Rabu, 12 Desember 2012

Menyelamatkan Aceh dari Korupsi

Selasa, 23 Oktober 2012 09:04 WIB Serambi Indonesia

Oleh M. Shabri Abd. Majid

VIRUS korupsi yang merebak subur di Indonesia, juga telah menjangkiti Aceh, kurang dari 25% dana pembangunan Aceh telah bocor terserang virus ini. Walaupun peringkat korupsi Indonesia telah menurun 10 tingkat dari ranking 110 pada 2010 ke ranking 100 pada 2011 dari 183 negara di dunia berkat kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di belahan dunia lainnya, termasuk negara ASEAN, korupsi yang terjadi di Indonesia terbilang parah. Indonesia kalah telak dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand dalam menciptakan negara bebas korupsi. Indonesia telah gagal menciptakan good governance dan clean government.

Sama halnya dengan induknya, Indonesia, korupsi di Aceh pun semakin mencengangkan, dan bahkan Aceh berada di posisi teratas provinsi terkorup di Indonesia. Pada 2002, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran melakukan penelitian tentang kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, yang dituangkan dalam buku “Daya Saing Daerah: Konsep Dan Pengukurannya Di Indonesia”, telah menobatkan Aceh sebagai daerah terkorup di Indonesia. Pada 2010, Transparansi Indeks (TI) Indonesia melaporkan bahwa Kota Banda Aceh berada di ranking ke-33 dari 50 kota di Indonesia, dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 4,61 (http://www.ipkindonesia.org/report/2010).

Pada 2010, berdasarkan hasil temuan BPK, Provinsi Aceh masuk kategori wilayah merah dan rawan praktik korupsi. Pada 2011, terdapat 122 kasus dugaan korupsi yang berpotensi merugikan negara mencapai Rp 1,7 triliun (sekitar 17,8% dari Dana APBA 2012). Pada 27 Agustus 2012, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa Aceh berada di urutan ke-9 Provinsi terkorup di Indonesia. Aceh yang champion korupsi, terus mempertahankan dan bahkan menaikkan ranking korupsinya. Baru-baru ini, laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menempatkan Aceh sebagai provinsi nomor 2 terkorup di Indonesia (Serambi Indonesia, 1/10/2012).

Sebuah prestasi Nanggroe Syariat yang fantasis? Menurut LSM GeRAK (Gerakan Anti Korupsi) Aceh, terdapat 178 kasus korupsi yang terjadi seluruh wilayah hukum Provinsi Aceh dengan kerugian negara mencapai Rp 1,518 Triliun pada tahun 2011. Jumlah kasus korupsi tertinggi berada di level provinsi dengan perkirakan kerugian Negara mencapai Rp 996,7 Miliar, disusul Aceh Utara dengan jumlah kerugian Rp 227,46 Miliar, Aceh Tenggara (Rp 69,99 Miliar), Nagan Raya (Rp 57,72 Miliar), Aceh Timur (Rp 45, 34 Miliar), Aceh Tamiang (Rp. 36,07 Miliar), Aceh Barat (Rp. 21, 13 Miliar), Bireuen (Rp 20,46 Miliar), dan kabupaten/kota lainnya di Aceh jumlah korupsinya kurang dari Rp 15 Miliar. Secara totalitas, ini menunjulkkan bahwa pada 2011, korupsi per capita (jumlah korupsi per penduduk) mencapai Rp 337.943,67. Ini hanya jumlah korupsi yang nampak dan terdata, belum lagi yang tidak terungkap (uncovered).

Strategi memberantas korupsi

Ada beberapa strategi penting yang dapat dilakukan untuk membebaskan Aceh dari korupsi: Pertama, penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan secara berkeadilan. Hukuman setimpal diberikan kepada koruptor. Janganlah kalau korupsi dilakukan oleh mareka dari golongan “kelas teri”, maka hukuman dikenakan seberat-beratnya, namun apabila “para elite” yang korupsi, hukuman ringan saja atau bahkan bebas tanpa syarat.

Kalau penegakan hukum itu dilakukan bak sebilah pisau, menghujam tajam ke bawah, namun tumpul ke atas, maka tunggulah laknat Allah. Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah swt telah membinasakan umat sebelum kamu, karena apabila ada orang besar di antara mereka mencuri, dibiarkan saja. Tetapi jika orang kecil yang mencuri, dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Demi Allah swt yang jiwaku berada di tangan kekuasaanNya, andaikata Fathimah putri Rasulullah mencuri pasti akan kupotong tangannya” (HR. Bukhari).

Kedua, untuk menjerat koruptor, kita juga dapat mengambil iktibar dari laba-laba. Dalam menjerat mangsanya untuk di makan, laba-laba senantiasa merangkai/menjahit jaringan perangkap (netting trap) atau dikenal dengan sarang laba-laba. Sebagai pembuat jaringan perangkap, sudah tentu si pemiliknya, laba-laba tidak akan pernah terjerat dan tersangkut dalam perangkap, dan bahkan ia bisa bermain-main di atasnya. Hanya binatang kecil saja yang terjerat bila menabrak jaringan itu.

Sedangkan, binatang besar, katakanlah tikus akan terlepas dari jeratan laba-laba, bahkan akan memutuskan jaringan perangkap. Untuk menghindari agar pembuat jaringan terbebas dari hukuman, bahkan mempermainkan hukum yang dibuatnya dan mampu menjerat tikus (baca: koruptor kelas kakap), maka jeratan/hukum itu hendaklah dirangkai dari “terali besi”.

Pembuat dan penegak hukum haruslah terdiri dari mereka yang amanah dan tidak membuat hukum hanya untuk menjerat “koruptor kelas teri”, tetapi untuk menjerat siapa saja yang bersalah tanpa memandang bulu. Kalau tikus tidak mempan di jerat dengan perangkap laba-laba, maka bila perlu tikus itu harus diracuni.

Ketiga, untuk memberantas korupsi, kita juga bisa merujuk pada pepatah Cina: to catch a snake, one must always go for its head. If you catch the body, the snake will surely bite you (untuk menangkap seekor ular, tangkaplah kepalanya. Jika kita menangkap badannya, ular itu pasti akan mematuk kita). Begitu juga untuk membersihkan halaman kita dari sampah korupsi, hendaklah kita menggunakan sapu yang bersih. Karena sapu yang kotor, malah akan mengotorkan halaman kita dari sampah korupsi.

Sebab, as long as the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty talk (selama sosok-sosok sapu kotor (baca: elit politik, pejabat dan penegak hukum) belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka), demikian juga, tentunya, dengan usaha pemberantasan korupsi di Aceh. Hanya dengan membersihkan sosok-sosok sapu kotor di puncak mahligai Dinas, SKPA, Badan, dan berbagai institusi pemerintahan Aceh lainnya, barulah upaya pemberantasan korupsi di Aceh akan tuntas.

Terakhir, usaha keras ini, tentunya, harus diperkuat oleh upaya-upaya pemberlakuan hukum yang adil, efisien, rasional dan tidak pilih kasih, seperti arti hadis di atas, sehingga keadilan, kejujuran dan moralitas “orang kepercayaan” dan “orang yang mempercayai” akan terangkat kembali dengan enyahnya korupsi dari persada bumi Serambi Mekkah.

Sebagai penganut Islam yang kuat, kita harus sadar dan patuh bahwa: “Sesungguhnya si penyogok dan si penerima sogok kedua-duanya dalam neraka” (HR. Abu Dawud). Dan, bribery is an evil which threatens the foundation of any civilised society (penyogokan/korupsi adalah musuh yang nyata yang mengancam seluruh fondasi masyarakat madani). Semoga Aceh merdeka dari korupsi, perekonomian Aceh bisa diselamatkan, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan keadilan ekonomi dapat diwujudkan di Nanggroe Syariat.

* Dr. Shabri Abd. Majid, M.Ec, Staf Pengajar, Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana (PPs) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: hannanan@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar