Jumat, 18 Juli 2014

Kadisperindagkop Tamiang Disidang

Serambi Indonesia

Jumat, 4 Juli 2014 11:29 WIB

* Terkait Kasus Pasar Pagi
BANDA ACEH - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Kamis (3/7), menggelar sidang perdana terhadap Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Kadisperindagkop) Aceh Tamiang, Ir Irwansyah serta lima terdakwa lainnya dalam tiga berkas terpisah. Keenamnya didakwa sama-sama terlibat penyimpangan dalam proyek pembangunan revitalisasi pasar pagi KualaSimpang, Tamiang.
Pertama giliran terdakwa Irwansyah selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek ini duduk di kursi pesakitan bersama terdakwa Drs M Jakfar, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kedua, terdakwa Suryadi, Site Manager PT Gunakarya Nusantara selaku rekanan proyek ini dan Muhammad Januar Rahman ST selaku Supervisi Engineer CV Mitra Karya Consultan.
Sedangkan ketiga giliran T Darwis Djafar selaku pelaksana proyek ini menggunakan PT Gunakarya Nusantara dan T M Iqbal selaku Kepala Perwakilan Perwakilan PT Gunakarya Nusantara di Aceh yang duduk di kursi pesakitan. Iqbal menyerahkan proyek ini untuk dikerjakan terdakwa Darwis atas nama PT Gunakarya.
Inti dakwaan terhadap keenam terdakwa bahwa proyek pembangunan hampir Rp 7 miliar menggunakan APBN 2011 itu tak rampung 100 persen, namun Irwansyah selaku KPA dalam proyek ini sudah membayar 100 persen sesuai dokumen diterima dari kelima terdakwa sesuai perannya masing-masing.
“Progres/kemajuan pekerjaan tersebut direkayasa dengan menandatangani surat-surat/dokumen/berita acara sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 2.374.440.892,90 sesuai hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh,” baca Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kuala Simpang, Tamiang, Sayid Muhammad SH.
Syahrul Rizal SH MH, selaku pengacara terdakwa Darwis, Iqbal, dan Suryadi menyatakan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan ini. Begitu juga pengacara ketiga terdakwa lainnya. Majelis hakim diketuai Ainal Mardhiah SH dibantu hakim anggota Syaiful Has’ari SH dan Hamidi Djamil SH menetapkan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi, Kamis (10/7).
Dari keenam terdakwa dalam perkara ini, tiga di antaranya hanya berstatus tahanan kota alias di luar, yaitu M Jakfar karena sakit, T Iqbal, dan Muhammad Januar. Sedangkan tiga terdakwa lagi, yaitu Kadisperindagkop, Irwansyah, Suryadi, dan T Darwis ditahan oleh JPU Kualasimpang dan kini penahanan itu diperpanjang oleh majelis hakim.
Karena itu, Syahrul Rizal selaku pengacara Darwis dan Suryadi mengajukan penangguhan penahanan. Begitu juga pengacara terdakwa Irwansyah. Namun, terhadap permohonan penangguhan penahanan ini, majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkannya.(sal)

Mantan Direktur RSUZA Tersangka Korupsi CT-Scan

Serambi Indonesia

Kamis, 3 Juli 2014 13:09 WIB

BANDA ACEH - Tim Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan mantan direktur Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, dr Taufik Mahdi SpOG, sebagai tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) pada tahun anggaran 2008. Selain Taufik Mahdi, tersangka lainnya adalah Toni, Kepala Bagian Sublayanan dan Program RSUZA Banda Aceh.
Alat kesehatan yang harga belinya diduga di-markup itu adalah CT-Scan (alat pemindai otak dan sumsum tulang belakang) serta cath lab--catheterization laboratory--(ruang tes yang dilengkapi alat diagnosis dengan prosedur kateter) untuk bagian kardiologi (jantung).
Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH, kepada Serambi, Rabu (2/7) siang menyebutkan bahwa terhitung 1 Juli 2014, Kejati Aceh resmi menetapkan Taufik Mahdi dan Toni sebagai tersangka.
Menurutnya, saat pembelian kedua alkes untuk RSUZA itu, terjadi selisih harga antara yang tertera di kontrak dengan harga beli sebesar Rp 15,3 miliar lebih. Dari pengadaan kedua alat kesehatan itu, negara dirugikan Rp 15,3 miliar lebih. Rinciannya, dari harga CT-Scan Rp 7,4 miliar lebih. “Kemudian, selisih harga dari pembelian cath lab sebesar Rp 8,2 miliar,” ungkap Amir Hamzah.
Amir Hamzah mengatakan, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman kurungan 20 tahun atau seumur hidup.
Ia tambahkan, kedua tersangka korupsi pengadaan alkes RSUZABanda Aceh itu akan segera dipanggil ke alamat masing-masing. Jika pemanggilan tersebut tak segera mereka indahkan, maka akan dipanggil paksa sesuai ketentuan hukum yang berlaku. “Bila tetap tidak diindahkan, maka nama mereka akan dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO),” kata Amir Hamzah.
Berdasarkan catatan Serambi, kasus ini pertama kali menimbulkan kecurigaan saat Tim Pansus XII DPRA berkunjung ke RSUZA Banda Aceh pada Agustus 2009. Ketika itu anggota DPRA menemukan kejanggalan pada pengadaan sejumlah alkes di sana. Tim Pansus DPRA menduga ada penggelembungan harga dalam pengadaan CT-scan MRI (magnetic resonance imaging), alat pemindai mengandalkan magnet sangat kuat untuk mendapatkn gambaran dalam tubuh/otak seseorang, di RSUZA Banda Aceh. Jumlah pagu keseluruhannya pada tahun anggaran 2008 itu Rp 46,6 miliar, masing-masing Rp 17,6 miliar untuk CT Scan dan Rp 39 miliar untuk MRI.
Nilai kontrak pengadaan CT-Scan yang mencapai Rp 17,6 miliar per unit tersebut dinilai terlalu mahal dibandingkan dengan harga alat yang sama pada distributornya di Jakarta. Untuk merek Siemens di Jakarta hanya Rp 11 miliar per unit.
Belakangan Kejati Aceh menyatakan pengadaan CT-Scan dan MRI tidak terdapat kerugian negara, sehingga Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus itu. Tim Kejagung juga telah beberapa kali memeriksa beberapa staf dan Direktur RSUZA. Namun, kasus itu tetap mengambang.
Pun demikian, aktivis MaTA dan GeRAK Aceh tahun 2010 sempat mendatangi Gedung KPK di Jakarta dan melaporkan sejumlah kasus besar yang terindikasi korupsi di Aceh, salah satunya kasus CT-Scan dan MRI RSUZA Banda Aceh.
Lalu tahun 2012, Kejati Aceh menetapkan dua tersangka dalam kasus itu, yakni Kartini Hutapea (58), Direktur Utama PT Kamara Idola, sebagai rekanan dan Suryani, ketua panitia pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2009 dalam proyek tersebut.
Tapi kemudian keduanya dinyatakan bebas oleh majelis hakim tingkat kasasi karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan kedua tersangka yang belakangan bebas itu juga sempat menimbulkan tanda tanya besar bagi para aktivis antikorupsi di Aceh. Para aktivis menganggap ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab dalam kasus ini, yaitu dr Taufik Mahdi yang merupakan mantan direkturRSUZA Banda Aceh waktu itu.
Memasuki tahun 2009 Taufik terus dipanggil dan diperiksa hingga yang bersangkutan tak lagi dipercayakan Gubernur Zaini Abdullah sebagai Direktur RSUZA pada akhir 2012.
Dua hari lalu, tepatnya 1 Juli 2014, Tim Penyidik Kejati Aceh menetapkan Taufik bersama Toni sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di rumah sakit pendidikan itu. (mir)

Mantan Kadishub Sabang Disidang


Serambi Indonesia

Jumat, 4 Juli 2014 11:32 WIB

* Terlibat Penyimpangan Proyek Alat Timbang Kendaraan
BANDA ACEH - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Kamis (3/7), menggelar sidang perdana terhadap mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Sabang, Azhari Daud (60). Ia didakwa terlibat penyimpangan dalam proyek pengadaan alat timbang kendaraan bermotor tahun 2006, bersama terdakwa Rusli Is selaku pemimpin pengadaan alat itu.
Inti dakwaan dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sabang, Andri Herdiansyah SH cs adalah Azhari masih menjabat Kadishub Sabang atau selaku Pengguna Anggaran (PA) saat proyek ini berjalan pada tahun 2006. Proyek bersumber dari APBK setempat tahun 2006 ini, dengan anggaran sebesar Rp 250 juta.
Seharusnya, sesuai perjanjian dengan pihak kedua, yaitu Direktur PT Qumicon Indonesia, Heru Budi Utomo dan panitia lelang, Ismail ST (keduanya masih disidik di Polres Sabang), alat timbang truk portabel yang harus diadakan merek Celtron berkapasitas hingga 30 ton. Sedangkan monitor indikator berat dilengkapi layar digital LCD, tahan air, dan guncangan, serta dilengapi printer.
Namun, ketika diperiksa oleh ahli Muhammad Yusuf dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Koperasi dan UKM, UPTD Metrologi Aceh pada Juni 2008, menyatakan alat timbang kendaraan bermotor itu tak sesuai spesifikasi teknis dalam kontrak karena hanya berkapasitas 25 ton.
Selain itu terdapat perbedaan pada sumber arus monitor yaitu hanya 7-10 volt serta monitor dan printer tak tahan air, seharusnya berdasarkan dokumen kontrak sumber arus monitor adalah 12-15 Volt dan monitor tahan air serta tahan guncang.
“Kedua terdakwa bertanggungjawab terhadap pengadaan ini dan terhadap pembayaran lunas 100 persen, padahal alat timbang kendaraan bermotor itu tidak sesuai spesifikasi, sehingga terjadi selisih harga 111.412.750 rupiah,” baca Andri Herdiansyah SH didampingi rekannya Endy Ronaldy SH dan Pengki Sumardi SH.
Selisih harga yang menjadi kerugian negara ini, sesuai hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh. Kedua terdakwa yang tak ditahan itu bersama pengacaranya Zulfan menyatakan tak mengajukan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan, namun akan menanggapi sekaligus dalam pleidoi atau pembelaan setelah tuntutan nanti. Majelis hakim diketuai Abdul Aziz SH menetapkan sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi, Jumat (11/6).
Selanjutnya , JPU yang sama juga membacakan dakwaan terhadap empat terdakwa korupsi proyek pembangunan distribusi air minum kawasan Sabang yang merugikan negara Rp 510 juta lebih, dalam sidang perdana terhadap mereka di PN Tipikor Banda Aceh.
Keempat terdakwa adalah karyawan PT PLN Sabang, Indra Gunawan, kontraktor listrik Irfan, Bahrum selaku kontraktor pelaksana, dan T Syahreza alias Ampon Cut selaku pelaksana proyek tersebut.
Negara rugi 510 juta lebih karena dalam proyek yang anggarannya bersumber dari Dana Otsus 2012 ini, uang dibayar 100 persen yaitu Rp 4,6 miliar lebih, padahal pekerjaan terhadap proyek itu tak dikerjakan semua oleh rekanan.
Keempat terdakwa didampingi pengacara masing-masing menyatakan akan mengajukan eksepsi terhadap dakwaan ini. Majelis hakim diketuai Yulman MH menetapkan sidang lanjutan dengan agenda mendengar eksepsi, Jumat (11/7).(sal)

GeRAK Apresiasi Kejati Aceh

Serambi Indonesia

Jumat, 4 Juli 2014 11:32 WIB

* Terkait Penetapan Tersangka Korupsi CT-Scan
BANDA ACEH - Aktivis Badan Pekerja Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Hayatuddin Tanjung mengapresiasi kinerja tim Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh yang telah menetapkan mantan direktur Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, dr Taufik Mahdi SpOG dan Kepala Bagian Sublayanan dan Program RSUZA, Toni, sebagai tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun anggaran 2008.
“Berdasarkan catatan GeRAK, dugaan korupsi alkes di RSUZA sudah sangat lama dan terkesan berbelit proses penanganannya. Kini kasus tersebut mendapat titik terangnya dengan telah ditetapkan dua tersangka ini, sehingga kami patut mengapresiasi Kejati Aceh,” tulis Hayatuddin lewat siaran pers kepada Serambi, kemarin.
Namun, ia mendesak pihak Kejati Aceh tak memperlambat penyelesaian perkara ini. Sedangkan GeRAk akan mengawal kasus ini hingga selesai.
Seperti diberitakan Serambi kemarin, alkes yang harga belinya diduga di-markup itu adalah CT-Scan (alat pemindai otak dan sumsum tulang belakang) serta cath lab—catheterization laboratory—(ruang tes yang dilengkapi alat diagnosis dengan prosedur kateter) untuk bagian kardiologi (jantung). Sehingga diduga merugikan negara yang bersumber dari Pemerintah Aceh Rp 15,3 miliar lebih. Rinciannya selisih harga CT-Scan Rp 7,4 miliar lebih dan selisih harga pembelian cath lab Rp 8,2 miliar.(sal)

Jaksa Terus Usut Kasus Dana Sanggar

Serambi Indonesia

Kamis, 10 Juli 2014 15:40 WIB

LHOKSEUMAWE - Penyidik Kejari Lhoksukon, Aceh Utara masih terus menelusuri keterlibatan pengurus sanggar Cut Meutia Meuligoe Aceh Utara dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Rp 1,9 miliar dari APBK Aceh Utara tahun 2009. Karena hasil pemeriksaan sejumlah saksi di Surabaya mengindikasikan keterlibatan dua lagi pengurus sanggar itu terlibat dalam kasus tersebut. Seperti diketahui, pada Juni lalu, tim jaksa berangkat ke Surabaya untuk mengecek kebenaran laporan pertanggungjawaban (LPJ) pengurus sanggar tersebut.
“Meski sudah ada lima tersangka, penyidik terus mendalami kasus ini. Karena tak tertutup kemungkinan bakal ada tersangka baru. Namun, kita masih membutuhkan tambahan alat bukti,” kata Kajari Lhoksukon, Teuku Rahmatsyah MH melalui Kasi Intel, Muhammad Khadafi SH kepada Serambi, kemarin.
Untuk proses kelima tersangka sebelumnya, menurut Khadafi, penyidik hanya tinggal menungu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh. “Jika sudah ada hasilnya, berkas ke lima tersangka segera kita rampungkan untuk dilimpakan ke pengadilan,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejari Lhoksukon menetapkan lagi tiga pengurus Sanggar Cut Mutia Meuligoe Aceh Utara sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Rp 1,9 miliar dari APBK Aceh Utara tahun 2009 pada 10 April 2014. Ketiganya adalah Nhy, bendahara Sanggar, SFZ Koordinator Drum Band sanggar dan RNW Koordinator Tarian. Pada akhir 2011, penyidik telah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut yaitu, Umi Khatijah Ketua Sanggar dan Made Sekretaris Sanggar. Kasus tersebut mulai ditangani jaksa pada tahun 2010.(jf)

SuAK Pertanyaan Independensi GeRAK

Serambi Indonesia

Rabu, 16 Juli 2014 11:51 WIB

* Terkait Pernyataan yang Terkesan Melindungi Pemerintah
MEULABOH - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas untuk Antikorupsi (SuAK) Aceh memertanyakan sikap lembaga Gerakan Antikorupsi (GeRAK) yang dinilai tidak independen dan terkesan melindungi pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf atas dugaan pengalihan anggaran untuk Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ke proyek lapangan golf.
Pasalnya, GeRAK Aceh beberapa waktu lalu menyampaikan tanggapan atas kasus tersebut di Serambi, yang menyebut tak ada pengalihan anggaran seperti yang ditemukan SuAK Aceh. Padahal, pernyataan yang sama sudah disampaikan Kadis Cipta Karya Provinsi Aceh dan Ombudsman Aceh. “Ini sangat aneh. Kok tiba-tiba ada LSM antikorupsi mendukung pemerintah yang diduga korupsi,” kata Pj Koordinator SuAK Aceh, Zaini Usman kepada Serambi, kemarin.
Menurut zaini, pernyataan membela pemerintah yang dilakukan GeRAK Aceh menjadi pertanyaan bagi publik, apakah lembaga antikorupsi itu sudah menjadi corong pemerintah atau bumper-nya penguasa. “Kami berharap GeRAK Aceh independen. Seharusnya, yang ideal menjawab persoalan dugaan pengalihan dana tersebut adalah Humas Pemprov Aceh atau TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh), dan bukannya LSM antkorupsi” ujarnya.
Apalagi, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia telah bersedia melakukan audit investigatif terhadap dugaan pengalihan dana tersebut, kata Zaini.
Pj Koordinator SuAK Aceh, Zaini Usman menjabarkan, sebenarnya penyusunan anggaran di APBA itu terdapat beberapa tahapan, di antaranya dimulai dari proses RPJM, Renstra, Renja, RKPA, dan KUA-PPAS. Pascatahapan tersebut, diduga ada perubahan anggaran untuk Masjid Raya, dan hal itu dibenarkan oleh kepala Bappeda Aceh.
Menurutnya, pada proses awal penyusunan anggaran mustahil bisa ditemukan perbuatan melawan hukum seperti praktek gratifikasi yang disebutkan Gerak. Suap-menyuap sulit dibuktikan kecuali pada proses pra-lelang, misalnya dugaan proyek fiktif, anggarannya ada tapi fisiknya tidak ada atau mark-up anggaran, belanja barang spesifikasinya direkayasa disesuaikan dengan perusahaan yang akan dimenangkan dalam lelang.
Pun demikian, katanya, publik akan melihat secara gamblang, apa benar dana Masjid Raya Baiturrahman itu dialihkan atau tidak. Karena hal itu tergantung pada kegiatan proyek di Masjid Raya atau resapan dana dari Dinas Keuangan Aceh dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Dinas kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
“Jika dana Rp 10 miliar untuk kegiatan perluasan Masjid Raya Baiturrahman, yang sampai saat ini belum dilelang sementara masa efektif pengerjaan proyek hanya dua bulan, maka patut diduga keberadaan dana tersebut fiktif atau memang sudah dialihkan ke kegiatan lain,” tukas Zaini.
Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani yang dikonfirmasi secara terpisah, Selasa (15/7), menanggapi tudingan Solidaritas untuk Antikorupsi (SuAK) Aceh terkait pernyataan GeRAK yang dinilai berpihak Pemerintah Aceh, dengan menyatakan bahwa hal itu adalah hak pihak SuAK untuk berpandangan seperti itu.
“Namun apa yang kami sampaikan di media massa adalah fakta dari konfirmasi dan koreksi dari beberapa hasil temuan yang kami lakukan kepada sejumlah pihak berkompeten,” kata Askhalani, terkait temuan SuAK yang menyatakan adanya dugaan pengalihan dana prasarana dan sarana Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang diduga dialihkan ke proyek Lapangan Golf senilai Rp 10 miliar.
Askhalani mengatakan, investigasi yang dilakukan lembaganya dalam kasus tersebut, bukan pada konteks melakukan koreksi secara mendalam, tetapi mereka bertemu dengan beberapa anggota DPRA, Bappeda Aceh, dan pengurus organisasi golf terkait persoalan ini, guna mencari informasi apakah temuan yang disampaikan itu benar atau tidak.
Atas hasil konfirmasi itu, kata Askhalani, ia berasumsi bahwa dalam kasus tersebut tidak terjadi dugaan tindak pidana korupsi, karena dana untuk pembangunan sarana dan prasarana lapangan golf itu memang dialokasikan secara khusus melalui instansi terkait.
“Dalam persoalan ini GeRAK Aceh tidak memihak kemana pun, kami hanya menyampaikan hal yang sebenarnya sesuai hasil klarifikasi yang kami lakukan supaya kasus ini tidak berlarut,” tambahnya. Meski demikian, pihaknya mendukung Inspektorat Aceh untuk melakukan pengusutan atau audit terhadap kasus ini.(edi)

Tiga Kepala BPP Jadi Tersangka

Serambi Indonesia

Jumat, 18 Juli 2014 11:24 WIB

SIGLI - Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Pidie pada Kamis (17/7) kemarin menetapkan tiga kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) di kabupaten itu sebagai tersangka dalam kasus penyimpangan dana bantuan penanggulangan padi puso (BP3) yang bersumber dari APBN sebesar Rp 4,3 miliar pada tahun 2012 di Pidie.
Ketiga tersangka masing-masing Kepala BPP Muara Tiga, TJ, Kepala BPP Padang Tiji, MJ, dan Kepala BPP Glumpang Tiga, ZS. Kasat Reskrim Polres Pidie, AKP Ibrahim SH tak berkenan menyebutkan nama lengkap dari ketiga tersangka itu, kecuali hanya inisialnya saja.
Kapolres Pidie, AKBP Sunarya SIK, didampingi Kasat Reskrim Polres Pidie, AKP Ibrahim SH, menjawab Serambi, Kamis (17/7) mengatakan, berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) ditemukan kerugian negara sebesar Rp 340 juta dalam kasus ini.
Adapun penetapan ketiga kepala BPP itu sebagai tersangka setelah penyidik mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan dari 40 saksi kelompok tani (poktan) dan pejabat dari Dinas Pertanian dan Peternakan (Distannak) Pidie. Ditambah lagi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap adanya kerugian negara dalam kasus ini.
Atas dasar itu, sekitar pukul 16.00 WIB kemarin, ketiga kepala BPP itu resmi tetapkan Polres Pidie sebagai tersangka. “Kini mereka ditahan di sel Mapolres Pidie,” kata Kapolres.
Indikasi korupsi dalam kasus ini, kata Kapolres Pidie, terungkap setelah penyidik kepolisian menelisik proses penyaluran dana BP3 itu. Ternyata dana tersebut ada yang dibagikan kepada petani yang padinya sama sekali tidak mengalami puso.
Indikasi lainnya, jumlah kelompok yang seharusnya menerima dana tersebut hanya 46 poktan, tapi ketiga tersangka justru membentuk poktan lain yang jumlahnya mencapai 162 poktan.
“Kelompok tani yang dibentuk itu justru padinya tidak puso, tapi mereka ikut menerima dana kerugian pengganti padi puso. Ini menyebabkan jatah petani yang betul-betul mengalami padi puso berkurang,” ujar Kapolres.
Tentang tersangka, menurut Kapolres, untuk sementara baru ditetapkan tiga tersangka. Namun, mengingat kasus ini masih dalam tahap penyelidikan Sat Reskrim Polres Pidie, sehingga sangat mungkin jumlah tersangkanya bertambah. Apalagi dugaan kasus korupsi ini dilakukan secara berjamaah yang melibatkan poktan, BPP, dan pejabat di Distannak Pidie. “Jadi, satu per satu kita tetapkan tersangkanya,” kata Sunarya.
Ditanya apakah Kadistannak Pidie, Drh Anas, berpotensi menjadi tersangka, menurut Kapolres Pidie, sejauh ini Anas belum ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, dia tetap akan dipanggil kembali. “Semua itu tergantung pada hasil pemeriksaan nanti,” katanya.
Ia tambahkan, kasus dana bantuan penanggulangan padi puso ini sudah diselidiki sejak 2013. Kemudian, pada Maret 2014 penyidik reskrim meningkatkannya menjadi penyidikan. “Jadi, sudah satu tahun lebih proses pengungkapan kasus ini dilakukan, tapi baru sekarang ditetapkan tersangkanya,” demikian AKPB Sunarya. (naz)

Kamis, 03 Juli 2014

Tarif Hotel juga Dimarkup

Serambi Indonesia

Jumat, 6 Juni 2014 11:09 WIB

* Dugaan Korupsi Dana Sanggar Meuligoe Cut Meutia 

LHOKSUKON - Pengurus Sanggar Meuligoe Cut Meutia Pemkab Aceh Utara juga memarkup (menggelembungkan) biaya sewa kamar (tarif) hotel di Surabaya, Jawa Timur selama sepuluh hari saat tim sanggar tersebut mengikuti lomba marching band pada tahun 2009. Selain itu, biaya catering juga dimarkup hingga puluhan juta rupiah.

Hal itu terungkap saat tim Penyidik Kejari Lhoksukon, Aceh Utara memeriksa karyawan Griyonur Hotel dan pemilik rumah makan di Kota Surabaya untuk memastikan kebenaran laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang dibuat pengurus sanggar itu. Pemeriksaan tersebut dilakukan penyidik pada 2-4 Juni.

“Penyidik juga menyita barang bukti. Perkiraan kita harga yang dimarkup dari biaya sewa hotel dan biaya pemesanan makan mencapai 100 juta rupiah lebih,” kata Kajari Lhoksukon, Teuku Rahmatsyah MH melalui Kasi Pidana Khusus (Pidsus), Oktalian SH kepada Serambi, Kamis (5/6).

Menurutnya, dana yang dipertanggungjawabkan dalam LPJ untuk sewa hotel Rp 72,5 juta, tapi yang dibayar hanya Rp 20 juta. Untuk memastikan kerugian negara, lanjutnya, penyidik akan menyerahkan data tersebut ke Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh.

Dalam LPJ, sebutnya, kamar hotel yang disewa 29 unit. Tapi, hasil pemeriksaan dari karyawan hotel, kamar yang disewa hanya 15 unit. Dalam LPJ biaya sewa satu kamar hotel yang dipertanggunngjawabkan Rp 250 ribu, sedangkan biaya sewa per kamar yang dibayar hanya Rp 120 ribu.

“Penyidik juga menemukan pemalsuan tekenan dan nama pemilik hotel. Pengurus tidak menginap di hotel itu selama kegiatan tersebut. Tapi dalam LPJ, pengurus sanggar menyebutkan menginap di Hotel Griyonur. Untuk memastikan data lain, penyidik masih menyelidiki laporan dari tim yang hingga kini masih di Surabaya,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus itu terungkap ketika dibuat LPJ pengurus sanggar di 27 Kecamatan. Ternyata, dana hibah untuk sanggar tidak pernah diterima oleh pelatih maupun asisten pelatih tari. Sehingga, pada tahun 2010 jaksa mulai menemukan indikasi korupsi dalam kasus tersebut.(jf)

4 Terdakwa Korupsi di Tamiang Dihukum Berbeda

Serambi Indonesia

Selasa, 3 Juni 2014 12:07 WIB

BANDA ACEH - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh dalam sidang terakhir, Senin (2/6), menghukum berbeda empat terdakwa perkara korupsi proyek pembangunan talut Sungai Tamiang di Kualasimpang. Kontraktor proyek ini, Farida Wedianingsih 3,5 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan, serta harus membayar uang pengganti Rp 500 juta lebih.

Sedangkan vonis terhadap tiga terdakwa lainnya adalah empat tahun penjara terhadap pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), Ramlan, 2,5 tahun untuk pembantu PPTK, Muhammad Arfan, dan setahun penjara terhadap pengawas proyek ini Sugiharto. Meski hukuman penjara terhadap ketiganya berbeda, namun vonis denda terhadap mereka sama, yaitu masing-masing Rp 100 juta atau bisa diganti kurungan tambahan (subsider) dua bulan kurungan. 

Pertama giliran Sugiharto duduk di kursi pesakitan, kedua Farida, dan ketiga Ramlan serta Muhammad Arfan yang berkasnya digabung. Inti putusan dibacakan majelis hakim diketuai Ainal Mardhiah SH, keempat terdakwa terbukti secara bersama-sama tak menjalankan tugas sesuai kewenangan masing-masing sehingga proyek didanai otsus 2009 Rp 3 miliar lebih ini terjadi kekurangan volume bangunan, namun telah dibayar sepenuhnya kepada Farida. 

Farida adalah Dirut PT Kayu Mas Alam Indah selaku pelaksana proyek pencegahan meluapnya air sungai tersebut ke pusat Kota Kuala Simpang. Karena itu, hanya terdakwa Farida yang dibebankan membayar uang pengganti Rp 500 juta lebih sesuai kerugian negara dalam perkara ini, bukan Rp 706.969.692 seperti dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kuala Simpang, seperti audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh.

Keempat terdakwa yang selama ini ditahan, didampingi pengacara masing-masing menyatakan pikir-pikir terhadap putusan ini. Begitu juga JPU Kejari Kuala Simpang, Sayid Muhammad SH. 

Seperti diketahui, pada sidang sebelumnya JPU Kejari Kualasimpang menuntut terdakwa Sugiharto dan Muhammad Arfan masing-masing 8,5 tahun, dan Ramlan 9,5 tahun penjara. Ketiganya juga dituntut membayar denda masing-masing Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Khusus terdakwa Farida, selain dituntut 9,5 tahun penjara denda Rp 200 juta subisider tiga bulan kurungan, perempuan ini juga dituntut membayar uang pengganti Rp 706.969.692 sesuai kerugian negara berdasarkan hasil audit BPKP Aceh. (sal)

Polres Usut Dugaan Korupsi di SMK Peternakan Bireuen

Serambi Indonesia

Jumat, 13 Juni 2014 15:05 WIB

BIREUEN - Penyidik Polres Bireuen sejak beberapa bulan lalu sampai kini masih mengusut dugaan korupsi bantuan dana hibah Rp 1 miliar dari APBA tahun 2012 untuk Sekolah Menengah Kejuruan Perkebunan dan Peternakan Negeri (SMK-PPN) Bireuen. 

Sumber Serambi, sekolah itu pada tahun 2012 menerima bantuan hibah untuk menunjang praktik siswa ke luar daerah, penambahan sarana pendudukung kegiatan, serta pembelian ternak untuk praktik siswa. 

“Laporan yang kami terima dari masyarakat ada dugaan pengelolaan dana itu menyimpang dari aturan. Selain tak transparan, menurut laporan warga pembelian ternak itu dilakukan tak melalui proses sebenarnya,” kata seorang penyidik Polres Bireuen. 

Kapolres Bireuen, AKBP M Ali Kadhafi SIK saat dikonfirmasi tentang hal itu, kemarin, mengatakan, ada beberapa laporan dugaan terjadi penyimpangan di sekolah itu. Menurutnya, Polres kemudian membentuk satu tim untuk menyelidiki kasus itu dan mereka sudah bekerja sejak akhir 2013. 

Dikatakan, tim sudah memeriksa sejumlah siswa dan guru terkait penggunaan dana hibah untuk praktik siswa dan pembelian aset. Sebab, aset yang dibeli tak terdata sebagai aset sekolah. Hasil penyelidikan selama ini, menurutnya, sudah diekpos di Mapolda Aceh, namun belum bisa dipastikan jumlah kerugian negara maupun tersangka. 

“Indikasi kerugian negara ada, tapi angkanya belum jelas karena harus menunggu tim BPKP melakukan audit. SMK PP Bireuen yang berlokasi di Desa Paya Lipah, Peusangan di bawah koordinasi Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian Aceh,” pungkasnya.(yus)

18 Kepala Puskesmas Agara Diperiksa

Serambi Indonesia

Selasa, 17 Juni 2014 12:07 WIB

* Dana Jamkesmas, BOK, dan JKA Diduga Diselewengkan

KUTACANE - Tim Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutacane telah memeriksa 18 Kepala Puskesmas di 16 kecamatan Aceh Tenggara (Agara) dalam beberapa hari lalu. Diduga, mereka menyelewengkan dana Jamkesmas, BOK, dan JKA tahun 2012/2013.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kutacane, Edi Dikdaya SH MSi, kepada Serambi, Senin (16/6) mengatakan 18 kepala Puskesmas telah diperiksa secara marathon dari 26 Mei sampai 15 Juni 2015. “Para Kepala Puskesmas itu diduga menyelewengkan dana Jamkesmas, BOK dan JKA 2012/2013 dan diperkirakan pada Agustus 2014 akan selesai,” ujarnya.

Dia menegaskan, akan segera memanggil Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Agara dr Ramulia SpOg untuk diperiksa, termasuk juga para petugas Puskesmas. “Jika perlu para bendahara akan diperiksa dan kami belum simpulkan hasil pemeriksaan sementara karena pemeriksaan masih dilanjutkan sampai tuntas, jelas Kajari Kutacane, Edi Dikdaya.

Seperti dilansir sebelumnya, Dana Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan Jamkesmas serta bantuan operasional kesehatan (BOK) diPuskesmas Agara dari 2012 sampai tahun ini diduga diselewengkan. Anggota dewan Agara meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk mengusut melalui Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutacane.

“Kami menduga, dana JKA dan Jamkesmas yang totalnya mencapai puluhan miliar disinyalir diselewengkan,” ujar Marhusin B, Ketua Komisi D DPRK Agara, Kamis (8/5/2014). Dia menduga, penyalurannya tidak sesuai mekanisme, karena saat meminta data, pihak Puskesmasmenolak memberikan dengan berbagai alasan.

Sedangkan Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Aceh Tenggara, dr Ramulia yang dimintai tanggapannya menyatakan pihak dewan boleh saja melapor. “Silakan saja dewan melapor, karena tidak masalah bagi kami, karena Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atas data penggunaan dana JKA dan Jamkesmas bukan hak dewan, karena dewan sebagai pengawas, bukan penyidik,” katanya. 

Selain itu, Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) sempat menegaskan dokumen anggaran kesehatan bukan rahasia negara. Dia menilai, ada faktor kesengajaan yang ditutupi birokrasi pemerintah yang tertutup, karena cenderung korup dan masyarakat patut mewaspadainya.

Begitu juga dengan LSM Generasi Mahasiswa Pemuda Aceh (Gempa) Agara meminta Polda Aceh untuk mengusut berbagai dugaan penyimpangan di Dinas Kesehatan Agara. Mereka yang berjumlah enam orang melakukan demo ke Kantor Dinkes dan RSUD Sahuddin Kutacane, Kamis (8/5), tetapi tidak ada pejabat yang berhasil ditemui.

Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tenggara, dr Ramulia SpOg, dalam kegiatan hari lanjut usia di Puskesmas Lawe Sigala-gala, beberapa waktu lalu mengatakan foto ibu-ibu lanjut usia itu dinaikan di koran ini dan jangan gambar saya saja yang dipampangkan di koran. 

Dia menambahkan gambar ibu-ibu lanjut usia juga dipampangkan besar-besar di halaman utama dan uangnya minta sama bupati Agara. Dia melontarkan pernyataan itu dalam pidato pembukaan hari lanjut usia beberapa hari lalu. Pernyataan Kadiskes Agara ini menyinggung soal pemberitaan soal dugaan penyelewengan dana Jamkesmas, JKA dan BOK di jajaran Dinkes Agara.(as)

Jaksa Tangani Pengadaan Tanah Lapangan Bola Terangun

Serambi Indonesia

Kamis, 19 Juni 2014 12:08 WIB

* Dari Harga Rp 40 Juta Jadi Rp 1,4 Miliar

BLANGKEJEREN - Kejaksaan Negeri (Kejari) Blangkejeren, Gayo Lues (Galus) membidik kasus pengadaan tanah lapangan bola di Kecamatan Terangun yang diduga dimarkp-up (digelembungkan). Harga tanah yang hanya Rp 40 juta dari pemilik pertama dijual kembali oleh pemilik kedua dengan harga mencapai Rp 1,4 miliar lebih atau kenaikan sekitar 35 kali lipat atau 350 persen.

Kajari Blangkejeren, M Husein Admaja, kepada Serambi, Selasa (17/6) menyatakan kasus pengadaan tanah untuk lapangan bola di Terangun sudah ditangani tim penyidik. Bahkan dua orang saksi telah dimintai keterangan yaitu Camat Terangun dan pemilik tanah asal.

“Seharusnya dalam pengadaan tanah diatas harga Rp 1 miliar oleh pemerintah harus ada tim sembilan dan camat harus tahu, karena dia yang memiliki wilayah,” jelasnya. Tetapi, sebutnya, camat yang telah diminta keterangan mengaku tidak mengetahui soal pengadaan tanah, sehingga terkesan seperti ‘Siluman’, apalagi dilaksanakan jelang Pemilu Legislatif 7 April 2014 lalu.

M Husein Admaja tim penyidik akan menelusuri keberadaan tim sembilan, jika ada dibentuk oleh Pemkab Gayo Lues. “Saksi yang sudah dimintai keterangan yakni Camat Terangun bersama pemilik tanah asal yang mengaku menjual tanah kepada seseorang seharga Rp 40 juta lebih, tetapi pemkab melakukan ganti rugi Rp 1,4 miliar lebih,” ujarnya.

Dia menjelaskan harga tersebut terkesan telah di mark-up dan di luar logika. Sedangkan tim penyidik yang juga sebagai Kasi Datun, Razes Kana SH, mengatakan kasus pengadaan tanah lapangan bola di Makmur Jaya, Kecamatan Terangun sudah ditangani dengan memanggil dua orang saksi untuk dimintai keterangan.

“Pemilik lahan asal mengaku menjual tanahnya itu seharga Rp 40 juta, namun ada pihak lain yang mencari keuntungan dengan sengaja, sehingga harga tanah tersebut di mark-up sampai Rp 1,4 miliar lebih dengan pembayaran dilakukan menjelang Pileg 2014 lalu,” demikian tim penyidik Kejari Blangkejeren.

Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan Serambi, pembelian tanah lapangan bola yang dilakukan Pemkab Galus menjelang pileg lalu. Padahal, menjelang Pemilu Legislatif, pemerintah daerah dilarang dan tidak dibenarkan melakukan pengeluaran kas daerah yang sifatnya tidak mendadak. Sehingga, pembayaran ganti rugi dilakukan melalui sebuah bank di Medan, karena di daerah tidak dibenarkan.

Semenara itu, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Galus, Drs Jamin saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya mengaku sedang berada di sebuah acara pesta perkawinan. Dia meminta dikonfirmasi Kabid Sarana dan Prasarana, M Isa yang mengaku tidak tahu.

M Isa menjelaskan, pengadaan dan pembelia tanah itu tidak berada di Dispora, tetapi informasi pembayaran dilakukan langsung oleh Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Galus.(c40)

Kejati Jebloskan Melodi Thaher ke Rutan

Serambi Indonesia

Kamis, 19 Juni 2014 12:13 WIB

* Dugaan Penyalahgunaan Pinjaman Rp 7,5 miliar

BANDA ACEH - Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, menahan mantan Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi dan Investasi, Sekretariat Daerah Kabupaten (Setdakab) Aceh Utara, Drs Melodi Thaher, Rabu (18/6) sore. Melodi yang ditetapkan tersangka atas kasus dugaan penyalahgunaan dana pinjaman Kas Kabupaten Aceh Utara sebesar Rp 7,5 miliar itu, dijebloskan ke Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kajhu, Aceh Besar.

Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH, mengatakan, Melodi Thaher sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan dana pinjaman sebesar Rp 7,5 miliar dari Bank BPD (kini Bank Aceh) Cabang Lhokseumawe tahun 2009 lalu yang mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. 

Pinjaman dana Rp 7,5 miliar tersebut diajukan untuk membiayai pembangunan di daerah terpencil yang akan segera dilunasi setelah dilakukan APBD perubahan tahun 2009. “Ternyata dana tersebut tidak dilunasi, meski dana yang telah diajukan telah cair,” ujar Amir Hamzah.

Lalu pencairan dana sebesar Rp 7,5 miliar itu kemudian dimasukkan ke dalam dua rekening, atas nama Kabag Ekonomi dan Investasi Setdakab Aceh Utara, Drs Melodi Thaher. “Seharusnya dana pinjaman itu kan masuk ke kas Pemda Aceh Utara. Tapi, tidak demikian, justru masuk ke dua rekening, masing-masing Kabag Ekonomi dan Investasi  atas nama Drs Melodi Thaher. 

Lalu uang itu selanjutnya ditarik dan dibagi-bagi, bukan seperti rencana yang diperuntukkan semula, yakni membiayai pembangunan di daerah terpencil. Tetapi, digunakan untuk kepentingan pribadi,” ungkap Amir Hamzah.Ia mengatakan kasus dugaan penyalahgunaan dana pinjaman Kas Kabupaten Aceh Utara, sebesar Rp 7,5 miliar itu terungkap pada tahun 2013. 

Lalu penyidikan mulai dilakukan 22 April 2013 dan penetapan Melodi Thaher sebagai tersangka mulai 13 Maret 2014. “Begitu penyidik melakukan pemeriksaan lanjutan kembali hari ini (kemarin-red) terhadap tersangka Melodi Thaher, penyidik langsung melakukan penahanan, dengan kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, serta melakukan pengulangan tindak pidana lainnya, sehingga diputuskan agar tersangka untuk segera ditahan,” ungkap Amir Hamzah.(mir) 

Mantan Direktur Akfar Disidang

Serambi Indonesia

Kamis, 19 Juni 2014 12:19 WIB

* Dugaan Penyelewengan Dana Hibah Rp 700 Juta

BANDA ACEH - Mantan direktur Akademi Farmasi (Akfar) Banda Aceh, Ermeyda CH SE (56), dan mantan bendahara kampus itu, Syarifah Alawiyah (55), Rabu (18/6), menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, dalam perkara dugaan penyelewengan dana hibah Pemerintah Aceh senilai Rp 700 juta.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh dalam dakwaanya menyebutkan, Ermeyda saat menjabat direktur Akfar Banda Aceh mengajukan proposal hibah sebesar Rp 3.921.169.565 kepada gubernur Aceh cq kepala biro keistimewaan dan kesejahteraan, untuk pengembangan pendidikan kampus itu dengan membeli alat laboratorium.

“Namun, dana hibah yang dikabulkan 700 juta rupiah sesuai keputusan gubernur Aceh Nomor 451.7/338/2012. Setelah persyaratan pengajuan hibah dilengkapi, maka dilaksanakan penandatanganan naskah hibah antara pemerintah Aceh dengan Akfar Banda Aceh,” baca JPU, T Davindra SH dalam dakwaan terhadap Ermeyda.

Dana hibah itu bersumber dari APBA tahun 2012, dan diterima pihak Akfar Banda Aceh 25 Oktober 2012 dengan specimen tanda tangan rekening Ermeyda, dan saksi Syarifah Alawiyah. Pada November 2012 hingga Januari 2013, Ermeyda bersama Syarifah Alawiyah melakukan penarikan dana dari rekening 010.01.02.620010-3 atas nama Akademi Farmasi Banda Aceh, di kantor pusat operasional PT Bank Aceh. Penarikan dilakukan secara bertahap dengan jumlah Rp 700 juta.

Kedua terdakwa tidak menggunakan dana itu sesuai dengan ketentuan perjanjian, yaitu untuk pengembangan kampus. Tapi dana itu digunakan untuk keperluan lain, seperti biaya perjalanan dinas pembimbing ke pabrik farmasi di pulau Jawa Rp 5.500.000/orang, biaya perjalanan dinas dosen ke pabrik farmasi di Bandung Rp 5.260.000/orang, dan biaya tiket pesawat untuk perjalanan 119 mahasiswa ke pabrik farmasi di pulau Jawa Rp 1.900.000/orang.

Dalam sidang yang dimulai pukul 11.00 WIB, Ermeyda didampingi kuasa hukumnya Muhammad Syafei Saragih SH. Sedangkan Syarifah Alawiyah didampingi pengacaranya Amin Said SH. Usai pembacaan dakwaan di hadapan majelis hakim yang diketuai Abd Aziz SH MHum, dan hakim anggota Hamidi Djamil SH serta Syaiful Has’ary SH, kedua terdakwa tidak mengajukan eksepsi. Sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi digelar Rabu (25/6).

Majelis hakim juga tidak dapat mengabulkan permohonan keluarga terdakwa untuk menjadikan terdakwa sebagai tahanan rumah/kota. Hal ini masih dalam musyawarah majelis hakim, sehingga kedua terdakwa masih ditahan di rutan Lhoknga, Aceh Besar.(una)

Kasus Gapoktan Agara Mengendap

Serambi Indonesia

Jumat, 20 Juni 2014 10:59 WIB

* MaTA akan Laporkan BPKP Aceh ke Pusat

KUTACANE - Kasus bantuan untuk gabungan kelompok tani (Gapoktan) Aceh Tenggara (Agara) tahun 2012 sebesar Rp 5,6 miliar masih mengendap. Lembaga pemantau korupsi Aceh, MaTA akan segera melaporkan BPKP Aceh ke BPKP Pusat, seiring berlarut-larutnya kasus tersebut yang sudah dituntaskan  Polres Agara sejak Maret 2013 lalu.

Kasus itu muncul dari Bantuan Langsung Masyarakat Mandiri Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan (BLM-PUAP) dari Badan Ketahanan dan Penyuluhan (BKPLUH) Agara dari dana APBN 2012. Tetapi, BPKP Aceh yang telah menerima surat dari Polres Agara 1 tahun lalu untuk mengaudit kerugian negara belum juga memberi hasil dengan tersangka berinisial HS.

Kapolres Agara, AKBP Trisno Riyanto didampingi Kanit Tipikor, Ipda Bustani SH, kemarin mengatakan telah melimpahkan berkas Gapoktan BKPLUH Agara dari BLM-PUAP 2012 ke BPKP Aceh pada Maret 2013. Namun, hasil audit belum keluar, walau berkas telah lengkap dikirim.

“Berkas kasus Gapoktan telah dikirim ke BPKP Aceh sejak Maret tahun lalu, tetapi hasil audit belum juga ada, sehingga kasus ini terus berlarut-larut,” kata AKPB Trisno Riyanto. Dia mengaku heran, BPKP Aceh tidak juga melakukan audit, sehingga mempengaruhi kinerja kepolisian dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi di Agara.

Menurutnya, dalam kasus itu, diperkirakan terdapat kerugian negara sekitar Rp 150 juta dari dana sebesar Rp 5,6 miliar. Sebelumnya, Trisno Riyanto menyatakan kasus itu masih menunggu audit BPKP Aceh. Dia  menyatakan sudah lama menangani kasus BLM-PUAP Gapoktan dan telah menetapkan seorang tersangka berinisial HS, namun, belum dilimpahkan ke jaksa karena masih menunggu hasil audit BPKP Aceh yang telah disurati pada Maret 2013 lalu. 

Menurut dia, BLM PUAP Gapoktan diberikan sebesar Rp 100 juta/kelompok dari jumlah 56 kelompok tani di Agara. Namun, ada empat  kelompok tani yang dananya dipotong yang diperkirakan kerugian mencapai Rp 150 Juta, selain dana disalahgunakan, seperti untuk kelompok tani, tapi diperuntukan untuk kegiatan lain.

Alfian Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparan Aceh (MaTA), Kamis (19/6) mengatakan pihaknya akan segera melaporkan kebobrokan BPKP Aceh ke BPKP Pusat. Dia menilai, BPKP Aceh tidak konsisten untuk mengaudit kasus tindak pidana korupsi Gapoktan BLM-PUAP 2012 BKPLUH Agara, sehingga sudah masuk dalam tahapan sangat mengkhawatirkan.

Alfian menyatakan kasus Gapoktan yang sudah selesai pada Polres Agara, tetapi masih mengendap di BPKP Aceh. Menurut catatan MaTA, hal ini bukan kasus pertama, karena sudah banyak yang ditemukan dan pihak BPKP selalu berdalih tidak lengkap berkas dari penyidik sehingga terkendala audit. 

Parahnya lagi, sebutnya, penyidik Polres mengatakan sudah lengkap berkas, tapi BPKP mengatakan tidak lengkap. “Kalau saling lempar masalah, kenapa tidak dikoordinasikan antara penyidik dengan auditor, sehingga tidak berlarut-larut,” katanya.

Dia mengungkapkan, dalam memonitoring audit, hal ini bukan yang pertama kali terjadi, karena kasus beasiswa Unsyiah juga sama. “Kita berharap antara penyidik dan BPKP saling menjaga integritas, karena sangat berbahaya kondisi negeri ini, kalau pejabat sudah mendukung para koruptor.”Kata Alfian.

Dia mengaku terus memantau beberapa kasus dalam status audit BPKP Aceh, salah satunya Gapoktan Agara yang sudah berlarut-larut satu tahun lebih. Alfian menyatakan kasus tersebut mirip dengan Pengadaan hand trator di Dinas Pertanian Aceh yang saat ini masih kabur auditnya. 

Alfian menegaskan tim investigasi BPKP Aceh harus dilaporkan ke BPKP Pusat, karena modus penundaan audit harus dicurigai dan tidak boleh dibiarkan lagi. “Korupsi itu kejahatan luar biasa, yang seharusnya Negara juga harus menanganinya secara luar biasa, bukannya memainkan kasus,” ujarnya.

Dia menyebutkan akan meminta secara resmi ke BPKP Pusat untuk mengevaluasi kinerja tim investigasi BPKP Aceh, karena diduga sudah melanggar kode etik sebagai auditor negara dalam menegakkan hukum yang adil dan transparan.

Kepala Bidang (Kabid) Investigasi BPKP Aceh, Sudiro yang dihubungi Serambi, Kamis (19/6) mengatakan berkas penyidik Polres Agara atas kasus Gapoktan

BLM-PUAP 2012 BKPLUH Agara belum lengkap. Dia menyatakan jika sudah lengkap, pasti akan mengeluarkan surat tugas untuk turun ke lapangan. 

“Tetapi, berkasnya tidak lengkap, sehingga mana mungkin kita turun tanpa berkas yang lengkap, sama seperti wartawan yang juga tidak mungkin bisa meliput kalau tidak ada surat tugas,” klaimnya. 

Saat ditanyai tentang surat dari BPKP Aceh ke penyidik Polres Agara, soal berkas itu sudah setahun tapi tidak lengkap,  Sudiro menjawab: Berkasnya tidak lengkap, tanyakan saja ke penyidik sana, baru telepon saya dan simpulkan saja sendiri kasus tersebut,”ujarnya singkat.(as)