Kamis, 30 Juli 2015
Daftar Proyek Terbengkalai
Senin, 23 Februari 2015 15:07
BANGUNAN Islamic Center di daerah perbatasan Aceh Tenggara-Tanah Karo, persisnya di Desa Lawe Pakam, Kecamatan Babul Makmur, tidak digunakan sebagaimana peruntukannya. Islamic Center ini merupakan proyek multiyears yang dananya bersumber dari APBA dengan nilai puluhan miliar rupiah. SERAMBI/ASNAWI
Terbengkalai, ditelantarakan, tak sepenuhnya tuntas, penggunaan di luar peruntukan, atau tak maksimal pemanfaatannya, adalah kondisi riil sebagian proyek di Aceh yang pembangunannya menggunakan uang publik. Lantaran terbatasnya space, Serambi hanya merangkum sebagian kecil saja proyek tersebut, seperti terlihat dalam tabel berikut ini:
Bireuen
* Satu unit pabrik pengolahan pakan ternak bantuan Jepang tahun 2000 di Gle Kuprai Gandapura hingga kini tidak difungsikan untuk menghasilkan pakan ternak. Selain bantuan Jepang, Pemkab Bireuen waktu itu juga mengucurkan bantuan tambahan Rp 100 juta pada tahun 2002, Rp 100 juta pada tahun 2004, kemudian bantuan mesin tahun 2013 yang dananya bersumber dari APBA.
* Pabrik inti keramik Juli, bantuan Pertamina tahun 2003 senilai Rp 1,2 miliar. Saat ini kondisinya terbengkalai.
* Pabrik Biodiesel di Desa Beunyot Juli. Pabrik tersebut dibangun tahun 2010 dengan dana Mensos RI Rp 1,5 miliar ditambah bantuan Otsus 2010 Rp 2,7 miliar, kemudian APBA 2012 Rp 300 juta. Pabrik ini sebetulnya mampu mengolah 20.000 butir kelapa per hari. Tapi tak difungsikan.
* Gedung pasar grosir Bireuen sebagai bagian dari paket bantuan tsunami. Gedung ini dibangun tahun 2007 oleh BRR NAD-Nias. Nilai bangunannya Rp 7 miliar. Diserahkan ke Pemkab Bireuen tahun 2009. Pernah ditempati sementara sebagai pasar grosir. Kemudian disewakan kepada Pante Perak Group tahun 2013. Setahun kemudian Pante Perak angkat kaki, gedung itu kosong hingga kini.
* Mesin press sabut kelapa bantuan Pertamina tahun 2011 lalu senilai Rp 800 juta belum difungsikan. Mesin tersebut terletak di pinggir jalan kawasan Desa Paya Meuneng, Peusangan.
* Pabrik susu kedelai di Peudada yang dibangun dengan dana APBA tahun 2006 Rp 6 miliar, hingga kemarin belum difungsikan.
* Pabrik garam beryodium yang dibangun Aceh Development Fund (ADF) tahun 2012 di Desa Jangka Alue Bie, Kecamatan Jangka, Bireuen, saat ini tak difungsikan. Awalnya sempat beroperasi beberapa bulan, tapi kini sepi dari aktivitas.
* Sejumlah pasar ikan bantuan BRR NAD-Nias di Bireuen tahun 2009 juga belum berfungsi, yaitu pasar ikan di Krueng Panjoe, Kutablang, di Blang Cot Tunong, Jeumpa, dan pasar ikan di Kuala. Termasuk pasar ikan di Desa Teupin Siron, Gandapura, dan pasar ikan di Desa Cot Iju Kecamatan Peusangan. Nilai proyek masing-masing pasar ikan ini berbeda-beda.
Aceh Tenggara
* Bangunan Islamic Center di daerah perbatasan Aceh Tenggara-Tanah Karo, persisnya di Desa Lawe Pakam, Kecamatan Babul Makmur, tidak digunakan sebagaimana peruntukannya. Islamic Center ini merupakan proyek multiyears yang dananya bersumber dari APBA bernilai puluhan miliar rupiah.
Kini beberapa ruangan gedung Islamic Center dijadikan aktivitas sebuah kampus swasta, yakni Sekolah TinggiI Ilmu Tarbiyah Babussalam. Sedangkan bangunan lain dibiarkan kosong.
* Pabrik kakao yang dibangun tahun 2009 bernilai miliaran rupiah tidak difungsikan sebagaimana peruntukannya. Bangunan tersebut saat ini jadi gudang jagung sekaligus Kantor BUMD Makmur Sepakat.
Aceh Barat Daya
* Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Desa Persiapan Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot, bernilai Rp 26 miliar lebih dibangun dengan sumber dana APBA (Otsus) 2010. Kini sudah jadi hutan muda. Ada bangunan mesin. Beberapa rumah manajer dan karyawan sudah ditumbuhi tanaman liar. Sebagian daun pintunya malah sudah dicuri.
* Proyek Jembatan Krueng Teukuh, Kecamatan Babahrot, bernilai Rp 10,9 miliar, dibangun dengan dana APBK Perubahan Abdya 2012. Jembatan sudah dipasang di sebagian kerangka baja. Saat ini warga menyeberangi sungai masih masih menggunakan rakit.
* Proyek Pasar Tradisional Pante Rakyat, Babahrot, bernilai Rp 900 juta dengan sumber dana APBN Kementerian Koperasi dan UKM (APBN) 2013. Status, ditelantarkan. Ada 20 los pasar yang dibuat, tapi tak beratap. Sepertiga bagian lantai sudah pakai keramik.
* Pasar tradisional di Desa Ujong Tanoh, Kecamatan Setia, dibangun tahun 2008. Sudah selesai, tapi tak difungsikan, sehingga kini rusak, bahkan jadi kandang ternak. Anggarannya Rp 900 juta.
* Pasar tradisional Desa Seuneulob, Kecamatan Manggeng, dibangun 2011. Kondisinya mirip dengan pasar di Desa Ujong Tanoh.
* Sistem Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan (SPAM IKK) Babahrot, dibangun tahun 2012. Dananya lebih dari Rp 4 miliar.Namun, tak berfungsi maksimal.
Aceh Utara
* Museum Samudera Pase di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
* Pasar kuliner Simpang Line 40 dibangun dengan Dana Otsus tahun 2008 senilai Rp 901 juta. Sampai kini tak difungsikan.
* Pembangunan Rumah Sakit Aceh Utara di Lhoksukon tahun 2010 dengan dana APBN Rp 4,2 miliar, tapi hanya sampai fondasinya.
Lhokseumawe
* Pabrik es di TPI Pusong, Kota Lhokseumawe dengan dana Otsus tahun 2009 Rp 3 miliar. Kondisinya saat ini terbengkalai. Asetnya dijarah.
* Terminal mobil penumpang dalam kota (labi-labi) di Kecamatan Banda Sakti. Hingga kini tak dimanfaatkan sesuai peruntukannya. Malah dijadikan tempat kontainer sampah.
* Pasar Pujasera di Lhokseumawe. Dibangun tahun 2013. Sumber dana APBN Rp 2,5 miliar. Hanya rampung 40 persen.
* Pasar ikan Cunda dibangun dengan Dana Otsus 2012 Rp 2,1 miliar. Kondisinya kini rusak parah.
Pidie
* Balai Benih Ikan (BBI) di Gampong Kupula Padang Tiji, Pidie, kini terbengkalai. Dibangun secara bertahap sekitar tahun 2002 dengan dana puluhan miliar rupiah. Luas areal proyek BBI ini mencapai 4 ha. Dinas Kelautan Perikanan Pidie menyebut ketiadaan air sebagai faktor utama BBI ini tak bisa difungsikan.
Pidie Jaya
* Gedung Serbaguna belum rampung dibangun oleh Pemkab Pijay, terletak dalam komplek perkantoran Cot Trieng. Dibangun tahun 2012, sumber dana proyek multiyears ini, antara lain, dari APBN, APBA, serta APBK.
Pemkab Pijay mengaku sedang mencari dana untuk kelanjutan proyek yang telah menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar ini. (aya/yus/c43/bah/nun/as/de)
Aceh Bertabur Proyek Terbengkalai
Senin, 23 Februari 2015 15:10
Kondisi gedung Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Desa Ketapang Indah, Singkil Utara, Aceh Singkil. SERAMBI/DEDE ROSADI
Di berbagai kabupaten/kota di Aceh, proyek-proyek terbengkalai, ditelantarkan, atau tidak difungsikan, bertaburan jumlahnya. Ada yang bernilai puluhan juta, ada pula yang mencapai puluhan miliar rupiah. Serambi hanya mengulas sebagian kecil saja dari proyek yang sudah menghabiskan banyak dana publik itu, namun ditelantarkan, dalam laporan eksklusif berikut ini.
ACEH mengalami peningkatan penerimaan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Sumber dana Aceh yang besar itu akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Sejak tahun 1999, penerimaan daerah yang dikelola pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh meningkat tajam.
Jika plafon APBA tahun 2010 sebesar Rp 7,64 triliun, kini di tahun 2015 meningkat drastis hingga Rp 12,7 triliun. Faktor pendukung lonjakan ini, antara lain, pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) mulai tahun 2002 dan peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) yang luar biasa di tahun 2006.
Namun, keberkahan rezeki ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Lihat saja, angka kemiskinan rata-rata di Aceh masih di atas angka rata-rata nasional.
Dengan uang yang berlimpah, sejumlah kepala daerah malah berlomba-lomba membuat proyek prestisius dengan anggaran puluhan miliar rupiah. Namun, ide-ide besar itu sering gagal dalam tahap implementasi.
Ada beragam penyebab proyek terbengkalai atau tak difungsikan, antara lain, karena tidak rampung lantaran kehabisan dana, timbul permasalahan hukum, pemilihan lokasi yang tidak tepat, hingga keengganan para pejabat baru melanjutkan program pejabat lama.
Sejatinya, proyek-proyek tersebut dibangun tanpa perencanaan yang matang. Kebijakan sering berubah ketika berganti pucuk pimpinan daerah. Ada bahkan proyek yang anggarannya menghabiskan hampir Rp 50 miliar, tapi dibiarkan saja terbengkalai.
Di Aceh Singkil, malah ada gedung sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dibiarkan lapuk di tengah hutan. Konon, sebabnya sederhana saja, lantaran status RSBI tak dibolehkan lagi dalam menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. MK memang memutuskan bahwa penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI, dan Sekolah Reguler, sebagai bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan Konstitusi RI.
Pengamatan Serambi, gedung itu berdiri megah di tengah hutan belukar yang mengelilinginya. Bertahun-tahun dibiarkan tanpa dimanfaatkan meski pembangunannya sendiri sudah tuntas
Di Padang Tiji, Pidie, ada proyek pengembangan benih ikan yang tak fungsional dalam waktu lama. Proyek bernilai puluhan miliar rupiah ini rampung dikerjakan tahun 2005. Pernah difungsikan beberapa saat, namun sejak tahun 2012 hingga kini dibiarkan begitu saja.
Pihak Dinas Perikanan Pidie beralasan bahwa pasokan air merupakan kendala pemanfaatan balai benih ikan ini. Namun, bukankah jauh-jauh hari bisa diprediksi ketersediaan air yang merupakan parameter sangat vital dalam pembangunan sektor perikanan mana pun di dunia ini?
Di level provinsi pun sejumlah proyek dengan anggaran miliaran rupiah bernasib serupa. Sebut saja di antaranya pembangunan gedung Islamic Center Aceh yang terletak di pinggiran Kota Banda Aceh atau tepatnya di Jalan Soekarno-Hatta Lampeunerut, Aceh Besar.
Serambi yang datang ke lokasi bangunan tiga lantai itu melihat hanya tinggal tiang beton menjulang dan fondasi. Semak belukar tumbuh liar di sekitar bangunan. Berdasarkan data yang ditelusuri Serambi, bangunan Islamic Center Aceh ini awalnya digagas Gubernur Abdullah Puteh.
Kompleks ini sedianya menjadi maskot Provinsi Aceh sebagai daerah pertama berkembangnya Islam di Nusantara. Namun belakangan beredar kabar, Kompleks Islamic Center dihentikan pembangunannya karena di kawasan itu sudah dibangun Meuligoe Wali Nanggroe dengan anggaran mencapai Rp 15 miliar.
Mantan kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda Aceh, Khairiwas pada 17 Desember 2010 silam menjelaskan bahwa Meuligoe Wali berdiri di atas lahan milik Pemerintah Aceh seluas 12,9 hektare. Awalnya di lahan itu rencananya akan dibangun Islamic Center, bahkan sebelah barat gedung itu sudah berdiri bangunan beton untuk Islamic Center.
“Tapi berdasarkan rapat bersama bahwa di Banda Aceh sudah ada UIN Ar-Raniry serta banyak pesantren, maka Islamic Center ini tidak dilanjutkan pembangunannya. Meski begitu, bangunan yang telah dibangun itu tidak sia-sia, tapi dilanjutkan untuk perkantoran Wali Nanggroe,” sebutnya.
Selain Islamic Center, terdapat juga berapa bangunan lainnya yang tak difungsikan maksimal di jantung Kota Banda Aceh. Beberapa di antaranya gedung Samsung IT Learning Center di Jalan Tgk Syech Mudawali, Puskesmas Pembantu sumbangan dari Bulan Sabit Merah di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, dan Terminal Bus di Saree, Kabupaten Aceh Besar.
Semua permasalahan tersebut mestinya tidak akan terjadi jika jauh-jauh hari direncanakan dengan baik. Perencanaan dilakukan agar proyek yang dikerjakan terarah dan meningkatkan efisiensi untuk menghindari pemborosan. Dalam perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas, memilih urutan-urutan mana yang terpenting.
Perencanaan juga membuka kesempatan memilih alternatif terbaik dari opsi yang tersedia. Namun, jika melihat daftar proyek yang “bermasalah” tersebut, perencanaan demikian sepertinya tidak dilakukan.
Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, banyak proyek yang kemudian telantar di seluruh Aceh tidak terlepas dari kepentingan para pihak untuk mencari untung, bukan justru karena kebutuhan masyarakat.
“Persoalan yang paling mendasar sebetulnya adalah perencanaan proyek yang kini terbengkalai di Aceh bukan atas dasar kebutuhan masyarakat, tapi justru atas dasar keinginan pejabat,” kata Alfian menjawab Serambi di Banda Aceh, Minggu (22/2)
.
Menurutnya, proyek yang dibangun atas dasar keinginan pejabat (eksekutif maupun legislatif), hampir selalu menyisakan masalah.
Dia sebutkan, jika proyek itu dibangun atas dasar kebutuhan, tentulah akan berguna bagi masyarakat. Tapi, kata dia, sebagian besar proyek yang bermasalah itu justru dibangun atas keinginan para elite politik di pemerintahan.
Demikian pula halnya dengan pembangunan proyek pemerintah dan proses tender. Sebagian besarnya didominasi oleh keinginan untuk mencari fee dan keuntungan pribadi dan kelompok.
Berdasarkan temuan MaTA, ada banyak proyek yang digarap atas dasar keinginan, ujung-ujungnya menuai masalah.
Misalkan, ada rekanan yang menang tender, tapi tidak mengerjakan kewajibannya. Ada pula rekanan yang menarik dana termin (sesi) pertama, namun proyek tidak dia kerjakan. Malah ada pula yang sudah menarik dana proyek termin kedua, tapi proyek baru siap 10 persen.
“Sebetulnya yang paling bertanggung jawab adalah panitia tender dan instansi yang bersangkutan. Proyek diserahkan kepada rekanan yang tidak jelas rekam jejaknya, sehingga akhirnya menimbulkan banyak masalah di lapangan,” ujar Alfian. Nah?! (sak/sar)
Kapolda Haramkan Kutipan di Jembatan Bailey Mon Mata
Senin, 27 Juli 2015 16:08
* Perintahkan Kapolres Aceh Jaya Atasi Kemacetan
BANDA ACEH - Informasi tentang adanya kutipan yang diistilahkan sumbangan dari awak truk kepada oknum petugas ketika hendak melintas di jembatan bailey Mon Mata, Krueng Sabee ditanggapi serius oleh Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi.
“Kalau ada oknum petugas yang melakukan pengutipan kepada sopir truk atau kendaraan roda empat lainnya, itu namanya pungutan liar dan pelakunya bisa ditindak. Kutipan atau apapun namanya tidak boleh dilakukan dengan dalih apapun dan haram hukumnya,” tandas Kapolda Husein Hamidi menjawab Serambi, Minggu (26/7) menanggapi laporan adanya pengutipan uang dari para sopir truk yang melintas di jembatan bailey Mon Mata, Krueng Sabee, terutama truk-truk bermutatan di atas 20 ton.
Terkait informasi itu, Kapolda Aceh mengatakan telah memerintahkan Kapolres dan Wakapolres Aceh Jaya untuk mengusutnya dan laporkan pelakunya ke Polda Aceh untuk diambil tindakan. “Kalau dari pihak kepolisian, tidak mungkin mereka berani melakukan. Karena sejak jauh hari sudah saya ingatkan agar setelah jembatan bailey itu dioperasikan, atur lalu lintasnya dengan baik dan jangan ada pengutipan apapun kepada pengemudi, maupun masyarakat yang melintas di atas jembatan tersebut,” ujar Husein Hamidi.
Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi juga memerintahkan Kapolres Aceh Jaya untuk melancarkan kemacetan arus lalu lintas dari kedua arah menjelang jembatan bailey Krueng Sabee.
“Kita sudah perintahkan Kapolres Aceh Jaya untuk mengurai kemacetan arus lalu lintas dari kedua arah menjelang jembatan bailey Krueng Sabee,” kata Kapolda Aceh. Dan, menurut Kapolda Husein Hamidi, pada pukul 19.00 WIB tadi malam, kemacetan yang sempat terjadi sudah berhasil diurai dengan cara antrean dari kedua arah.
Pemantauan langsung Serambi di lapangan, ketentuan batas muatan 20 ton untuk bisa melintas di jembatan bailey Mon Mata, Krueng Sabe belum baku. Buktinya, banyak truk yang bermuatan di atas 20 ton tetap saja bisa lolos.
Sekitar pukul 20.40 WIB tadi malam, kembali terjadi antrean ratusan truk dan mobil pribadi dari arah Banda Aceh ke Meulaboh maupun sebaliknya hingga mencapai 2 kilometer. Kendaraan harus melintas satu per satu melewati jembatan bailey karena lebar jembatan hanya empat meter.
Kapolres Aceh Jaya, AKBP Riza Yulianto menjawab Serambi, Minggu (26/7) mengatakan, pihak kepolisian tetap menegaskan bahwa truk bermuatan di atas 20 ton tidak diizinkan melintas, kecuali sudah dikurangi tonasenya.
Namun kewenangan boleh atau tidaknya truk bermuatan di atas 20 melintas bukan hanya pada polisi akan tetapi ada di instansi pemerintah terkait lainnya seperti Dinas Perhubungan dan Dinas Pekerjaan Umum. “Kita hanya melakukan pengaturan lalu lintas dari tumpukan kemacetan dan antrean panjang,” kata Kapolres Aceh Jaya.(her/c45)
Ada Pungutan Liar di Jembatan Bailey Mon Mata
Selasa, 28 Juli 2015 12:19
Laporan Eddy Fitriady | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM - Kabar mengejutkan datang dari Mon Mata, Krueng Sabee, Aceh Jaya. Jembatan Bailey yang baru beberapa hari difungsikan itu jadi sorotan, sebab, ada beberapa oknum yang disinyalir anggota kepolisian 'bermain' di sana.
Seperti yang ditulis dalam Salam Serambi hari ini, 28 Juli 2015, Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi menanggapi serius kabar pungutan liar (pungli) tersebut dan berjanji akan mengusut tuntas kasus itu. Dia juga sudah memerintahkan Kapolres Aceh Jaya untuk mencari tahu oknum itu dan melaporkannya ke Polda Aceh untuk diberi tindakan tegas.
Di samping itu, kabar soal pungli di jembatan Mon Mata Aceh Jaya ini juga mendulang komentar para penelepon Cakrawala. Seperti yang disampaikan Didi, pelaku pungli di jembatan Mon Mata itu harus ditindak secepatnya sebelum 'mereka' menghilangkan jejak.
"Biasanya kalau sudah dibahas dalam forum seperti ini, pelaku lihai menghilangkan jejak. Saya berharap kepolisian menindak tegas pelaku, apalagi kalau memang berasal dari instansinya," kata dia, Selasa (28/7/2015).
Lain halnya dengan Sofyan, dia mengatakan bahwa masyarakat dapat menindak para pelaku pungli dengan memberikan sanksi sosial. "Masyarakat punya kekuatan yang lebih hebat, kita bisa memberikan hukuman sosial kepada pelaku," ujarnya.
Ketika ditanyai lebih lanjut seperti apa hukuman sosial yang dimaksud, Sofyan enggan menjawab secara gamblang. "Lewat media sosial," tandasnya.
Cakrawala edisi kali ini mengangkat topik "Suap atau Pungli di Jembatan Mon Mata?" Hadir di studio SerambiFM Wakil Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia, Asnawi Kumar dan dipandu penyiar Nico Firza.
Asnawi menjelaskan alasan yang melatarbelakangi diangkatnya topik tersebut. "Kemacetan yang terjadi di jembatan itu sudah mengganggu pengemudi mobil pribadi. Kita ingin mengungkapkan ini ke masyarakat bahwa ada dugaan pungli di sana berdasarkan laporan yang kita terima," jelasnya.
Dia menambahkan, imbas dari kemacetan yang berlarut-larut di Mon Mata ialah dapat berupa kenaikan harga barang. "Banyak truk membawa barang yang apabila tertahan di situ dapat berpengaruh terhadap harga barang. Dan yang kita dengar, kutipan liar itu sebesar dua hingga tiga ratus ribu rupiah pertruk. Itu jumlah yang cukup besar," tandasnya.(*)
Suap atau Pungli di Jembatan Mon Mata?
Selasa, 28 Juli 2015 14:11
Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi, menanggapi serius informasi tentang adanya kutipan yang diistilahkan sumbangan dari awak truk kepada oknum petugas ketika hendak melintas di jembatan bailey Mon Mata, Krueng Sabee, Aceh Jaya.
“Kalau ada oknum petugas yang melakukan pengutipan kepada sopir truk atau kendaraan roda empat lainnya, itu namanya pungutan liar dan pelakunya bisa ditindak. Kutipan atau apapun namanya tidak boleh dilakukan dengan dalih apapun dan haram hukumnya,” tandas Kapolda.
Kapolres Aceh Jaya juga sudah mendapat perintah untuk mengusut dan melaporkan pelakunya ke Polda Aceh untuk diambil tindakan. Kapolda mengatakan, “Pihak kepolisian sejak jauh hari sudah saya ingatkan agar setelah jembatan bailey itu dioperasikan, atur lalu lintasnya secara baik dan jangan ada pengutipan apapun kepada pengemudi, maupun masyarakat yang melintas di atas jembatan tersebut,” ujar Husein Hamidi.
Satu hal yang kita ingin ingatkan aparat adalah bahwa arus lalulintas darat di sana harus lancar sehingga tak menimbulkan banyak dampak buruk lain. Di antaranya, jika truk-truk pengangkut kebutuhan masyarakat seperti sembako ke kawasan barat dan selatan Aceh tertahan di Mon Mata, maka ada kemungkinan terjadi kelangkaan. Jika sudah langka, harga akan naik dan masyarakat mulai menjerit.
Kemudian, soal adanya “transaksi” tak beres antara pelintas dan oknum petugas, itu juga bisa diatasi. Biasanya, yang terjadi di lokasi seperti itu, termasuk jembatan timbang, adalah berawal suap. Dan, ketika suap itu terlaksana secara lancar, akhirnya jadi kutipan rutin.
Agar pelanggaran tak terus terjadi dan arus lalu lintas di jembatan sementara itu tetap lancar, maka para pengusaha angkutan harus disiplin pada ketentuan tonase. Jika dikatakan jembatan itu hanya boleh dilewati kenderaan berbeban kurang dari 20 ton, maka itu harus dipatuhi.
Sebab, bermuatan melebihi ketentuan ada dua bencana baru yang bisa muncul. Pertama terhadap truk itu sendiri, kadua terhadap ketahanan jembatan dimaksud. Jika sampai jembatan bailey itu ambruk, tentu bukan hanya pihak truk yang terganggu, tapi semua pelintas akan merasakan akibat buruknya. Yakni, terganggu perjalanan.
Dalam hal ini, kita percaya pada pernyataan Kapolres Aceh Jaya, AKBP Riza Yulianto, bahwa truk bermuatan melebihi 20 ton tidak diizinkan melintas, kecuali sudah dikurangi tonasenya. Ya, mungkin caranya dilakukan dengan sistem langsir. Dengan cara ini tak perlu ada yang menyuap dan takkan ada pula yang berani mengutip pada pelintas yang tidak bermasalah.
Lalu, mengenai jembatan permanen yang ambruk pada dua hari menjelang Idul Fitri kemarin, kita berharapa Pemerintah Provinsi atau Pusat segera mengalokasikan anggaran untuk pembangunan baru jembatan Mon Mata. Sebab, lokasi jembatan berada di lintas jalan nasional yang menjadi urat nadi ekonomi banyak masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota. Nah?!
Lembahtari: Biaya Perjalanan Dinas Dewan Boros
Rabu, 29 Juli 2015 14:23
* Tujuh Bulan Terserap 80 Persen
KUALASIMPANG - Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Advokasi Hutan Lestari (Lembahtari), Sayed ZainalM SH menilai penggunaan biaya perjalanan dinas untuk anggota DPRK Aceh Tamiang sangat boros. Disebutkan, baru tujuh bulan tahun berjalan dana yang terserap sudah mencapai 80 persen dari total anggaran sebesar Rp 7,8 miliar.
Direktur LSM Lembahtari, Sayed Zainal M SH kepada Serambi, Selasa (28/7) mengatakan, penggunaan setiap anggaran pemerintah terutama anggaran perjalan dinas harus berbasis pada kinerja sehingga tidak ada anggaran yang dikeluarkan sia-sia atau boros terlebih anggaran perjalan dinas DPRK Aceh Tamiang tergolong besar sehingga rawan manipulasi.
Selama ini rakyat tidak mengetahui hasil dari perjalanan dinas tersebut dan manfaatnya bagi peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dan masalah rakyat yang terselesaikan. “Rakyat wajib tahu hasil dari perjalanan dinas tersebut terlebih angaran yang digunakan tergolong besar, bahkan hingga Juli disebut sebut penggunaannya sudah mencapai 80 persen dari total biaya perjalan dinas tahuan 2015, Rp 7,8 miliar,” ujarnya.
Menurut Sayed Zainal, study banding, bimbingan teknis dan konsultasi yang dilakukan selama ini, tidak banyak dirasakan langsung manfaatnya oleh warga. Untuk itu dibutuhkan pengawasan, kontrol sosial dan audit terhadap kinerja DPRK Aceh Tamiang terkait penggunaan anggaran perjalan dinas tersebut.
Besarnya biaya perjalan dinas DPRK Aceh Tamiang untuk perjalan luar daerah sebesar Rp 6.045.785.000 dan untuk dalam daerah sebesar Rp 1.800.000.000. Dengan rincian antara lain, untuk kegiatan komisi-komisi di DPRK Tamiang, biaya perjalanan keluar daerah Rp 730.000.000 dan biaya perjalanan dalam daerah Rp 50 juta.
Pos kunjungan kerja keluar daerah, biaya perjalanan dinas Rp 922.749.000. Pos pendidikan dan pelatihan formal biaya perjalan dinas Rp 1.900.000.000. Pos pelaksanaan administrasi tata usaha kantor untuk perjalan dalam daerah sebesar Rp 356.000.000 dan luar daerah Rp 1.757.435.000.
Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang, Nora Idah Nita SE didampingi Sekretaris Dewan (Sekwan), Drs Zagusli mengatakan, penggunaan biaya perjalan dinas sesuai dengan urgensinya kebutuhan masalah rakyat yang dihadapi. Katanya, jika tidak sesuai perjalanan dinas dapat dipending kalau tidak penting.
Selain itu, memang ada perjalanan dinas yang merupakan bimbangan teknis bagi anggota dewan yang merupakan hak mereka. “Prosedur perjalanan dinas semuanya melalui Ketua DPRK, kalau tidak penting pasti beliau pending,” ujar Nora Idah Nita SE.
Sekretaris DPRK Aceh Tamiang, Zagusli juga mengakui serapan anggaran perjalan dinas DPRK Aceh Tamiang sudah mencapai 80 persen dari total anggaran perjalan dinas Rp 7,8 miliar, hal itu karena tingginya aktifitas dewan.
Menurutnya, hal itu wajar wajar saja dan sudah sesuai kebutuhan, karena jumlah anggota dewan yang pergi jumlahnya banyak.Seperti perjalanan dinas berulang kali ke Mendagri menanyakan masalah gaji dewan yang terlambat dibayar, karena saat itu kita tidak tahu kebijakan tersebut tiba tiba ada denda, gaji dewan tidak dibayar. “Kalau anggaran perjalan habis petengahan tahun, pihaknya akan mengajukan tambahan dalam APBK-P 2015 namun kalau tidak disetujui, secara otomatis anggota dewan tidak jalan,” ujarnya.
Di jelaskan, besarnya perjalan dinas DPRK karena anggota dewan pergi tidak dihitung perorang, melainkan per komisi plus tambah pendamping komisi.Sekwan juga membantah kerja dewan tidak terukur karena sifatnya hanya memfasilitas berbagai masalah yang diadukan warga seperti masalah karyawan PT Parasawita. “Dewan hanya menfasilitasi bukan mengambil keputusan,” ujarnya. Menurutnya, anggaran perjalan dinas DPRK Tamiang Rp 7,8 miliar masih wajar karena masih dibawah anggaran perjalanan dinas DPR Aceh yang mencapai Rp 9 miliar.(md)
Anggota DPRK Pijay Desak Fungsikan Pasar Terbengkalai
Kamis, 30 Juli 2015 14:46
Laporan Idris Ismail I Pidie Jaya
SERAMBINEWS.COM, MEUREUDU - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie Jaya, Fakhrurrazi SPdI mendesak Dinas Perindustrian, Perdangangan dan Koperasi (Disperindagkop) kabupaten setempat untuk dapat memfungsikan sejumlah fasilitas gedung pusat pasar yang telah terbengkalai sejak dua hingga empat tahun terakhir.
"Seperti halnya fasilitas pusat pasar ikan di Keudee, Kecamatan Trienggadeng yang dibangun sejak 2011 serta pusat pasar ikan di Pangwa yang telah dibangun 2013 lalu," ujarnya kepada Serambinews.com, Kamis (30/7/2015).
Padahal jika dikaji, pembangunan tersebut telah menguras dana publik Rp 3 miliar lebih namun, dikarenakan tak difungsikan sehingga menyebabkan fasilitas bangunan yang telah ada itu sia-sia belaka. Karenanya, lanjut politisi dari Partai Gerindra tersebut agar Disperindagkop untuk dapat mencari langkah dan upaya-upaya untuk memfungsikan fasilitas yang telah ada.
Termasuk, pasar ikan, sayur, serta sejumlah kios di Ulee Gle, Kecamatan Bandar Dua yang telah dibangun dapat segera difungsikan dengan melengkapi. Fasilitas pendukung berupa, saluran drainase untuk pembuangan air limbah. Hal ini dimaksudkan agar terwujud penertiban pasar dari kesemberautan."Sebab, letak pusat pasar di Ulee Gle merupakan pusat pasar paling padat di bagian timur di Kabupaten Pijay," jelasnya. (*)
2 Bupati aktif di Aceh dibidik Kejati terkait kasus korupsi
Selasa, 9 Desember 2014 20:52
Merdeka.com - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh saat ini tengah membidik dua Bupati di Aceh atas dugaan terlibat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Saat ini pihak penyidik sedang memburu satu alat bukti pendukung untuk meyakinan keduanya terlibat kasus merugikan keuangan negara.
Kepala Kejati Aceh, Tarmizi dalam pertemuan di ruang Aula Kejati Aceh dalam peringatan hari anti korupsi se-dunia, Selasa (9/12) mengatakan, dugaan keterlibatan kedua Bupati ini terjadi pada dua kasus berbeda. Namun memiliki modus hampir serupa, yakni turut menerima aliran dana dari sebuah kasus kejahatan korupsi.
"Kejadian ini di saat keduanya belum menduduki kursi nomor satu di Kabupatennya masing-masing," kata Tarmizi.
Bupati Gayo Lues, Ibnu Hasyim misalnya, dia patut diduga turut menerima aliran dana senilai Rp 1,305 miliar atas kasus Kasbon fiktif Aceh Tenggara tahun 2004-2006 Rp 21,4 miliar. Saat kejadian Ibnu Hasyim menduduki jabatan Kabag Keuangan Aceh Tenggara.
Selanjutnya, Bupati Aceh Utara Muhammad Thai, dia diduga menerima aliran dana dari pinjaman Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Utara tahun 2009 senilai Rp 654 juta dari total pinjaman Rp 7,5 miliar. Saat itu posisi Muhammad Thaib sebagai Staf Ahli Bupati Aceh Utara, Ilyas Pase.
Kedua kasus yang disidik Kejati Aceh tersebut sedang dalam proses sidang di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Untuk kasus Kasbon fiktif Aceh Tenggara hanya ada dua terdakwa, mantan Sekda Marthen Desky dan mantan pemegang Kas, M Yusuf I.
Sementara kasus Aceh Utara juga hanya ada dua terdakwa, mantan Kabag Ekonomi dan Investasi Aceh Utara, Melody Thaher dan mantan Bupati Ilyas Pase yang masih buron.
"Iya benar, keterlibatan keduanya masih kami selidiki. Dua alat bukti pendukung saja, kami akan menetapkan siapapun menjadi tersangka, meski dia seorang Bupati," tukasnya.
Tarmizi menegaskan akan berupaya membongkar dan menyeret para pelaku korupsi di Aceh ke penjara. Namun hal itu akan terwujud apabila penyidik dapat menemukan minimal dua alat bukti dari kejahatan korupsi yang dilakukan.
Dikatakannya, untuk dua Bupati ini pihaknya belum mendapatkan data akurat, apakah aliran dana yang masuk ke rekening mereka ada sangkut paut dengan kejahatan korupsi yang terjadi.
"Artinya, apakah beliau-beliau ini ikut serta mengambil anggaran atau hanya menerima aliran dananya saja. Ini yang kami belum dapatkan. Sebab, kebijakan yang dilakukan merupakan kunci dalam menetapkan seorang bersalah atau tidak," ujarnya.
Begitupun, Tarmizi berjanji akan terus berupaya untuk mencari fakta atas kasus-kasus korupsi yang ditangani. Pada dua kasus ini, katanya, tidak tertutup kemungkinan adanya tersangka baru meski posisi kasus sudah di Pengadilan Tipikor.
Sorot LKPJ Bupati, Panja DPRK Pidie Temukan Kejanggalan
Rabu, 29 Juli 2015 14:53
Laporan Idris Ismail I Pidie Jaya
SERAMBINEWS.COM, MEUREUDU - Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie Jaya, Rabu (29/7/2015) menyorot Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Pidie Jaya tahun anggaran 2014.
Panja menemukan kejanggalan berupa peningkatan anggaran namun tak berbanding lurus dengan realisasi di lapangan.
Pelapor Panja DPRK Pijay, Nazaruddin Ismail dalam sidang penyampaian tanggapan LKPJ tahun anggaran 2014 di ruang sidang dewan, Rabu (29/7/2015) setempat menyebutkan bahwa, alokasi dana Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) 2014 Rp 679.728.853.542 lebih tinggi dari tahun 2013 lalu Rp 522.534.064.526."Artinya, ini terjadi peningkatan anggaran sebesar Rp 157.194.807.016,"jelasnya.
Meski anggaran telah ditingkatkan ratusan miliar, namun, kinerja pemerintah atau aparatur pemerintahan tidak memperlihatkan kemajuan. Sepertihalnya dengan loporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undang Pemkab Pijay No 116/S/XVIII.BC/05/2015 tanggal 7 Mei 2015, membeberkan beberapa temuan yang patut segera ditindaklanjuti. (*)
2 Staf DPKKA jadi Tersangka Bobolnya Kas Aceh Rp 22 M
Kamis, 30 Juli 2015 14:45
BANDA ACEH - Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh kembali menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi dana migas Aceh pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) Rp 22 miliar lebih pada 2011. Dengan demikian sudah lima orang ditetapkan tersangka dalam perkara ini, salah satunya mantan Kepala DPKKA, Drs Paradis MSi.
Informasi ini awalnya diperoleh Serambi dari website Kejati Aceh. Kedua tersangka berinisial Hdy dan Muh. Keduanya ditetapkan tersangka pada Juli 2015. Sebelumnya, pada 18 Februari 2015 penyidik juga telah menetapkan mantan kepala DPKKA, Drs Paradis MSi bersama dua mantan pejabat DPKKA lainnya berinisial M dan H. “Iya benar, ada dua tersangka baru yang kita tetapkan,” kata Kasipenkum Kejati Aceh Amir Hamzah SH menjawab wartawan, Rabu (29/7).
Amir menjelaskan, penetapan kedua tersangka tersebut setelah tim penyidik mempelajari dan mendalami keterlibatan keduanya dalam bobolnya kas Aceh. Saat kejadian, kedua tersangka berstatus sebagai staf keuangan di DPKKA. “Kedua tersangka patut diduga turut bersama-sama dengan Paradis,” ujarnya.
Seperti diberitakan, kronologis kasus ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh yang dicatatkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas keuangan Pemerintah Aceh tahun 2012. Dalam LHP tersebut, kebobolan anggaran Aceh berjumlah Rp 33 miliar. Kemudian, BPK meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh menelusuri bobolnya kas ini.
Kebobolan terjadi dalam dua tahap, Rp 22 miliar pada tahun 2010 ke bawah dan Rp 11 miliar terjadi pada tahun 2011. Namun pada 2011, DPKKA telah mengembalikan kekurangan anggaran sebesar Rp 8 miliar.
Sedangkan kekurangan kas Rp 2 miliar pada 2011 ternyata keliru karena hanya kesalahan pencatatan. Kemudian, sisa kekurangan Rp 22 miliar lebih dari anggaran di bawah 2010 yang ditutupi pihak DPKKA menggunakan dana migas. Menurut penyidik, penggunaan dana migas tersebut tidak untuk semestinya sehingga mengalami kerugian Negara sebesar Rp 22 miliar lebih.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan pengungkapan kasus korupsi oleh kejaksaan banyak yang tidak tuntas. Apalagi menyangkut kasus-kasus yang melibatkan penyelenggara atau yang menerima aliran dana. Sehingga terkesan tebang pilih. Karena itu, dia meminta kasus ini diusut tuntas. (mz)
DPRA Balikkan Dokumen tanpa Kelanjutan Proyek Telantar
Kamis, 30 Juli 2015 14:41
BANDA ACEH – Pimpinan DPRA bersama Badan Anggaran DPRA memenuhi janji mereka mengundang Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) untuk mempertanyakan berbagai masalah daya serap APBA 2015 yang masih rendah, bahkan masih banyak proyek APBA 2015 belum dikerjakan rekanan.
“Selain itu, dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA dan PPAS) 2016 yang telah dikirim Bappeda ke DPRA sebelum bulan Ramadhan kemarin, sudah kita balikkan lagi ke pihak eksekutif karena isinya belum mengakomodasi aspirasi rakyat, seperti belum adanya kelanjutan pembangunan terhadap proyek telantar,” kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin kepada Serambi di ruang kerjanya, Rabu (29/7).
Didampingi Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda, Muharuddin mengatakan dokumen KUA PPAS itu dikembalikan setelah dibahas dengan TAPA, termasuk pembahasan tentang keterlambatan pelaksanaan proyek APBA 2015.
Muharuddin menyebutkan, hal-hal yang belum memenuhi aspirasi rakyat dalam dokumen itu, antara lain pihak eksekutif belum memasukkan semua daftar proyek telantar yang dibangun beberapa tahun untuk dibiayai kembali pada 2016 agar proyek tersebut bisa berfungsi, misalnya jembatan, jalan, gedung pemerintah, dan sekolah. Dewan meminta hal seperti ini dimasukkan.
Sementara itu, Asisten III, Muzakkar dan Ketua Bappeda Aceh, Prof Abubakar Karim MS mengatakan hal-hal penting yang disorot Pimpinan Dewan dan Banggar Dewan akan segera mereka tindaklanjuti. Dia berjanji kritikan, usul. dan saran pimpinan dan anggota Banggar Dewan akan disampaikan kepada masing-masing SKPA yang masih memiliki proyek belum dikerjakan.
Terkait pengembalian dokumen KUA dan PPAS 2016, kata Abubakar Karim, pihaknya akan memperbaikinya. “Kepada SKPA yang punya data proyek telantar, tolong dikirimkan untuk dimasukkan kembali dalam daftar proyek telantar dan akan dibiayai dalam RAPBA 2016,” kata Abubakar. (her)
Rabu, 29 Juli 2015
Laporkan Penyimpangan TenderLelang APBA ke anti Corruption Commission
April 28, 2015
Ketua Anti Corruption Commission (ACC) ,Razali Ismail Ubit, menyarankan Kepada Rekanan jika ditemukan indikasi penyimpangan pelaksanaan tender proyek APBA Aceh Tahun Anggaran 2015 hendaknya dilaporkan ke Anti corruption Commission. “Laporkan saja ke ACC,” agar kami dapat mengusut kasus penyimpangan Pelelangan APBA di aceh,Ini bertujuan agar semua lapisan masyarakat bisa memantau pelaksanaan tender APBA tahun Anggaran 2015 .
Proses pelelangan tersebut disinyalir sarat dengan kepentingan pihak tertentu. “Mulai dari perencanaan, pengajuan anggaran, sampai pelaksanaan lelang.
ACC Desak polisi dan Kejaksaan Usut Proyek Pembangunan Bendung Irigasi Gp. Seuneubok Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara ?
Anti Corruption Commission (ACC) meminta Kepolisian Daerah Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh. harus bekerjasama mengusut proyek Pembangunan Bendung Irigasi Gp. Seuneubok Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara ,yang dikerjakan oleh Rekanan PT Salima Bersama, dengan nilai Kontrak Tahun Anggaran 2014 Rp 5.033.607.000,00.
Hasil investigasi Anti Corruption Commission (ACC) dilakukan kelokasi Pekerjaan Sampai Minggu Kemaren Pekerjaan Pembangunan Bendung Irigasi Gp. Seuneubok Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara masih dalam Tahapan pelaksanaan Pekerjaan.
KORUPSI MODUS BARU MELALUI ANGGARAN SWAKELOLA APBA ACEH TH 2015 RP 2.8 T
May 27, 2015
Hasil Investigasi Anti Corruption Corruption (ACC) Tentang Anggaran Swakelola Pemerintah Aceh sangat tidak masuk akal dan Banyak Direkayasa oleh Pejabat SKPA Aceh ,banyak pos Anggaran Tahun 2015 melalui swakelola yang jumlah anggaran Milyar rupiah untuk setiap paket pekerjaan . kuat Dugaan Anti Corruption Commission (ACC) ini jelas sangat merugikan Negara dan Aceh ,saya meminta kepada Komisi Pemberatsan Korupsi (KPK), mengusut dugaan Korupsi Modus Baru Korupsi SKPA Aceh dengan cara swakelola yang sangat tidak masuk akal, Ada beberapa Pos kegiatan Swakelola yang kami temukan dan sangat kami ragukan,
Anti Corruption Commission selalu melakukakan investigasi ke setiap Dinas SKPA dipemerintah Aceh baik Melalui Penyedia Pelelangan Secara langsung maupun Swakelola ,menurut pantau Anti Corruption Commission Dugaan Korupsi Modus Baru Diaceh melalui Sistem Swakelola yang dilaksanakan oleh Dinas terkait yang melibatkan Pejabat Tinggi Aceh ,terjadi Korupsi Modus baru dikarenakan Lemahnya pengawas dari Komisi Pemberatasan Korupsi di Aceh.
Anti Corruption Commission Meminta Gubernur Aceh Dan SKPA jangan Coba- Coba Melakukan Korupsi Modus baru Di Aceh yang dapat merugikan Negara dan semua Pihak dan Rakyat Aceh .
Anti Corruption Commission (ACC) akan mengirimkan Anggotanya kesetiap SKPA untuk memantau Gerak Gerik SKPA se Aceh ,agar Pencegahan Korupsi di Aceh dapat dilaksanakan secara dini dan secara bertahap ,dengan hadir anggota ACC dalam Lingkungan SKPA ,secara tidak langsung Pejabat terkait akan berhati hati melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugas dan mengelola APBA Tahun Anggaran 2015
Kejati Didesak Usut Kasus di Gunong Kong
Puluhan Masyarakat dan Mahasiswa yang tergabung dalam Barisan Rakyat Anti Korupsi (BARAK) didepan kantor Kejati Aceh, Selasa (7/7) di Banda Aceh./Put/Rakyat Aceh
BANDA ACEH – Kejaksaan Tinggi Aceh (Kejati) Aceh didesak untuk segera mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi program percepatan penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal di gampong Gunong Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya. Hal tersebut disampaikan oleh Puluhan Masyarakat dan Mahasiswa yang tergabung dalam Barisan Rakyat Anti Korupsi (BARAK) di depan kantor Kejati Aceh, Selasa (7/7), di Banda Aceh.
Koordinator Aksi, Rahmad Fajri mengatakan Pemerintah Aceh dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) telah memplotkan anggaran untuk Pelaksanaan program Penanganan Masyarakat Terisolir dan tertinggal Gampong Gunong Kong TA 2007 dan 2008 senilai Rp 18,3 Miliar, Tapi kenyataannya anggaran yang sudah sangat besar tidak sesuai dengan yang terjadi dilapangan.
“Hasil pembangunan menjadi saat ini telah terbengkalai. Kemudian berdasarkan hasil telaah atas dokumen pelaksanaan yang dilaksanakan oleh SKPA diketahui beberapa hasil pembangunan belum bisa dimanfaatkan dan bahkan menjadi terlantar seperti yang terjadi saat ini,” kata Rahmad Fajri.
Rahmad menjelaskan bahwa ada beberapa proyek yang dilaksanakan di Nagan Raya seperti Pembangunan kebun kelapa sawit oleh dinas kehutanan dan perkebunan seluas 276 Ha, Pelaksanaan rehabilitasi/pencetakan sawah baru, Pelaksanaan kegiatan sarana prasarana pemerintah berupa Kantor Gampong, Balai Gampong, Sekolah Dasar dan pembangunan rumah sebanyak 50 unit senilai Rp 2,99 miliar belum diselesaikan hingga tanggal 29 juli 2009. Selain itu, pembangunan puskesmas pembantu dan pagar serta rumah petugas puntu.
“Semua proyek yang dilaksanakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan menurut hasil uji petik (telaah-red) atas pelaksanaan kegiatan pada dinas pengairan menunjukkan bahwa terdapat pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan kontrak, yakni Pembangunan Irigasi D.I. Kr. Alue Breuh lanjutan dikerjakan oleh CV Rimba Raya dan Pembangunan Irigasi D.I. Kr. Alue Pisang dikerjakan oleh CV Gua Lha,” ujarnya.
Hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2009 untuk anggaran 2008, tambah Rahmad Fajri menemukan kerugian negara untuk program percepatan penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal di Gampong Gunong Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya mencapai Rp. 7 miliar.
“Kepala Kejaksaan Tinggi pada saat itu M Yusni pernah berjanji akan segera menindaklanjuti atas temuan tersebut, Namun fakta yang terjadi adalah setelah sekian lama temuan tersebut, Pihak Kejati Aceh seperti tutup mata dan tidak memproses dengan apa yang sudah terjadi, Padahal sudah jelas bahwa kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 7 miliar,” tambah Rahmad.
Untuk itu, Pihaknya meminta Kejati Aceh untuk segera menindaklanjuti janji yang pernah disampaikan oleh Kajati Aceh sebelumnya. Penyelesaian kasus ini akan menjadi salah satu indikator publik terhadap aparat hukum dalam menyelesaikan kasus dugaan tindak pidana korupsi.
“Pihak Kejati perlu segera memanggil dan memeriksa seluruh oknum-oknum yang terlibat dalam program Penanganan Masyarakat Terisolir dan Tertinggal Gampong Gunong Kong,” tegas Rahmad Fajri.
Aksi yang dibawah pengawalan ketat pihak kepolisian tersebut berlangsung secara damai dan tentram, para demonstran juga membawa beberapa spanduk besar dan orang-orangan yang memakai jas dan dasi.
Setelah melakukan orasi secara bergantian, kemudian pihak Kejati Aceh yang diwakili oleh Kepala Penerangan Hukum dan Humas (Kasipenkum) Amir Hamzah datang untuk menemui para demontran.
Di depan para demontran, Amir Hamzah mengatakan ucapan terima kasih kepada para demontran yang selalu mengingatkan pihak aparat hukum untuk terus memberantas korupsi khususnya di Aceh.
“Untuk kasus ini, saya akan sampaikan kepada pimpinan nantinya, kalau memang kawan-kawan ingin menjumpai pimpinan untuk menanyakan kasus ini, saya akan fasilitasi, tapi hanya untuk lima orang perwakilan saja,” jelas Amir Hamzah.
Setelah mendengarkan penjelasan dari pihak Kejati, Kemudian para demontran menyerahkan dokumen dan beberapa barang bukti terkait dugaan indikasi korupsi di Nagan Raya kepada pihak kejati dan berharap untuk segera memprosesnya. Tepat pada pukul 11.30 wib, kemudian para demonstran membubarkan diri. (put)
Aktivis Tuntut Korupsi Gunung Kong Diusut
Juli 7, 2015 - Aceh
Banda Aceh ( Berita ) : Aktivis antikorupsi di Aceh yang tergabung dalam Barisan Antikorupsi menuntut Kejaksaan Tinggi Aceh mengusut dugaan korupsi proyek pembangunan kawasan terisolir di Gunung Kong, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
Tuntutan tersebut disampaikan massa Barisan Antikorupsi dalam unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Aceh di Banda Aceh, Selasa [07/07]. Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa mengusung poster bertuliskan "Bapak Kajati Aceh Jangan Diam", "Usut Korupsi Gunung Kong", dan lain sebagainya.
Unjuk rasa tersebut mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. Aksi tersebut sempat menarik perhatian warga yang lalu lalang di jalan depan kantor Kejaksaan Tinggi Aceh di kawasan Batoh, Banda Aceh.
Rahmad Fajri, koordinator aksi, mengatakan, Pemerintah Aceh pada tahun anggaran 2007 dan 2008 menganggarkan pembangunan kawasan tertinggal di Gunung Kong, Kabupaten Nagan Raya, mencapai Rp 18,3 miliar. "Namun, pembangunannya tidak sesuai yang diharapkan, dan berpotensi merugikan keuangan negara. Dan kami menduga, hanya 50 persen yang dikerjakan, Selebihnya, fiktif," kata dia.
Selain itu, kata dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun 2008 menemukan potensi kerugian negara dalam kasus korupsi Gunung Kong mencapai Rp7 miliar.
Oleh karena itu, Rahmad Fajri mengatakan Kejaksaan Tinggi Aceh mengusut tuntas dugaan korupsi Gunung Kong. Penyelesaian kasus korupsi ini menjadi indikator publik terhadap aparat hukum dalam menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi di Aceh. "Kami juga mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh segera memanggil dan memeriksa semua yang terlibat, karena potensi kerugian negaranya mencapai miliaran rupiah," kata Rahmad Fajri.
Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh Amir Hamzah yang menerima kedatangan pengunjuk rasa mengatakan, pihaknya akan menyampaikan apa yang disuarakan massa kepada atasan. "Apa yang kalian sampaikan ini akan saya teruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh untuk ditindaklanjuti. Kalau ada pengunjuk rasa ingin berjumpa dengan Kepala Kejaksaan Tinggi, saya mengundang lima orang perwakilan," kata dia.
Kejaksaan, kata Amir Hamzah, tidak akan menutup-nutupi atau mendiamkan perkara korupsi apapun. Semuanya diungkap secara transparan ke publik atau masyarakat. "Begitu juga dengan kasus Gunung Kong, kalau memang ada potensi kerugian negaranya, tentu kami tindak lanjuti. Karena itu, berikan kami waktu mempelajarinya," ungkap Amir Hamzah.
Massa antikorupsi akhirnya membubarkan diri usai mendengarkan penjelasan Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh. Massa berjanji akan mengawal terus dugaan korupsi Gunung Kong tersebut. (ant )
Banda Aceh ( Berita ) : Aktivis antikorupsi di Aceh yang tergabung dalam Barisan Antikorupsi menuntut Kejaksaan Tinggi Aceh mengusut dugaan korupsi proyek pembangunan kawasan terisolir di Gunung Kong, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
Tuntutan tersebut disampaikan massa Barisan Antikorupsi dalam unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Aceh di Banda Aceh, Selasa [07/07]. Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa mengusung poster bertuliskan "Bapak Kajati Aceh Jangan Diam", "Usut Korupsi Gunung Kong", dan lain sebagainya.
Unjuk rasa tersebut mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. Aksi tersebut sempat menarik perhatian warga yang lalu lalang di jalan depan kantor Kejaksaan Tinggi Aceh di kawasan Batoh, Banda Aceh.
Rahmad Fajri, koordinator aksi, mengatakan, Pemerintah Aceh pada tahun anggaran 2007 dan 2008 menganggarkan pembangunan kawasan tertinggal di Gunung Kong, Kabupaten Nagan Raya, mencapai Rp 18,3 miliar. "Namun, pembangunannya tidak sesuai yang diharapkan, dan berpotensi merugikan keuangan negara. Dan kami menduga, hanya 50 persen yang dikerjakan, Selebihnya, fiktif," kata dia.
Selain itu, kata dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun 2008 menemukan potensi kerugian negara dalam kasus korupsi Gunung Kong mencapai Rp7 miliar.
Oleh karena itu, Rahmad Fajri mengatakan Kejaksaan Tinggi Aceh mengusut tuntas dugaan korupsi Gunung Kong. Penyelesaian kasus korupsi ini menjadi indikator publik terhadap aparat hukum dalam menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi di Aceh. "Kami juga mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh segera memanggil dan memeriksa semua yang terlibat, karena potensi kerugian negaranya mencapai miliaran rupiah," kata Rahmad Fajri.
Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh Amir Hamzah yang menerima kedatangan pengunjuk rasa mengatakan, pihaknya akan menyampaikan apa yang disuarakan massa kepada atasan. "Apa yang kalian sampaikan ini akan saya teruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh untuk ditindaklanjuti. Kalau ada pengunjuk rasa ingin berjumpa dengan Kepala Kejaksaan Tinggi, saya mengundang lima orang perwakilan," kata dia.
Kejaksaan, kata Amir Hamzah, tidak akan menutup-nutupi atau mendiamkan perkara korupsi apapun. Semuanya diungkap secara transparan ke publik atau masyarakat. "Begitu juga dengan kasus Gunung Kong, kalau memang ada potensi kerugian negaranya, tentu kami tindak lanjuti. Karena itu, berikan kami waktu mempelajarinya," ungkap Amir Hamzah.
Massa antikorupsi akhirnya membubarkan diri usai mendengarkan penjelasan Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh. Massa berjanji akan mengawal terus dugaan korupsi Gunung Kong tersebut. (ant )
Kejati Agar Selesaikan Kasus “Gunung Kong”
Rabu, 8 Juli 2015
(Analisa/reza fahlevi) KASUS GUNUNG KONG: Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah, menanggapi aksi unjuk rasa Barisan Rakyat Anti Korupsi, di depan Kantor Kejati Aceh, Selasa (7/7), menuntut penyelesaian dugaan korupsi di Gunung Kong, Nagan Raya.
Banda Aceh, (Analisa). Barisan Rakyat Anti Korupsi mengingatkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh agar segera menyelesaikan dugaan kasus korupsi pembangunan fasilitas publik di Bunung Kong, Kabupaten Nagan Raya. Kejaksaan pernah menengani kasus ini sekitar empat tahun lalu.
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam kasus tersebut, negara dinyatakan mengalami kerugian sekitar Rp7 miliar.
Pernyataan itu disampaikan puluhan mahasiswa dan masyarakat antikorupsi dalam unjuk rasa di depan Kantor Kejati Aceh, Banda Aceh, Selasa (7/7). Para pengunjuk rasa ini diterima oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah.
Koordinator aksi, Rahmad Fajri dalam orasinya mengatakan, mereka melakukan aksi tersebut untuk mengingatkan serta menagih janji Kejati Aceh dalam menangani kasus “Gunung Kong” tersebut.
Kejati Aceh pernah berjanji akan segera menindaklanjuti atas temuan BPK itu. Namun, sampai saat ini dinilai tutup mata dan tidak menyelesaikan kasus tersebut.
“Padahal, sudah jelas kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp7 miliar,” sebutnya.
Adapun pembangunan fasilitas publik di daerah terpencil di Gunung Kong adalah pembangunan jalan, jembatan, rumah 50 unit, sarana umum seperti sekolah dasar, kantor desa, balai desa, dan MCK, percetakan sawah dan kebun kelapa sawit. Itu tertulis dalam surat keputusan (SK) Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pada 2007.
SK itu dikeluarkan untuk percepatan penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal di Gampong (desa) Alue Waki, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.
Saat itu, melalui APBA, Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran pelaksanaan program penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal Gampong Alue Waki pada 2007-2008 senilai Rp18,3 miliar.
Akan tetapi, proses pembangunan tidak sesuai yang diharapkan. “Hasil pembangunan terbengkalai dan berpotensi merugikan keuangan negara,” ungkapnya.
Kejati Aceh juga didesak segera memanggil dan memeriksa seluruh oknum yang terlibat dalam program pembangunan di perkampungan itu.
Sementara itu, Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah yang menemui pengunjukrasa serta menerima fotokopi laporan hasil pemeriksaan dari BPK RI mengatakan, dia belum mengetahui informasi terkait kasus yang terjadi tersebut.
“Selama saya melaksanakan tugas di Kejati Aceh dan rekan-rekan di tindak pidana khusus saat ini, belum pernah mendengar rilis proyek fiktif di Gunung Kong,” jelasnya.
Tetapi, dia berjanji akan menyampaikan laporan pengunjuk rasa tersebut. (rfl)
(Analisa/reza fahlevi) KASUS GUNUNG KONG: Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah, menanggapi aksi unjuk rasa Barisan Rakyat Anti Korupsi, di depan Kantor Kejati Aceh, Selasa (7/7), menuntut penyelesaian dugaan korupsi di Gunung Kong, Nagan Raya.
Banda Aceh, (Analisa). Barisan Rakyat Anti Korupsi mengingatkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh agar segera menyelesaikan dugaan kasus korupsi pembangunan fasilitas publik di Bunung Kong, Kabupaten Nagan Raya. Kejaksaan pernah menengani kasus ini sekitar empat tahun lalu.
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam kasus tersebut, negara dinyatakan mengalami kerugian sekitar Rp7 miliar.
Pernyataan itu disampaikan puluhan mahasiswa dan masyarakat antikorupsi dalam unjuk rasa di depan Kantor Kejati Aceh, Banda Aceh, Selasa (7/7). Para pengunjuk rasa ini diterima oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah.
Koordinator aksi, Rahmad Fajri dalam orasinya mengatakan, mereka melakukan aksi tersebut untuk mengingatkan serta menagih janji Kejati Aceh dalam menangani kasus “Gunung Kong” tersebut.
Kejati Aceh pernah berjanji akan segera menindaklanjuti atas temuan BPK itu. Namun, sampai saat ini dinilai tutup mata dan tidak menyelesaikan kasus tersebut.
“Padahal, sudah jelas kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp7 miliar,” sebutnya.
Adapun pembangunan fasilitas publik di daerah terpencil di Gunung Kong adalah pembangunan jalan, jembatan, rumah 50 unit, sarana umum seperti sekolah dasar, kantor desa, balai desa, dan MCK, percetakan sawah dan kebun kelapa sawit. Itu tertulis dalam surat keputusan (SK) Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pada 2007.
SK itu dikeluarkan untuk percepatan penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal di Gampong (desa) Alue Waki, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.
Saat itu, melalui APBA, Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran pelaksanaan program penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal Gampong Alue Waki pada 2007-2008 senilai Rp18,3 miliar.
Akan tetapi, proses pembangunan tidak sesuai yang diharapkan. “Hasil pembangunan terbengkalai dan berpotensi merugikan keuangan negara,” ungkapnya.
Kejati Aceh juga didesak segera memanggil dan memeriksa seluruh oknum yang terlibat dalam program pembangunan di perkampungan itu.
Sementara itu, Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah yang menemui pengunjukrasa serta menerima fotokopi laporan hasil pemeriksaan dari BPK RI mengatakan, dia belum mengetahui informasi terkait kasus yang terjadi tersebut.
“Selama saya melaksanakan tugas di Kejati Aceh dan rekan-rekan di tindak pidana khusus saat ini, belum pernah mendengar rilis proyek fiktif di Gunung Kong,” jelasnya.
Tetapi, dia berjanji akan menyampaikan laporan pengunjuk rasa tersebut. (rfl)
Marthin Desky di Penjara, Ibnu Hasyim Melenggang
Tuesday, 16 September 2014 19:49
Beritamerdeka.co-Banda Aceh: Digiring ke dalam mobil tahanan tim penyidik dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Aceh Tenggaran (Agara), Marthin Desky dijebloskan ke tahanan, Rutan kelas IIB Kajhu, Baitussalam, Banda Aceh, Selasa, 16 September 2014.
×Powered By Quick Internet Access internetquickaccessBersamaan dengan Marthin Desky, tim kejaksaan juga mengiring mantan Pemegang Kas Aceh Tenggara, Muhammad Yusuf. Ditahannya Marthin Desky ini setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka dan cukup bukti, melakukan korupsi dana ABPD Aceh Tenggara tahun anggaran 2004 sampai 2006, senilai Rp 21, 4 miliar, kata Hentoro Cahyono, SH, MH, Asisten Pidana Khusus Kejati Aceh.
“Ada dua tersangka yang kita tahan untuk 20 hari kedepan. Marthin Desky dan Muhammad Yusuf. Kami menilai keduanya turut serta melakukan korupsi bersama,” kata Cahyono kepada wartawan di ruang kerjanya.
Kemudian, ungkap Cahyono, Marthin terbukti mengkoordinir bawahannya untuk membuat laporan fiktif, dengan mengatasnamakan bantuan sosial untuk lembaga swadaya masyarakat atau bantuan perorangan melalui mekanisme kas bon, terangnya.
Menurut data dari keterangan Amir Hamzah, Kasi Penkum Kejati Aceh sebelumnya, kasus ini juga ikut menyeret nama Bupati Gayo Lues sekarang, Ibnu Hasyim. Berawal dari putusan No.19/Pid.B/TPK/2009/PN. Jkt.Pst, Armen Desky dinyatakan terbukti melakukan tindak korupsi APBD 2004-2006 Kabupaten Aceh Tenggara, bersama 16 bawahannya.
Kemudian, KPK melalui surat No.R/133/01-20/04/2012 tanggal 5 April 2012 menginstruksikan penyidik Kejati Aceh untuk membuka dan mengusut kembali kasus tersebut. Nama Ibnu Hasyim dan Marthin Deski, bahkan langsung disebut KPK .
Marthin Desky selaku Sekda Agara saat itu, menerima aliran dana sebesar Rp1.892.600.000. Namun, terakhir uang ini telah dikembalikan ke kas negara. Sementara Ibnu Hasyim menerima aliran dana Rp1.305.000.000, namun dana tersebut juga sudah dikembalikan ke kas negara melalui KPK. Beberapa nama lain yang turut menikmati yakni, M. Ridwan Rp250 juta, Abdul Manan Rp412 juta dan Mhd Yusuf Rp213 juta.
Sejak akhir tahun 2012 lalu, penyidik Kejati Aceh telah memanggil semua yang disebutkan KPK. Namun, hasil penyidikan terakhir, hanya dua nama yang dianggap terbukti. Mantan asisten Pemerintah Aceh masa gubernur Irwandi, Marhtin Desky dan Muhammad Yusuf.
“Tersangka diduga turut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian mencapai Rp21,4 miliar. Kerugian ini berdasarkan hasil audit BPK,” kata Hentoro Cahyono.
Kasus ini, kata dia, merupakan pelimpahan dari Komisi Pemberantasan. Korupsi atau KPK dengan tersangkanya Armen Desky, mantan Bupati Aceh Tenggara.
Kasus ini juga sudah disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta pada 2009 dengan terpidana Armen Desky. Armen Desky divonis empat tahun penjara.
Keterlibatan tersangka Marthin Desky dan Mhd Yusuf, kata dia, membuat proposal fiktif untuk bantuan sosial atas arahan Armen Desky, yang saat itu menjabat Bupati Aceh Tenggara, secara berkelanjutan mulai tahun anggaran 2004, 2005, dan 2006.
Dari proposal tersebut, kata dia, para tersangka memproses seolah-olah bantuan sosial tersebut disalurkan untuk organisasi kemasyarakatan, pengurus masjid, gereja, dan sebagainya. Padahal, uang negara yang dicairkan itu bukan untuk bantuan sosial, tetap untuk kepentingan para tersangka.
Dari proposal fiktif yang diproses para tersangka, kata Hentoro, tersangka Marthin Desky mendapat bagian Rp1,3 miliar dan tersangka Mhd Yusuf memperoleh Rp200 lebih.
“Dari kasus ini tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain. Semuanya tergantung hasil persidangan di pengadilan,” ungkap Hentoro yang didampingi Kepala Humas dan Penerangan Hukum Kejati Aceh Amir Hamzah.
Kedua tersangka, kata dia, tim penyidik kejaksaan menjerat mereka secara berlapis, yakni primer melanggar Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi.
Sedangkan subsidair, kedua tersangka dijerat Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman hukuman empat hingga 20 tahun penjara.*(Deo Kumara)
Korupsi Proyek Gunong Kong Harus Diusut Tuntas
Wednesday, 08 July 2015 01:43
Korupsi Proyek Gunong Kong Harus Diusut Tuntas
Sumber Foto Antaranews
Beritamerdeka.co, Banda Aceh - Aktivis antikorupsi di Aceh yang tergabung dalam Barisan Antikorupsi menuntut Kejaksaan Tinggi Aceh mengusut dugaan korupsi proyek pembangunan kawasan terisolir di Gunung Kong, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Tuntutan tersebut disampaikan massa Barisan Antikorupsi dalam unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Aceh di Banda Aceh, Selasa.
Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa mengusung poster bertuliskan "Bapak Kajati Aceh Jangan Diam", "Usut Korupsi Gunung Kong", dan lain sebagainya. Unjuk rasa tersebut mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. Aksi tersebut
sempat menarik perhatian warga yang lalu lalang di jalan depan kantor Kejaksaan Tinggi Aceh di kawasan Batoh, Banda Aceh. Rahmad Fajri, koordinator aksi, mengatakan, Pemerintah Aceh pada tahun anggaran 2007 dan 2008 menganggarkan pembangunan kawasan tertinggal di Gunung Kong, Kabupaten Nagan Raya, mencapai Rp18,3 miliar.
"Namun, pembangunannya tidak sesuai yang diharapkan, dan berpotensi merugikan keuangan negara. Dan kami menduga, hanya 50 persen yang dikerjakan, Selebihnya, fiktif," kata dia. Selain itu, kata dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun 2008 menemukan potensi kerugian negara dalam kasus korupsi Gunung Kong mencapai Rp7 miliar. Oleh karena itu, Rahmad Fajri mengatakan Kejaksaan Tinggi Aceh mengusut tuntas dugaan korupsi Gunung Kong.
Penyelesaian kasus korupsi ini menjadi indikator publik terhadap aparat hukum dalam menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi di Aceh. "Kami juga mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh segera memanggil dan memeriksa semua yang terlibat, karena potensi kerugian negaranya mencapai miliaran rupiah," kata Rahmad Fajri. Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh Amir Hamzah yang menerima kedatangan pengunjuk rasa mengatakan, pihaknya akan menyampaikan apa yang disuarakan massa kepada atasan. "Apa yang kalian sampaikan ini akan saya teruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh untuk ditindaklanjuti. Kalau ada pengunjuk rasa ingin berjumpa dengan Kepala Kejaksaan Tinggi, saya mengundang lima orang perwakilan," kata dia. Kejaksaan, kata Amir Hamzah, tidak akan menutup-nutupi atau mendiamkan perkara korupsi apapun. Semuanya diungkap secara transparan ke publik atau masyarakat.
"Begitu juga dengan kasus Gunung Kong, kalau memang ada potensi kerugian negaranya, tentu kami tindak lanjuti. Karena itu, berikan kami waktu mempelajarinya," ungkap Amir Hamzah. Massa antikorupsi akhirnya membubarkan diri usai mendengarkan penjelasan Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Aceh. Massa berjanji akan mengawal terus dugaan korupsi Gunung Kong tersebut.(ant/red)
Langganan:
Postingan (Atom)