40 WIB kemarin.
Setelah surat itu turun, tim penyidik langsung mengarahkan kedua tersangka untuk diperiksa kesehatannya di ruang Klinik Kejati Aceh sekitar pukul 13.30 WIB. “Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter, kedua tersangka dinyatakan sehat,” katanya.
Sekitar pukul 14.45 WIB, Zul dan Syahrul dibawa ke mobil tahanan kejaksaan yang standby di pelataran parkir bagian belakang Gedung Kejati. Pengamanan untuk membawa kedua tersangka ke penjara langsung dikendalikan oleh Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Ravik SH.
Menggunakan satu mobil tahanan dan tiga mobil pengiring untuk pengamanan tertutup, konvoi mobil pembawa dua tersangka ke LP Banda Aceh di kawasan Lambaro yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari Kantor Kajati Aceh itu berjalan lancar dan aman. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, mereka tiba di LP Banda Aceh.
Dengan gerak cepat, tim jaksa penyidik yang terdiri atas Mukhlis, Ramadiagus, Boby Sandri, dan Ibnu Sakdan menyerahkan tersangka kepada petugas LP. Kedua tersangka merupakan tahanan dengan status titipan jaksa.
Seperti diketahui, kasus proyek rumah guru terpencil yang tersebar di 18 kabupaten/kota menggunakan dana APBA 2009 senilai Rp 20,1 miliar itu mencuat ke permukaan awal 2011. Kemudian Kejati mengsut dengan gerak cepat, sehingga akhir 2011 kasus itu sudah mulai ditemukan bukti kuat, kemudian ditingkatkan statusnya ke penyidik dengan menetapkan dua orang tersangka, Zul Namploh dan Syahrul Amri.(sup)
* Dititip di LP Banda Aceh
BANDA ACEH - Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi SPd alias Zul Namploh dan Ir Syahrul Amri (staf Disdik Aceh) akhirnya resmi ditahan tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (12/9).
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil senilai Rp 20,1 miliar bersumber APBA Tahun 2009. Kemarin, mereka dititipkan jaksa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh yang terletak di kawasan Lambaro, Aceh Besar.
Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH kepada Serambi kemarin mengakui bahwa kedua tersangka kasus proyek pembangunan rumah guru terpencil itu telah ditahan tim jaksa penyidik. “Benar, Zul Namploh dan Syahrul sudah ditahan,” katanya.
Penahanan kedua tersangka didasarkan pada Pasal 21 KUHAPidana, karena tim penyidik khawatir tersangka akan mengulangi lagi perbuatan pidana. “Yang pasti, tim jaksa penyidik memiliki cukup alasan untuk menahan tersangka. Pemeriksaan tadi (kemarin-red) sebenarnya untuk pendalaman,” kata Amir Hamzah.
Menurut Amir Hamzah, kedua tersangka dipanggil tim jaksa penyidik untuk hadir ke Gedung Kejati Aceh pukul 09.00 WIB guna menjalani pemeriksaan lanjutan. Syahrul Amri selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek rumah guru terpencil itu hadir di Kejati mengenakan kemeja kotak-kotak sekitar pukul 09.00, kemudian disusul Zul Namploh pukul 09.30 WIB.
Zul Namploh selaku Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus proyek tersebut hadir di Kejati kemarin, tidak lagi didampingi tim pengacara dari Kantor Advokat Zaini Djalil SH, tapi sudah diganti dengan pengacara baru, yaitu Achmad Benyamin Daniel SH (dari Jakarta) dan Jamalul Kamal Farza SH (Banda Aceh). Sedangkan Syahrul masih didampingi pengacara lama dari Kantor SBSS Law Firm yaitu, M Nasir SHI.
Pemeriksaan kedua tersangka berlangsung dalam ruang terpisah di lantai I Gedung Kejati Aceh pada ruang Satuan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Satsus Tipikor). Seusai menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam, tim jaksa penyidik mendadak menggelar rapat di sebuah ruang khusus yang berlangsung sekitar 20 menit.
Dalam rapat tersebut tim jaksa penyidik akhirnya berkesimpulan untuk mengajukan penahanan bagi kedua tersangka dengan alasan takut mengulangi lagi perbuatan yang sama.
Permohonan tim penyidik untuk menahan tersangka mendapat respons potisif dari pejabat tinggi di Kejati yang langsung mengeluarkan surat resmi perintah penahanan sekitar pukul 12.40 WIB kemarin.
Setelah surat itu turun, tim penyidik langsung mengarahkan kedua tersangka untuk diperiksa kesehatannya di ruang Klinik Kejati Aceh sekitar pukul 13.30 WIB. “Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter, kedua tersangka dinyatakan sehat,” katanya.
Sekitar pukul 14.45 WIB, Zul dan Syahrul dibawa ke mobil tahanan kejaksaan yang standby di pelataran parkir bagian belakang Gedung Kejati. Pengamanan untuk membawa kedua tersangka ke penjara langsung dikendalikan oleh Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Ravik SH.
Menggunakan satu mobil tahanan dan tiga mobil pengiring untuk pengamanan tertutup, konvoi mobil pembawa dua tersangka ke LP Banda Aceh di kawasan Lambaro yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari Kantor Kajati Aceh itu berjalan lancar dan aman. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, mereka tiba di LP Banda Aceh.
Dengan gerak cepat, tim jaksa penyidik yang terdiri atas Mukhlis, Ramadiagus, Boby Sandri, dan Ibnu Sakdan menyerahkan tersangka kepada petugas LP. Kedua tersangka merupakan tahanan dengan status titipan jaksa.
Seperti diketahui, kasus proyek rumah guru terpencil yang tersebar di 18 kabupaten/kota menggunakan dana APBA 2009 senilai Rp 20,1 miliar itu mencuat ke permukaan awal 2011. Kemudian Kejati mengsut dengan gerak cepat, sehingga akhir 2011 kasus itu sudah mulai ditemukan bukti kuat, kemudian ditingkatkan statusnya ke penyidik dengan menetapkan dua orang tersangka, Zul Namploh dan Syahrul Amri.(sup)
Editor : bakri
PPTK Dituding Perintah Fiktifkan Rumah Guru
Rabu, 28 November 2012 14:19 WIB
* Sidang Dugaan Korupsi Pembangunan Rumah Guru
BANDA ACEH - Jamaluddin (38), Konsultan Pengawas pembangunan rumah guru terpencil antara lain di Aceh Barat dan Singkil menuding Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek itu, Ir Syahrul Amri yang menyuruhnya memfiktifkan proyek tersebut dengan membuat laporan telah rampung 100 persen, padahal belum. Bahkan satu rumah di Aceh Barat belum dibangun sama sekali. Namun terdakwa Syahrul membantah tudingan tersebut.
Jamaluddin mengungkapkan hal itu saat dirinya diperiksa sebagai seorang dari sembilan saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh kemarin dalam perkara dugaan korupsi pembangunan rumah guru terpencil di 17 kabupaten/kota di Aceh 2009 lalu. Terdakwa I perkara ini Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh Zulkifli Saidi alias Zul Namploh selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan terdakwa II Ir Syahrul (PPTK).
“Saya awalnya menyerahkan progress (laporan pembangunan pekerjaan-red) yang riil sesuai fakta di lapangan, ya termasuk pembangunan rumah guru di SDN Jawi, Kecamatan Woyla, Aceh Barat yang belum dikerjakan sama sekali. Tetapi PPTK meminta saya membuat progress sudah rampung 100 persen karena sudah akhir tahun untuk pencairan dana,” kata Jamaluddin.
Karena itu, menurutnya ia juga membuat progress 100 persen terhadap pembangunan 10 unit rumah guru di Aceh Singkil, padahal belum rampung, bahkan ada tiga unit belum dikerjakan sama sekali. Namun, ketika hal ini sudah diketahui oleh Tim Inspektorat Aceh yang memeriksa proyek ini, Jamaluddin mengakui ia berinisiatif untuk patungan bersama kontraktor, PPTK, dan KPA sama-sama merampungkan rumah itu.
Usai pemeriksaan saksi Jamaluddin termasuk oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Helmi SH dan Mairia Evita Ayu SH, pengacara Zul Namploh Ahmad Benyamin SH dan Kamal Farza SH, serta pengacara Ir Syahrul bernama Syamsul Rizal SH, hakim Ketua Taswir MH didampingi hakim anggota Abu Hanifah MH dan Syaiful Has‘ari SH mempersilakan kedua terdakwa menanggapi keterangan Jamaluddin.
Terdakwa Zul Namploh mengatakan dirinya baru mengetahui proyek itu belum rampung, bahkan ada yang belum dibangun sama sekali, tetapi sudah dibayar penuh setelah adanya temuan Inspektorat. Sedangkan sebelumnya hanya menerima laporan Konsultan Pengawas. “Sedangkan pembangunan kembali secara patungan bukan inisiatif konsultan pengawas, tetapi berdasarkan perintah saya yang menyurati mereka,” bantah Zul Namploh.
Adapun terdakwa Syahrul juga membantah dirinya memerintahkan Jamaluddin membuat progress 100 persen, padahal pembangunan belum rampung. “Ketika itu, Jamaluddin menjumpai saya. Karena belum rampung, saya suruh jumpai KPA,” jawab Syahrul. Ketika hakim mengkonfrontir hal ini lagi ke saksi Jamaluddin, ia mengakui tak tahu lagi.
Selain Jamaluddin, ada delapan saksi lainnya diperiksa kemarin, termasuk Ir Munar yang juga adik kandung Ir Syahrul ini adalah Konsultan Pengawas proyek ini untuk Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, dan Bireuen. Inti keterangannya, ia menadatangani berita acara pengawasan proyek ini, padahal tidak turun ke lapangan, melainkan hanya menerima laporan bawahannya. Hingga malam tadi, pemeriksaan terhadap para saksi masih berlangsung. Proyek APBA 2009 dengan pagu Rp 20 miliar lebih ini terjadi kerugian negara hampir Rp 1,5 miliar sesuai surat Inspektur Aceh, 12 September 2012. Sedangkan nilai kontrak untuk satu rumah antara Rp 70-90 Juta.(sal)
BANDA ACEH - Jamaluddin (38), Konsultan Pengawas pembangunan rumah guru terpencil antara lain di Aceh Barat dan Singkil menuding Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek itu, Ir Syahrul Amri yang menyuruhnya memfiktifkan proyek tersebut dengan membuat laporan telah rampung 100 persen, padahal belum. Bahkan satu rumah di Aceh Barat belum dibangun sama sekali. Namun terdakwa Syahrul membantah tudingan tersebut.
Jamaluddin mengungkapkan hal itu saat dirinya diperiksa sebagai seorang dari sembilan saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh kemarin dalam perkara dugaan korupsi pembangunan rumah guru terpencil di 17 kabupaten/kota di Aceh 2009 lalu. Terdakwa I perkara ini Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh Zulkifli Saidi alias Zul Namploh selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan terdakwa II Ir Syahrul (PPTK).
“Saya awalnya menyerahkan progress (laporan pembangunan pekerjaan-red) yang riil sesuai fakta di lapangan, ya termasuk pembangunan rumah guru di SDN Jawi, Kecamatan Woyla, Aceh Barat yang belum dikerjakan sama sekali. Tetapi PPTK meminta saya membuat progress sudah rampung 100 persen karena sudah akhir tahun untuk pencairan dana,” kata Jamaluddin.
Karena itu, menurutnya ia juga membuat progress 100 persen terhadap pembangunan 10 unit rumah guru di Aceh Singkil, padahal belum rampung, bahkan ada tiga unit belum dikerjakan sama sekali. Namun, ketika hal ini sudah diketahui oleh Tim Inspektorat Aceh yang memeriksa proyek ini, Jamaluddin mengakui ia berinisiatif untuk patungan bersama kontraktor, PPTK, dan KPA sama-sama merampungkan rumah itu.
Usai pemeriksaan saksi Jamaluddin termasuk oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Helmi SH dan Mairia Evita Ayu SH, pengacara Zul Namploh Ahmad Benyamin SH dan Kamal Farza SH, serta pengacara Ir Syahrul bernama Syamsul Rizal SH, hakim Ketua Taswir MH didampingi hakim anggota Abu Hanifah MH dan Syaiful Has‘ari SH mempersilakan kedua terdakwa menanggapi keterangan Jamaluddin.
Terdakwa Zul Namploh mengatakan dirinya baru mengetahui proyek itu belum rampung, bahkan ada yang belum dibangun sama sekali, tetapi sudah dibayar penuh setelah adanya temuan Inspektorat. Sedangkan sebelumnya hanya menerima laporan Konsultan Pengawas. “Sedangkan pembangunan kembali secara patungan bukan inisiatif konsultan pengawas, tetapi berdasarkan perintah saya yang menyurati mereka,” bantah Zul Namploh.
Adapun terdakwa Syahrul juga membantah dirinya memerintahkan Jamaluddin membuat progress 100 persen, padahal pembangunan belum rampung. “Ketika itu, Jamaluddin menjumpai saya. Karena belum rampung, saya suruh jumpai KPA,” jawab Syahrul. Ketika hakim mengkonfrontir hal ini lagi ke saksi Jamaluddin, ia mengakui tak tahu lagi.
Selain Jamaluddin, ada delapan saksi lainnya diperiksa kemarin, termasuk Ir Munar yang juga adik kandung Ir Syahrul ini adalah Konsultan Pengawas proyek ini untuk Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, dan Bireuen. Inti keterangannya, ia menadatangani berita acara pengawasan proyek ini, padahal tidak turun ke lapangan, melainkan hanya menerima laporan bawahannya. Hingga malam tadi, pemeriksaan terhadap para saksi masih berlangsung. Proyek APBA 2009 dengan pagu Rp 20 miliar lebih ini terjadi kerugian negara hampir Rp 1,5 miliar sesuai surat Inspektur Aceh, 12 September 2012. Sedangkan nilai kontrak untuk satu rumah antara Rp 70-90 Juta.(sal)
Editor : bakri
SuAK: Tahan Sekretaris Disdik Aceh
Kamis, 6 September 2012 12:04 WIB
BANDA ACEH - Lembaga Swadaya
Masyarakat Solidaritas untuk Anti Korupsi Aceh (SuAK) mendesak pihak
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menahan Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh,
Zulkifli Saidi (Zul Namploh) yang diduga sebagai tersangka korupsi
proyek pembangunan rumah dinas guru fiktif.
Koordinator Badan Pekerja SuAK Aceh, Teuku Neta Firdaus dalam rilis yang dikirim ke Serambi, Rabu (5/9) menilai, Kajati terkesan mengulur-ulur waktu melakukan penahanan dan terkesan memberikan perlakuan khusus bagi para tersangka dalam kasus tersebut. Sementara dalam beberapa kasus lain kejaksaan cepat-cepat menahan tersangka.
“Jika mendengar alasan cukup banyak alasan yang dibuat-buat. Jika tersangka warga lemah cukup kuat alasan hukum yang dikemukakan. Jika begitu kenyataannya, mengisyaratkan Kejati Aceh masih tebang pilih dan diskrimatif. Sikap aparat hukum seperti itu sangat melukai rasa keadilan masyarakat,” ujar Neta.
SuAK membandingkan beberapa kasus yang tersangkanya ditahan seperti, kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) RSUD Tamiang tahun 2010 senilai Rp 8,8 miliar. Dalam kasus itu, kelima tersangka ditahan dalam waktu yang sangat singkat.
Menurut Neta Firdaus, kedua tersangka yang sudah ditetapkan Kejati dalam kasus rumah fiktif guru adalah Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, Drs Zulkifli Saidi SPd. Proyek yang dibiayai APBA tahun anggaran 2009 di 18 kabupaten/kota ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan, seperti rumah yang tidak dikerjakan atau fiktif dan proyek tidak diselesaikan namun anggarannya sudah ditarik 100 persen, ujar Neta.
Seperti diberitakan, Serambi (24/5), Kejati Aceh menetapkan Zulkifli Saidi SPd alias Zul Namploh sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil fiktif senilai Rp 20,1 miliar lebih.
Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) itu ditetapkan sebagai tersangka setelah melalui proses penyidikan panjang dan gelar perkara yang berlangsung alot di aula khusus Gedung Kejati Aceh, Rabu (23/5). (rel/swa)
Tanggapan Kejati
Koordinator Badan Pekerja SuAK Aceh, Teuku Neta Firdaus dalam rilis yang dikirim ke Serambi, Rabu (5/9) menilai, Kajati terkesan mengulur-ulur waktu melakukan penahanan dan terkesan memberikan perlakuan khusus bagi para tersangka dalam kasus tersebut. Sementara dalam beberapa kasus lain kejaksaan cepat-cepat menahan tersangka.
“Jika mendengar alasan cukup banyak alasan yang dibuat-buat. Jika tersangka warga lemah cukup kuat alasan hukum yang dikemukakan. Jika begitu kenyataannya, mengisyaratkan Kejati Aceh masih tebang pilih dan diskrimatif. Sikap aparat hukum seperti itu sangat melukai rasa keadilan masyarakat,” ujar Neta.
SuAK membandingkan beberapa kasus yang tersangkanya ditahan seperti, kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) RSUD Tamiang tahun 2010 senilai Rp 8,8 miliar. Dalam kasus itu, kelima tersangka ditahan dalam waktu yang sangat singkat.
Menurut Neta Firdaus, kedua tersangka yang sudah ditetapkan Kejati dalam kasus rumah fiktif guru adalah Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, Drs Zulkifli Saidi SPd. Proyek yang dibiayai APBA tahun anggaran 2009 di 18 kabupaten/kota ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan, seperti rumah yang tidak dikerjakan atau fiktif dan proyek tidak diselesaikan namun anggarannya sudah ditarik 100 persen, ujar Neta.
Seperti diberitakan, Serambi (24/5), Kejati Aceh menetapkan Zulkifli Saidi SPd alias Zul Namploh sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah guru terpencil fiktif senilai Rp 20,1 miliar lebih.
Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) itu ditetapkan sebagai tersangka setelah melalui proses penyidikan panjang dan gelar perkara yang berlangsung alot di aula khusus Gedung Kejati Aceh, Rabu (23/5). (rel/swa)
Tanggapan Kejati
UNTUK menentukan tersangka ditahan atau tidak ditahan penyidik punya pertimbangan tersendiri. Masalah pemberkasan masih berjalan dan masih dalam proses. Kalau LSM mendesak agar tersangka ditahan, itu sah-sah saja dan hak mereka sebagai pengamat kebijakan publik. Kita bekerja semuanya ada prosedur, proses, kita harus menjunjung azas praduga tak bersalah. Selama ini penanganan perkara dimaksud tidak mengalami kendala dari tersangka. Untuk sementara itu dulu yang bisa disampaikan.
Kasus ini sudah selesai pemeriksaan, tinggal kita masuk dalam pemberkasan dan ada hal-hal yang perlu disempurnakan. Untuk pemeriksaan saksi-saksi sudah dianggap cukup untuk sementara ini.
Kadis Pendidikan juga sudah lama diperiksa. Kalau ada kalimat diskiriminatif tidak bisa saya katakan diskiriminatif, sebab semuanya sudah dilakukan pemeriksaan, dan sabar saja menunggu proses. (swa)
* Amir Hamzah, Kasi Penkum Kejati Aceh.
Editor : bakri
Mencegah Korupsi Itu Sangat Mudah
Selasa, 29 Januari 2013 08:30 WIB
Oleh Mohammad Najib
Senang kita, ketika beberapa waktu lalu, membaca berita bahwa Gubernur Zaini Abdullah, Sekda Aceh, tujuh perwakilan SKPA, dan 23 Bupati/Wali Kota se-Aceh telah mencanangkan Aceh sebagai daerah (zona) bebas (tanpa) korupsi dan mewujudkan birokrasi bersih dan baik dalam melayani masyarakat. Proses pencanangan tersebut berlangsung dihadapan Menteri Pemberdayaan Aparatur Pemerintah dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Azwar Abubakar, di Banda Aceh.
Paling tidak, penandatanganan Pakta Integritas tersebut menunjukkan komitmen yang kuat dari para pimpinan daerah untuk melakukan pencegahan, sekaligus pemberantasan terhadap perampokan uang rakyat oleh pengawai pemerintah yang kerap terjadi di provinsi ini. Dengan ditandatangani pakta tersebut, maka pemerintah daerah wajib menerapkan program pencegahan korupsi yang terdiri dari 20 kegiatan, seperti penerapan disiplin PNS, penerapan kebijakan pelayanan publik, pengendalian gratifikasi, dan lain-lain. Pemerintah pusat dan masyarakat kemudian akan menilai keberhasilan dari pelaksanaan sejumlah kegiatan pencegahan korupsi yang telah dilakukan. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Permenpan dan RB Nomor 60 Tahun 2012.
Aceh semakin korup
Senang kita, ketika beberapa waktu lalu, membaca berita bahwa Gubernur Zaini Abdullah, Sekda Aceh, tujuh perwakilan SKPA, dan 23 Bupati/Wali Kota se-Aceh telah mencanangkan Aceh sebagai daerah (zona) bebas (tanpa) korupsi dan mewujudkan birokrasi bersih dan baik dalam melayani masyarakat. Proses pencanangan tersebut berlangsung dihadapan Menteri Pemberdayaan Aparatur Pemerintah dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Azwar Abubakar, di Banda Aceh.
Paling tidak, penandatanganan Pakta Integritas tersebut menunjukkan komitmen yang kuat dari para pimpinan daerah untuk melakukan pencegahan, sekaligus pemberantasan terhadap perampokan uang rakyat oleh pengawai pemerintah yang kerap terjadi di provinsi ini. Dengan ditandatangani pakta tersebut, maka pemerintah daerah wajib menerapkan program pencegahan korupsi yang terdiri dari 20 kegiatan, seperti penerapan disiplin PNS, penerapan kebijakan pelayanan publik, pengendalian gratifikasi, dan lain-lain. Pemerintah pusat dan masyarakat kemudian akan menilai keberhasilan dari pelaksanaan sejumlah kegiatan pencegahan korupsi yang telah dilakukan. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Permenpan dan RB Nomor 60 Tahun 2012.
Aceh semakin korup
Beberapa data yang bersumber dari sejumlah lembaga independen menunjukkan bahwa praktik korupsi yang terjadi di Aceh adalah suatu kenyataan sehingga menjadikan Aceh sebagai satu provinsi terkorup di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh GeRAK Aceh menyebutkan adanya potensi kerugian negara sebesar 1,7 triliun rupiah dari 122 kasus dugaan korupsi yang terjadi selama tahun 2011 saja.
Angka tersebut menempatkan Aceh ke dalam lima besar daerah penyumbang kerugian negara terbesar akibat korupsi di Indonesia. Hasil Survei ICW tak kalah mencengangkan. Dalam peringkat provinsi terkorup di Indonesia, posisi Aceh di urutan ke-4 pada 2010, di urutan ke-3 pada 2011, dan di urutan ke-2 pada 2012. Upaya konkret harus segera dilakukan bila kita tidak menginginkan Aceh menempati urutan pertama di tahun 2013 ini.
Hanya memiliki komitmen untuk mencegah korupsi sangatlah tidak cukup. Data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan sampai saat ini, sebanyak 281 Kepala Daerah terjerat masalah hukum, dari menjadi tersangka, terdakwa, saksi sampai dengan terpidana. Lebih 70% dari 281 Kepala Daerah tersebut terjerat pidana korupsi.
Sangat mungkin terjadi, sejumlah Kepala Daerah tersebut telah juga menandatangani Pakta Integritas dan bahkan sering mengkampanyekan seruan anti korupsi dalam pidato dan sambutannya. Namun, akhirnya mereka tak kuasa membendung nafsu untuk merampok uang rakyat. Sebagian lagi, mungkin tidak tahu bagaimana melakukan upaya pencegahan korupsi di wilayah yang mereka pimpin.
Kiat mencegah korupsi
Hakikatnya, mencegah korupsi itu sangat mudah, bila kita memulai dari yang kecil dan sederhana. Pencegahan korupsi bisa murah, bahkan bisa gratis. Tidak membutuhkan peta jalan (road map) apalagi seperangkat regulasi yang membutuhkan waktu untuk menyusunnya. Mencegah korupsi pun tidak perlu bantuan tenaga ahli, apalagi sampai meminta dukungan lembaga donor internasional. Syaratnya hanya dua, yaitu memiliki kemauan yang kuat dan segera dilakukan.
Berikut disampaikan sejumlah kiat-kiat tentang pencegahan korupsi yang dirangkum dari pengalaman-pengalaman berbagai daerah. Sejumlah kiat ini diperuntukkan bukan hanya bagi kepala daerah, tetapi siapa saja yang saat ini menjabat di lembaga yang menerima dana publik, seperti staf puskesmas, kepala sekolah, kepala bagian di dinas, anggota DPR atau bahkan sekretaris desa. Kiat-kiat ini juga dapat langsung diterapkan, setelah Anda membaca tulisan ini.
Sejumlah kiat untuk mencegah korupsi adalah: Pertama, umumkan. Umumkan apa saja yang menurut Anda perlu diketahui oleh publik. Anda bisa mengumumkan naskah pidato, resume rapat, anggaran yang diterima untuk lembaga Anda, regulasi yang Anda tandatangani, alur dan prosedur kerja yang berlaku, dan bahkan kinerja atau prestasi kerja Anda sendiri. Bila Anda tidak memiliki dana, saat ini banyak sarana yang dapat dimanfaatkan untuk mengumumkan kepada publik secara cuma-cuma.
Contohnya Facebook (FB) atau media sosial lainnya. Anda pun bisa juga mengumumkan proses rapat kerja di instansi Anda melalui youtube, seperti yang dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI. Di mana-mana, korupsi bermula dari ketertutupan. Membuka akses informasi jauh lebih sedikit mudharatnya ketimbang menutupnya.
Kedua, sederhanakan. Sederhanakan segala hal yang memiliki keterkaitan dengan publik, seperti syarat dan prosedur. Mengurus beasiswa miskin seharusnya bisa lebih mudah dengan syarat yang tidak perlu bermacam-macam. Mengurus IMB bisa lebih dipercepat bila prosedurnya mudah. Bila Anda yakin saat ini syarat dan prosedur pelayanan yang Anda tangani sudah sederhana, sebaiknya Anda mencari akal kembali untuk lebih menyerdahanakan. Dengan syarat dan prosedur yang berbelit-belit pasti membuka peluang untuk dimanfaatkan oleh para koruptor.
Ketiga, pastikan. Pastikan bahwa barang/jasa yang diterima oleh pengguna pelayanan sesuai dengan harapannya. Pastikan bahwa waktu pelayanan atau jam kerja sesuai yang ditetapkan. Pastikan bahwa biaya yang dikenakan tidak melebihi apa yang disyaratkan. Pastikan bahwa Anda melakukan sesuatu seperti yang Anda janjikan dan rencanakan. Korupsi sering terjadi karena ketidakpastian. Para koruptor bermain memanfaatkan celah-celah yang tak pasti, abu-abu. Dengan adanya kepastian, maka peluang korupsi dapat dicegah seminim mungkin.
Dan, keempat, transferkan pembayaran melalui bank. Meskipun sudah banyak bank berdiri di hampir setiap kecamatan, tetap saja sejumlah pembayaran urusan pelayanan dan administrasi masih dilakukan secara langsung (hand-carry). Pembayaran gaji guru honorer, pelunasan biaya perijinan atau bahkan pembayaran kepada penyedia jasa seharusnya bisa dilakukan melalui transfer di bank. Meminimalisir transaksi secara langsung akan mengurangi peluang untuk terjadinya korupsi.
Di luar kebiasaan
Keempat kiat tersebut sebaiknya dilakukan secara serentak. Namun bila tidak mampu, dapat dilakukan secara bertahap. Kuncinya adalah lakukan dengan sesegera mungkin. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencegah Anda dalam melakukan upaya pencegahan korupsi yang lebih massif dan sistematis.
Hal itu tetap dibutuhkan, namun kiat-kiat di atas lebih diperuntukkan bagi pembuktian atas tindak lanjut dari pakta integritas yang telah ditandatangani atau upaya untuk segera keluar dari jeratan korupsi.
Pemerintah daerah di Aceh harus melakukan upaya di luar kebiasaan, bila kita tidak ingin membaca berita di harian ini beberapa bulan mendatang tentang Aceh menempati urutan pertama sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Naudzubillah mindzaliq.
* Mohammad Najib, Pengamat Pelayanan Publik, tinggal di Banda Aceh. Email: najib@logica.or.id
Editor : bakri
Jaksa Tuntut Zul Namploh 8 Tahun
Rabu, 30 Januari 2013 10:54 WIB
* Syahrul Amri 7,5 Tahun
BANDA ACEH - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Aceh dan Kejari Banda Aceh menuntut Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (50) delapan tahun penjara, denda Rp 500 juta atau bisa diganti kurungan tambahan (subsider) tiga bulan kurungan. Selain itu, dibebankan membayar uang pengganti sesuai sisa jumlah kerugian negara, yaitu Rp 1 miliar lebih.
JPU dalam tuntutannya pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN)/Tipikor Banda Aceh, Selasa (29/1), menilai terdakwa I Zul, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek pembangunan rumah dinas guru terpencil di 18 kabupaten/kota di Aceh terlibat korupsi dalam proyek tersebut. Begitu juga terdakwa II, Ir Syahrul Amri (56) selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam proyek itu.
Namun, tuntutan terhadap Syahrul lebih rendah, yakni 7,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan, tanpa dituntut membayar uang pengganti. Awalnya, JPU Helmi Aziz SH, Iqbal SH, dan Endy SH membacakan requistor tuntutan ratusan halaman itu secara bergiliran.
Intinya, fakta hukum terungkap, kedua terdakwa sesuai peran masing-masing mengetahui bahwa proyek itu hampir di semua kabupaten/kota belum rampung 100 persen. Namun, keduanya menyetujui berita acara pemeriksaan barang yang sebetulnya tidak diperiksa panitia, melainkan para kontraktor/konsultan pengawas selaku rekanan hanya menyerahkan dokumen seakan-akan pembangunan itu sudah sepenuhnya rampung.
Terdakwa Zul selaku KPA juga menandatangani surat perintah membayar (SPM), sehingga proyek itu terbayar 100 persen, padahal belum rampung.
Bahkan enam rumah, yaitu tiga di Singkil dan masing-masing satu rumah di Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Simeulue tidak dibangun sama sekali. Total kerugian proyek APBA 2009 dengan pagu Rp 20 miliar lebih ini hampir Rp 1,5 miliar. Hal ini sesuai surat Inspektur Aceh 12 September 2012, namun jaksa telah menyita kerugian negara dari rekanan Rp 356.537.700, termasuk pengembalian kerugian dari rumah tak dibangun di empat kabupaten itu.
Adapun kontraktor, konsultan pengawas, dan panitia pemeriksa barang belum dijadikan terdakwa. Helmi justru mengutip keterangan ahli hukum pidana yang dihadirkan pengacara terdakwa, yaitu Dr Chairul Huda SH MH. Menurutnya, kerugian negara tak terjadi jika tidak ada pembayaran 100 persen.
Kedua terdakwa tampak tersentak mendengar tuntutan jaksa, terutama Zul Namploh, karena selain dituntut delapan tahun juga dituntut membayar sisa kerugian negara Rp 1 miliar lebih. Jika tidak membayar apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita untuk dilelang sesuai jumlah itu. Bahkan, apabila tak cukup, Zul harus menjalani penjara tambahan empat tahun lagi.
Sidang tersebut dimulai sekitar pukul 12.00 WIB, berlangsung kira-kira 90 menit. Majelis hakim diketuai Taswir MH yang dibantu hakim anggota Abu Hanifah MH dan Syaiful SH memutuskan sidang lanjutan pada Rabu (6/2) dengan agenda pembelaan (pleidoi) terdakwa dan pengacara masing-masing.(sal)
BANDA ACEH - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Aceh dan Kejari Banda Aceh menuntut Sekretaris Dinas Pendidikan (Sekdisdik) Aceh, Zulkifli Saidi alias Zul Namploh (50) delapan tahun penjara, denda Rp 500 juta atau bisa diganti kurungan tambahan (subsider) tiga bulan kurungan. Selain itu, dibebankan membayar uang pengganti sesuai sisa jumlah kerugian negara, yaitu Rp 1 miliar lebih.
JPU dalam tuntutannya pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN)/Tipikor Banda Aceh, Selasa (29/1), menilai terdakwa I Zul, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek pembangunan rumah dinas guru terpencil di 18 kabupaten/kota di Aceh terlibat korupsi dalam proyek tersebut. Begitu juga terdakwa II, Ir Syahrul Amri (56) selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam proyek itu.
Namun, tuntutan terhadap Syahrul lebih rendah, yakni 7,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan, tanpa dituntut membayar uang pengganti. Awalnya, JPU Helmi Aziz SH, Iqbal SH, dan Endy SH membacakan requistor tuntutan ratusan halaman itu secara bergiliran.
Intinya, fakta hukum terungkap, kedua terdakwa sesuai peran masing-masing mengetahui bahwa proyek itu hampir di semua kabupaten/kota belum rampung 100 persen. Namun, keduanya menyetujui berita acara pemeriksaan barang yang sebetulnya tidak diperiksa panitia, melainkan para kontraktor/konsultan pengawas selaku rekanan hanya menyerahkan dokumen seakan-akan pembangunan itu sudah sepenuhnya rampung.
Terdakwa Zul selaku KPA juga menandatangani surat perintah membayar (SPM), sehingga proyek itu terbayar 100 persen, padahal belum rampung.
Bahkan enam rumah, yaitu tiga di Singkil dan masing-masing satu rumah di Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Simeulue tidak dibangun sama sekali. Total kerugian proyek APBA 2009 dengan pagu Rp 20 miliar lebih ini hampir Rp 1,5 miliar. Hal ini sesuai surat Inspektur Aceh 12 September 2012, namun jaksa telah menyita kerugian negara dari rekanan Rp 356.537.700, termasuk pengembalian kerugian dari rumah tak dibangun di empat kabupaten itu.
Adapun kontraktor, konsultan pengawas, dan panitia pemeriksa barang belum dijadikan terdakwa. Helmi justru mengutip keterangan ahli hukum pidana yang dihadirkan pengacara terdakwa, yaitu Dr Chairul Huda SH MH. Menurutnya, kerugian negara tak terjadi jika tidak ada pembayaran 100 persen.
Kedua terdakwa tampak tersentak mendengar tuntutan jaksa, terutama Zul Namploh, karena selain dituntut delapan tahun juga dituntut membayar sisa kerugian negara Rp 1 miliar lebih. Jika tidak membayar apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita untuk dilelang sesuai jumlah itu. Bahkan, apabila tak cukup, Zul harus menjalani penjara tambahan empat tahun lagi.
Sidang tersebut dimulai sekitar pukul 12.00 WIB, berlangsung kira-kira 90 menit. Majelis hakim diketuai Taswir MH yang dibantu hakim anggota Abu Hanifah MH dan Syaiful SH memutuskan sidang lanjutan pada Rabu (6/2) dengan agenda pembelaan (pleidoi) terdakwa dan pengacara masing-masing.(sal)
Editor : bakri
Polres Aceh Utara Selidiki Dugaan Korupsi Cetak Sawah Baru Rp1,1 Miliar
Rabu, 23 Januari 2013 16:05 WIB
ZULKIFLI ANWAR
LHOKSUKON – Kepolisian Resor Aceh Utara mulai melakukan penyelidikan dugaan korupsi dana program cetak sawah baru seluas 150 hektar di Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara.
Cetak sawah baru itu meliputi empat gampong yaitu Gampong Dayah LT, Krueng LT, Meriya LT dan Alue Empok. Anggaran program tersebut berasal dari APBN tahun 2011 senilai Rp1,1 miliar. Saat ini kondisi lahan sudah ditumbuhi semak belukar, padahal sawah itu baru digarap pertengahan 2011 lalu.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Utara AKP Achmad Fauzi kepada ATJEHPOSTcom, Rabu 23 Januari 2013, menyebutkan, saat ini kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan, yakni pengumpulan bahan dan bukti dokumen.
Menurut Fauzi, proyek cetak sawah baru tersebut dikerjakan Kelompok Peutou Makmu Lhoksukon. “Sebagai langkah awal, kita akan memanggil pejabat (Dinas Pertanian) dan kelompok tani yang mengerjakan proyek tersebut untuk dimintai keterangannya,” katanya.
Secara terpisah, Keuchik Gampong Dayah LT, Idris A Gani mengatakan, sawah yang diterima petani pada akhir 2011 dan awal 2012 itu seharusnya sudah siap pakai. Tapi faktanya, kata dia, pihak pengelola meninggalkan sawah tersebut dengan kondisi belum bisa difungsikan.
Kondisi sawah yang terbengkalai itu telah dilaporkan pihaknya ke Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Pertenakan Aceh Utara hingga Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara.
Tepat 3 April 2012 lalu, petani Gampong Dayah LT juga mengembalikan 20 karung bibit padi yang diberikan oleh Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Pertenakan Aceh Utara. “Untuk apa bibit jika sawah tidak bisa digarap,” timpal Ridwan, Tuha Peut Desa Dayah LT.[](iip)
Langganan:
Postingan (Atom)