Kamis, 30 Juli 2015

Aceh Bertabur Proyek Terbengkalai



Senin, 23 Februari 2015 15:10


Kondisi gedung Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Desa Ketapang Indah, Singkil Utara, Aceh Singkil. SERAMBI/DEDE ROSADI

Di berbagai kabupaten/kota di Aceh, proyek-proyek terbengkalai, ditelantarkan, atau tidak difungsikan, bertaburan jumlahnya. Ada yang bernilai puluhan juta, ada pula yang mencapai puluhan miliar rupiah. Serambi hanya mengulas sebagian kecil saja dari proyek yang sudah menghabiskan banyak dana publik itu, namun ditelantarkan, dalam laporan eksklusif berikut ini.

ACEH mengalami peningkatan penerimaan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Sumber dana Aceh yang besar itu akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Sejak tahun 1999, penerimaan daerah yang dikelola pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh meningkat tajam.

Jika plafon APBA tahun 2010 sebesar Rp 7,64 triliun, kini di tahun 2015 meningkat drastis hingga Rp 12,7 triliun. Faktor pendukung lonjakan ini, antara lain, pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) mulai tahun 2002 dan peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) yang luar biasa di tahun 2006.

Namun, keberkahan rezeki ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Lihat saja, angka kemiskinan rata-rata di Aceh masih di atas angka rata-rata nasional.
Dengan uang yang berlimpah, sejumlah kepala daerah malah berlomba-lomba membuat proyek prestisius dengan anggaran puluhan miliar rupiah. Namun, ide-ide besar itu sering gagal dalam tahap implementasi.

Ada beragam penyebab proyek terbengkalai atau tak difungsikan, antara lain, karena tidak rampung lantaran kehabisan dana, timbul permasalahan hukum, pemilihan lokasi yang tidak tepat, hingga keengganan para pejabat baru melanjutkan program pejabat lama.

Sejatinya, proyek-proyek tersebut dibangun tanpa perencanaan yang matang. Kebijakan sering berubah ketika berganti pucuk pimpinan daerah. Ada bahkan proyek yang anggarannya menghabiskan hampir Rp 50 miliar, tapi dibiarkan saja terbengkalai.

Di Aceh Singkil, malah ada gedung sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dibiarkan lapuk di tengah hutan. Konon, sebabnya sederhana saja, lantaran status RSBI tak dibolehkan lagi dalam menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. MK memang memutuskan bahwa penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI, dan Sekolah Reguler, sebagai bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan Konstitusi RI.

Pengamatan Serambi, gedung itu berdiri megah di tengah hutan belukar yang mengelilinginya. Bertahun-tahun dibiarkan tanpa dimanfaatkan meski pembangunannya sendiri sudah tuntas

Di Padang Tiji, Pidie, ada proyek pengembangan benih ikan yang tak fungsional dalam waktu lama. Proyek bernilai puluhan miliar rupiah ini rampung dikerjakan tahun 2005. Pernah difungsikan beberapa saat, namun sejak tahun 2012 hingga kini dibiarkan begitu saja.

Pihak Dinas Perikanan Pidie beralasan bahwa pasokan air merupakan kendala pemanfaatan balai benih ikan ini. Namun, bukankah jauh-jauh hari bisa diprediksi ketersediaan air yang merupakan parameter sangat vital dalam pembangunan sektor perikanan mana pun di dunia ini?

Di level provinsi pun sejumlah proyek dengan anggaran miliaran rupiah bernasib serupa. Sebut saja di antaranya pembangunan gedung Islamic Center Aceh yang terletak di pinggiran Kota Banda Aceh atau tepatnya di Jalan Soekarno-Hatta Lampeunerut, Aceh Besar.

Serambi yang datang ke lokasi bangunan tiga lantai itu melihat hanya tinggal tiang beton menjulang dan fondasi. Semak belukar tumbuh liar di sekitar bangunan. Berdasarkan data yang ditelusuri Serambi, bangunan Islamic Center Aceh ini awalnya digagas Gubernur Abdullah Puteh.

Kompleks ini sedianya menjadi maskot Provinsi Aceh sebagai daerah pertama berkembangnya Islam di Nusantara. Namun belakangan beredar kabar, Kompleks Islamic Center dihentikan pembangunannya karena di kawasan itu sudah dibangun Meuligoe Wali Nanggroe dengan anggaran mencapai Rp 15 miliar.

Mantan kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda Aceh, Khairiwas pada 17 Desember 2010 silam menjelaskan bahwa Meuligoe Wali berdiri di atas lahan milik Pemerintah Aceh seluas 12,9 hektare. Awalnya di lahan itu rencananya akan dibangun Islamic Center, bahkan sebelah barat gedung itu sudah berdiri bangunan beton untuk Islamic Center.

“Tapi berdasarkan rapat bersama bahwa di Banda Aceh sudah ada UIN Ar-Raniry serta banyak pesantren, maka Islamic Center ini tidak dilanjutkan pembangunannya. Meski begitu, bangunan yang telah dibangun itu tidak sia-sia, tapi dilanjutkan untuk perkantoran Wali Nanggroe,” sebutnya.

Selain Islamic Center, terdapat juga berapa bangunan lainnya yang tak difungsikan maksimal di jantung Kota Banda Aceh. Beberapa di antaranya gedung Samsung IT Learning Center di Jalan Tgk Syech Mudawali, Puskesmas Pembantu sumbangan dari Bulan Sabit Merah di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, dan Terminal Bus di Saree, Kabupaten Aceh Besar.

Semua permasalahan tersebut mestinya tidak akan terjadi jika jauh-jauh hari direncanakan dengan baik. Perencanaan dilakukan agar proyek yang dikerjakan terarah dan meningkatkan efisiensi untuk menghindari pemborosan. Dalam perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas, memilih urutan-urutan mana yang terpenting.

Perencanaan juga membuka kesempatan memilih alternatif terbaik dari opsi yang tersedia. Namun, jika melihat daftar proyek yang “bermasalah” tersebut, perencanaan demikian sepertinya tidak dilakukan.

Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, banyak proyek yang kemudian telantar di seluruh Aceh tidak terlepas dari kepentingan para pihak untuk mencari untung, bukan justru karena kebutuhan masyarakat.

“Persoalan yang paling mendasar sebetulnya adalah perencanaan proyek yang kini terbengkalai di Aceh bukan atas dasar kebutuhan masyarakat, tapi justru atas dasar keinginan pejabat,” kata Alfian menjawab Serambi di Banda Aceh, Minggu (22/2)
.
Menurutnya, proyek yang dibangun atas dasar keinginan pejabat (eksekutif maupun legislatif), hampir selalu menyisakan masalah.

Dia sebutkan, jika proyek itu dibangun atas dasar kebutuhan, tentulah akan berguna bagi masyarakat. Tapi, kata dia, sebagian besar proyek yang bermasalah itu justru dibangun atas keinginan para elite politik di pemerintahan.

Demikian pula halnya dengan pembangunan proyek pemerintah dan proses tender. Sebagian besarnya didominasi oleh keinginan untuk mencari fee dan keuntungan pribadi dan kelompok.
Berdasarkan temuan MaTA, ada banyak proyek yang digarap atas dasar keinginan, ujung-ujungnya menuai masalah.

Misalkan, ada rekanan yang menang tender, tapi tidak mengerjakan kewajibannya. Ada pula rekanan yang menarik dana termin (sesi) pertama, namun proyek tidak dia kerjakan. Malah ada pula yang sudah menarik dana proyek termin kedua, tapi proyek baru siap 10 persen.

“Sebetulnya yang paling bertanggung jawab adalah panitia tender dan instansi yang bersangkutan. Proyek diserahkan kepada rekanan yang tidak jelas rekam jejaknya, sehingga akhirnya menimbulkan banyak masalah di lapangan,” ujar Alfian. Nah?! (sak/sar)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar