Selasa, 12 Februari 2013

Riwayat BPKS Sabang, sejak Habibie hingga MoU Helsinki


Selasa, 12 Februari 2013 18:00 WIB
RAZI | BPKS.GO.ID


PELABUHAN Sabang pertama dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1881. Kegiatan utamanya kala itu pengisian air dan batubara ke kapal yang disebut “Kolen Station”. Pelabuhan ini dikelola Firma De Lange yang diberi kewenangan membangun berbagai fasilitas pelabuhan pada 1887.Operasional pelabuhan dilaksanakan oleh Maatschaapij Zeehaven en Kolen Station, yang kemudian dikenal dengan nama Sabang Maatsscappij, pada 1895.

Pada zaman Belanda, Pelabuhan Sabang dinilai telah berperan sangat penting sebagai pelabuhan alam untuk pelayaran internasional terutama dalam mendukung perdagangan komoditi hasil alam Aceh yang diekspor ke negara-negara Eropa.

Seperti dikutip dalam situs resmi BPKS, kejayaan Sabang berakhir saat perang dunia kedua ketika Jepang menguasai Asia Timur Raya pada 1942. Sabang sebagai pelabuhan bebas pun ditutup.Pada 1950 pemerintah menjadikan Sabang sebagai Basis Pertahanan Maritim Republik Indonesia dan sebagai Pelabuhan Bebas dengan Penetapan Presiden Nomor 10 Tahun 1963.

Setelah itu pada 1965 Kotapraja Sabang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 10.Lalu pada status pelabuhan bebas atau Free Port Sabang ditingkatkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 menjadi Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk masa 30 tahun.

Namun baru berjalan 15 tahun, Free Port Sabang kembali ditutup untuk kedua kalinya pada 1985. Sementara pemerintah pun membuka Bounded Zone Batam.Sejak itu kehidupan ekonomi Sabang kembali stagnan dan sepi layaknya sebuah kota terpencil. Ribuan masyarakat yang menggantungkan hidup di pelabuhan menjadi miskin dan menganggur. Akhirnya mereka bermigrasi secara besar-besaran ke daratan Aceh.

Posisi Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas mulai diperhitungkan kembali pada 1993. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional Growth Triangle Indonesia-Malaysia-Thailand atau IMT-GT. Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan Jambore Iptek BPPT pada 1997.
Setahun sesudah itu Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh di Aceh Besar, dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau KAPET. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden BJ. Habibie. KAPET Sabang diresmikan bersamaan dengan KAPET lain di Indonesia sesuai Keputusan Presiden Nomor 171 tanggal 26 September 1998.

Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas kembali dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2000 pada 22 Januari.Selain itu juga diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 pada 1 September 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Kemudian dalam sidang paripurna DPR RI pada 20 November 2000 penetapan statusnya secara hukum diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000. Keputusan ini dilakukan pemerintah pusat agar Sabang dapat dijadikan sebagai Pusat Pertumbuhan Baru.

Lahirnya MoU Helsinki pasca perjanjian damai antara Pemerintah Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka melahirkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, beserta regulasi turunannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010. Dengan regulasi itu, Kota Sabang kembali dijadikan kawasan khusus dan pusat pertumbuhan ekonomi khusus (KEK) untuk Aceh.

BPKS memiliki visi mengembangkan kawasan Sabang sebagai pusat utama pelayanan perdagangan dunia. Untuk mewujudkan visi itu, BPKS merumuskan beberapa misi antara lain mengembangkan pelayanan pelabuhan dan pelayanan industri serta perdagangan skala global.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar