Rabu, 24 Februari 2016
Tak Berikan Data, Gubernur Harus Mencopot Kadis Peternakan
01 Februari 2016 · Fauzul Husni
BANDA ACEH - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mendesak Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk mencopot Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh karena tidak menjalankan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Hal itu disampaikan Askhalani, Koordinator GeRAK Aceh menanggapi terkait pemberitaan AJNN yang berjudul, Mengaku dalam Tekanan, Kepala Dinas Peternakan Aceh Takut Berikan Dokumen Anggaran
Menurut Askhalani, sikap yang dipertontonkan oleh Kadis Dinkeswanak sudah merusak citra Pemerintah Aceh yang baru saja mendapatkan penghargaan provinsi nomor satu paling terbuka di Indonesia.
"Gubernur harus mengambil sikap dengan mencopot kepala dinas terkait. Ini jelas-jelas sudah mempermalukan Pemerintah Aceh," tegas Askhalani, Senin (1/2).
Askhalani menjelaskan, seluruh anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) wajib hukumnya untuk dipublikasi. Karena itu bukan merupakan dokumen negara yang bersifat rahasia. Sehingga, tak ada alasan dinas tidak memberikan data tersebut kepada publik.
"Tak ada alasan dinas mengatakan sudah mendapat teguran dari atasannya lantaran sudah pernah memberikan informasi kepada salah satu media beberapa waktu lalu. Itu anggaran publik dan publik wajib tahu," kata Askhalani.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan (Dinkeswanak) Aceh M Yunus mengaku tidak bisa memberikan informasi dan data penerima hibah 100 ribu ekor ayam ras petelur. Alasannya, ia sudah mendapat teguran dari atasannya lantaran sudah pernah memberikan informasi kepada salah satu media beberapa waktu lalu.
Baca: Mengaku dalam Tekanan, Kepala Dinas Peternakan Aceh Takut Berikan Dokumen Anggaran
“Saya tidak bisa berikan data itu, karena sudah ada teguran dari atas,,” kata M Yunus, saat ditemui AJNN di kantornya, (28/1). Dia menyatakan data tersebut bukanlah informasi publik. Tidak bisa diberikan kepada wartawan. Bahkan dia meminta AJNN menulis bahwa dia tidak bisa memberikan data tersebut.
Soal Data Dana Hibah Mengaku dalam Tekanan, Kepala Dinas Peternakan Aceh Takut Berikan Dokumen Anggaran
28 Januari 2016 · Mitro Heriansyah
BANDA ACEH - Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan (Dinkeswanak) Aceh M Yunus mengaku tidak bisa memberikan informasi dan data penerima hibah 100 ribu ekor ayam ras petelur. Alasannya, ia sudah mendapat teguran dari atasannya lantaran sudah pernah memberikan informasi kepada salah satu media beberapa waktu lalu.
“Saya tidak bisa berikan data itu, karena sudah ada teguran dari atas,,” kata M Yunus, saat ditemui AJNN di kantornya, (28/1). Dia menyatakan data tersebut bukanlah informasi publik. Tidak bisa diberikan kepada wartawan. Bahkan dia meminta AJNN menulis bahwa dia tidak bisa memberikan data tersebut.
Yunus hanya menyebut jumlah anggaran program peningkatan produksi hasil peternakan di Dinkeswanak Aceh 2013 itu mencapai Rp 39 miliar untuk pengadaan 100 ribu ekor ayam bersumber dari APBA 2013.
Ayam sebanyak 100 ribu ekor itu, dihibahkan kepada Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat. Karenanya, lanjut dia, masalah di lapangan, seperti ada anggota koperasi yang tidak mengetahui program hibah tersebut, maka tidak lagi menjadi tanggung jawab Dinkeswanak Aceh.
Senada dengan Yunus, Sekretaris Dinkeswanak Aceh Marjuani mengatakan, pihaknya hanya sebatas memberikan bibit dan pembinaan. Setelah itu, pengelolaan ada pada koperasi atau masyarakat penerima manfaat program tersebut. Selain itu, M Yunus juga menolak memberikan informasi dan data program Anggaran Perubahan 2015. yang mana, sekitar 465 paket pekerjaan atau senilai sekitar Rp29 miliar menunggak; Dinkeswanak Aceh belum membayarkan kepada rekanan.
Baca: Uang Proyek Tak Kunjung Dibayar, Puluhan Rekanan Berang
Dia mengatakan, pihaknya akan membayar pada anggaran 2016 yang saat ini masih menunggu pengesahan di DPR Aceh. “Setelah APBA 2016 disahkan, kita akan verifikasi semua pekerjaan ke lapangan. Kita akan membayar sesuai fakta di lapangan, jika ada rekanan yang menarik kembali ternak yang diberikan, kita tidak akan membayarnya,” jelas Yunus.
Dinas Pendidikan belum pertanggungjawabkan dana hibah Rp662 miliar
17 Juni 2014 · Nazar Ahadi
BANDA ACEH- Dinas Pendidikan Aceh adalah instansi yang belum mempertanggungjawabkan dana hibah terbanyak yakni Rp662 miliar. Hal ini disampaikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh Maman Abdulrachman.
Dikatakannya realisasi dana hibah sebesar Rp1.219.682.992.085, dimana Rp1,1 triliun telah diidentifikasi pertanggungjawabannya, masih terdapat Rp851 miliar belum dipertanggungjawabkan. "Rp272 miliar sudah dipertanggungjawabkan." kata Maman.
Adapun rincian yang belum dipertanggungjawabkan yakni Dinas Pendidikan terbanyak Rp662 miliar, Biro Humas 160 juta, Dinsos Rp11 miliar, Dinas Syariat Islam Rp1 miliar, Badan Dayah Rp1 miliar.
"Masa pertanggungjawaban dalam waktu 60 hari sejak hari ini (Kemarin-red)." jelas Maman. Adapun nantinya, hasil audit juga akan dibahas oleh legislatif di Aceh. Sebelum 60 hari, anggaran tersebut masih milik negara. "Kalau sudah lewat, anggarannya sudah kemana-mana." tuturnya.
Selain itu Maman Abdulrachman, S.E., M.M menemukan beberapa kelemahan dalam sistem pengendalian intern keuangan Pemerinta Aceh. itu dari hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK.
Hal itu berdasarkan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2013 dalam rapat paripuna istimewa DPR Aceh (DPRA) tahun 2014 digedung utama DPR Aceh, Senin (16/6).
Terkait dari hasil pemeriksaan BPK Dari siaran Pers yang di bacakan digedung DPRA itu ada 19 item yang ditemukan kelemahan oleh BPK, antara lain Penata usahaan dan pengolaan keuangan daerah pada bendahara pengeluaran SKPA belum belum diselenggarakan dengan memadai, pengelolaan kas di bendahara peneriaman belum sesuai dengan ketentuan, pengololaan piutang LUEP PAD Badan Ketahanan Pangan dan Penyeluhan belum tertib.
Selanjutnya ketua BPK perwakilan Aceh juga menemukan Penyisihan piutang LUEP, dana bergulir dan aset lainya sebesar RP74.245.826.067,00 tidak dapat diyakini kewajarannya,penatausahan piutang penjualan rumah dinas dan penyajian serta pengungkapannya pada neraca dan Calk tidak memadai,
Pengendalian atas pendapatan dan piutang PKB dan BBNKB pada pemerintah Aceh menurutnya msih lemah, begitu juga dengan pengelolaan persediaan pada RSUD dr. Zainoel Abidin (RSUD ZA) belum tertib, dan penyajian informasi permanen pada pemerintah Aceh tidak sesuai dengan standar akutansi pemerintah.
Skandal 650 Miliar Aliansi Pemuda Aceh Minta KPK Selidiki Dana Hibah 650 Miliar
16 Desember 2015 · Nazar Ahadi
BANDA ACEH- Aliansi Pemuda Aceh (APA) akan surati KPK untuk menyelidiki penggunaan dana hibah untuk Komite Peralihan Aceh (KPA) sebesar Rp. 650 miliar yang diduga tidak tepat sasaran.
Koordinator APA, Muhammad Amin mengatakan benar atau tidak hanya pihak berwenang yang bisa menentukannya. Untuk itu KPK sangat perlu menyelidiki seluruh aliran dana pemerintah yang diperuntukkan bagi kombatan GAM tersebut.
Menurutnya dana untuk GAM sudah mengalir cukup banyak sejak awal damai. namun yang menjadi pertanyaan mengapa ada banyak anggota GAM yang mengaku belum mendapat.
"Mengapa dana reintegrasi itu tidak membuat kombatan bangkit sehingga sampai saat ini masih ada yang mengangkat senjata seperti Din Minimi,"katanya.
Agar tidak menimbulkan fitnah dan kombatan tidak menjadi sasaran kemarahan akibat persoalan uang maka segala sesuatunya perlu diselesaikan secara hukum.
"Kita akan kirim dokumen-dokumen awal yang bisa membantu KPK untuk melakukan penyelidikan," kata Muhammad Amin
Skandal 650 Miliar Dana Hibah Rp 650 Miliar, Gubernur: Tunggu Hasil Audit
09 Desember 2015 · Nazar Ahadi
BANDA ACEH - Gubernur Aceh Zaini Abdullah akan mengambil tindakan terkait dana hibah Rp 650 miliar untuk mantan kombatan yang diduga tidak tepat sasaran. Tindakan tegas itu diambil setelah dirinya menerima hasil audit yang dilakukan secara internal.
"Setelah keluar hasil audit nantinya kita baru kita ambil tindakan lainnya. Dana itu sedang dilakukan audit secara internal," kata Gubernur Aceh usai menerima penghargaan dari Sekolah Anti Korupsi Aceh, Rabu (9/12)
Berdasarkan data yang diperoleh AJNN, dana tersebut dibagi untuk beberapa item kegiatan yang ditipkan pada beberapa dinas meliputi Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Dinas Sosial Aceh, Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh, Dinas Perkebunan Aceh, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Satpol PP dan WH Aceh, Bappeda Aceh, Kesbang Pol dan Linmas Aceh dan Dinas Pengairan Aceh.
Sementara itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani menyebutkan, sebagian item kegiatan dari dana Rp 650 miliar itu patut diduga setengahnya fiktif.
Baca : Bagi-bagi Rp 650 Miliar untuk Kombatan GAM
Dana sebesar Rp 650 miliar tersebut dibagi untuk beberapa item kegiatan diantaranya, pengadaan kapal nelayan, penggemukan sapi, ayam petelur dan sejumlah item lainnya di beberapa dinas.
"Dari sejumlah item ada dua yang sudah kita laporkan ke KPK yaitu pengadaan Boat 40Gt di Dinas Kelautan dan Perikanan total anggaran Rp.97 miliar kemudian hibah untuk pembelian bibit bebek, sapi,"katanya
Askhal menjelaskan, temuan GeRAK terkait pengadaan Boat 4GT tidak sesuai dengan spesifikasi, selain boatnya tidak bisa digunakan jaring yang diberikan juga tak sesuai. Sementara bantuan untuk pembelian bibit diduga fiktif.
"Total yang sudah dilaporkan GeRAK ke KPK pada 2014 lalu lebih kurang Rp 150 miliar dari total Rp 650 miliar," katanya.
Soal Kasus Dana Hibah BPBD Polres Simeulue Tunggu Izin Gubernur untuk Periksa Anggota DPRK
12 Januari 2016 · Mitro Heriansyah
BANDA ACEH – Kepala Kepolisian Resor (Polres) Simeulue AKBP Edi Bastari mengatakan pihaknya sedang menunggu surati izin Gubernur Aceh untuk memeriksa oknum anggota DPRK Simeulue yang diduga terlibat kasus penyelewenang dana hibah di BPBD Simeulue 2011 lalu.
Baca: Oknum DPRK Diduga Terlibat dalam Kasus BPBD Simeulue
Polres Simeulue telah mengantongi sedikitnya 22 orang nama diduga terlibat. Ada oknum anggota DPRK Simeulue dari pengakuan bekas kepala BPBD Simeulue Mulyadinsyah yang saat ini berstatus tersangka dan sedang ditahan Polres Simeulue sejak 27 Desember 2015.
“Sudah kita kirimkan suratnya, saat ini kita sedang menunggu persetujuan Gubernur Aceh. Kalau sudah ada surat izin, baru kita periksa satu,dua atau bisa tiga oranglah,” kata Edi Bastari, Selasa (12/1).
Prosedurnya, lanjut dia, Polres Simeulue mengirimkan surat ke Polda Aceh, kemudian dari Dirkrimsus Polda Aceh yang akan mengirimkan surat ke Gubernur Aceh.
Edi Bastari kepada AJNN juga mengatakan, sejauh ini pihaknya sudah memeriksa sebanyak 12 orang guna dimintai keterangan. Dari sekian banyak tersangka, mereka tidak ada yang menolak panggilan Polres, dan kooperatif saat pemeriksaan.
KASUS DANA HIBAH BPBD SIMEULUE Uang Korupsi Digunakan untuk Kampanye Pilkada
13 Januari 2016 · Mitro Heriansyah]
BANDA ACEH – Kepala Kepolisian Resor Simeulue Ajun Komisaris Besar Polisi Edi Bastari menemukan fakta baru saat memeriksa Mulyadinsyah, Bekas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Simeuleu. Tercatat Rp 3,1 miliar dari dana ini digunakan untuk mengongkosi seorang calon bupati pada 2012.
“Dari pemeriksaan, kita memperoleh informasi dana tersebut ada untuk biaya kampanye,” kata Edi Bastari, Rabu (13/1). Dalam pemeriksaan, lanjut Edi Bastari, Mulyadinsyah, saksi kasus ini mengatakan penyelewengan dana bencana alam itu atas perintah atasannya untuk mengongkosi kampanye. Selanjutnya, mereka menyuruh menggunakan dana hibah dari BNPB itu.
“Ada kata-kata kemarin (dalam pemeriksaan). 'Kita tidak ada dana untuk pilkada, yang ada hanya dana proyek ini',” kata Edi menirukan saksi.
Usai bertemu, keesokan hari Mulyadinsyah bertemu kembali dengan atasannya itu dengan perintah untuk menggunakan dana di lembaganya sebagai modal kampanye, Atasan tersebut juga menyatakan kesediaan untuk bertanggung jawab mengembalikan dana itu.
Edi memanggil beberapa pejabat teras Simeulue untuk dimintai keterangan. Fakta ini diungkap setelah Mulyadinsyah menyerahkan diri dan meminta dijadikan justice collaborator. Kepada Edi, Mulyadinsyah berjanji akan mengungkap banyak pihak yang terlibat dalam korupsi miliaran rupiah tersebut.
KASUS DANA HIBAH BPBD SIMEULUE Menyerahkan Diri, Bekas Kepala BPBD Simeulue Ajukan Diri Menjadi Justice Collabolator
27 Desember 2015 · Mitro Heriansyah
SIMEULUE - Bekas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Simeulue Mulyadinsyah menyerahkan diri ke Kepolisian Resort Simeulue, di Banda Aceh, kemarin. Mulyadinsyah masuk daftar pencarian orang Polres Simeulue atas dugaan korupsi dana kegiatan berpola hibah senilai Rp 3,1 miliar pada 2011 lalu. Kepada polisi, Mulyadinsyah mengajukan diri sebagai justice collabolator.
"Negosiasi awal bersama keluarga. Karena Mulyadinsyah melarikan diri ke Pulau Jawa," kata Kepala Polres Simeulue Ajun Komisaris Besar Polisi Edi Bastari, seperti ditulis www.tribratanewssimeulue.com, kemarin. Dalam negosiasi itu, Edi meminta keluarga menyerahkan Mulyadinsyah sebelum tahun 2015 berakhir.
Seusai salat Jumat, sehari sebelum penyerahan diri, Mulyadinsyah menghubungi Edi menggunakan telepon seluler. Dia meminta orang nomor satu di Polres Simeulue itu menjemput dirinya langsung. Sabtu, mereka bertemu di sebuah kafe di Banda Aceh. Saat dijumpai, kata Edi Bastari, Mulyadinsyah dalam kondisi sehat. Sikapnya pun kooperatif.
"Selama ini banyak orang yang menawarkan jasa untuk membawanya pulang ke Kota Sinabang. Namun tersangka menolak dikarenakan khawatir akan keselamatan dan keamanan dirinya," kata Edi. Saat bertemu Edi, dia mengaku ingin kembali ke Sinabang.
Usai bertemu Edi, Mulyadinsyah meminta Edi memberikan izin kepadanya untuk menjumpai anak dan istri di Kampung Keramat, Banda Aceh. Dia ingin berpamitan dan menyerahkan surat penangkapan. Mulyadinsyah juga meminta diizinkan berziarah ke makan ibunya setibanya di Sinabang.
"Dia berjanji akan mengungkap siapa saja yang terlibat dan terkait dalam kasus korupsi tersebut. Tak satupun yang ditutup-tutupi. Dia juga ingin kasus ini tuntas," kata Edi. Tersangka akan dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Anggota Polres Simeulue, Brigadir Kusmayadi, saat dihubungi AJNN, Ahad mengatakan tersangka saat ini berada dalam pengawasan polisi. “Tersangka sudah bersama Kapolres. Hari ini atau besok, kalau tidak ada halangan, InsyaAllah tersangka berada di Sinabang,” jelas Kusmayadi.
KASUS DANA HIBAH BPBD SIMEULUE Kapolres Simeulue: Ada Enam Calon Tersangka Baru Kasus Dana Hibah BPBD
05 Januari 2016 · Mitro Heriansyah
BANDA ACEH – Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Simeulue AKBP Edi Bestari mengatakan pihaknya saat ini sedang memeriksa Mulyadinsyah, tersangka kasus korupsi dana bantuan hibah di BPBD Simeulue 2011. Dirinya berjanji pekan depan sudah ada perkembangan terbaru terkait kasus tersebut.
Sebelumnya, kata Edi, dalam pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik Polres Simeulue berhasil menggali beberapa inisial nama yang diungkapkan tersangka yang kemudian diduga juga menerima aliran dana hibah tersebut.
Edi Bestari kepada AJNN menjelaskan, dari pengakuan tersangka telah didapatkan 6 nama yang diduga ikut menerima aliran dana tersebut. Enam nama yang diduga terlibat itu kata Edi, ada pejabat aktif dan mantan pejabat dengan tingkat keterlibatan berbeda. Namun untuk mencegah tidak melarikan diri, pihaknya masih merahasiakan nama-nama tersebut sampai memiliki cukup bukti.
“Sampai saat ini kita sudah mengantongi 6 nama. Tapi itu masih inisial dan belum bisa kami sebarkan karena khawatir nama-nama tersebut akan melarikan diri,” kata Edi Bestari, Senin (4/1) sore.
Ke enam inisial nama yang dimaksud antara lain MAH, YIA, BDR, MA, QAE, dan ZM. Masing-masing mereka diduga telah menerima dana bantuan hibah di BPBD Simeulue tahun 2011 lalu dengan jumlah yang bervariasi.
Untuk diketahui, tersangka Mulyadinsyah sebelum menyerahkan diri ke pihak Polres Simeulue telah menjadi buron selama kurang lebih 4 tahun. Saat menyerahkan diri, tersangka mengaku bersedia menjadi justice collabolator.
KASUS DANA HIBAH BPBD SIMEULUE Oknum DPRK Diduga Terlibat dalam Kasus BPBD Simeuleu
07 Januari 2016 · Mitro Heriansyah
BANDA ACEH – Kapolres Simeulue AKBP Edi Bastari bersama jajarannya kembali mengantongi belasan nama diduga terlibat dalam kasus dana hibah BPBD Simeulue. Nama-nama itu muncul setelah polisi melakukan pemeriksaan terhadap bekas kepala BPBD Mulyadinsyah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Baca: Kapolres Simeulue: Ada Enam Calon Tersangka Baru Kasus Dana Hibah BPBD
AKBP Edi Bastari menjelaskan pada awalnya, tersangka hanya menyebutkan 6 nama yang terlibat. Namun, pada pemeriksaan selanjutnya, tersangka kembali mengungkapkan 15 nama. Hasilnya, saat ini Polres Simeulue sudah mengantongi 22 nama termasuk tersangka Mulyadinsyah.
“Dari keterangan tersangka kami peroleh sejumlah nama baru. Ada 15 orang yang diduga terlibat," kata Edi Bastari kepada AJNN, Rabu (6/1) kemarin.
Selain bekerja sebagai PNS, swasta, dan bekas pejabat, Edi Bastari mengatakan dari sejumlah nama tersebut ada yang sedang menjabat sebagai anggota DPRK Simeulue.
“Calon tersangka variasi, mulai dari jumlah uang diterima yang bervariasi, keberadaannya juga ada yang diluar Simeulue dan pekerjaannya bervariasi, ada yang menjabat anggota DPRK Simeulue,” jelas Edi Bastari.
Ditanya inisial nama anggota DPRK yang diduga terlibat itu, Edi Bastari mengatakan inisialnya adalah DL. Namun karena sebagai anggota DPRK, pihaknya baru bisa memanggil inisial DL setelah mendapat izin dari Gubernur Aceh.
Sejauh ini Polres Simeulue telah memanggil dan memeriksa sejumlah nama yang diduga ikut menikmati uang miliaran yang bersumber dari BNPB tahun 2011.
“Dari sekian banyak nama yang disebutkan tersangka, kami baru memeriksa 5 orang. Karena keterbatas jumlah penyidik," imbuh Edi Bastari.
KASUS DANA HIBAH BPBD SIMEULUE Bekas Kepala BPBD Simeulue Ditangkap, Bupati: Saya Apresiasi kepada Tersangka
28 Desember 2015 · Mitro Heriansyah
BANDA ACEH – Bupati Simeulue Riswan NS memberikan apresiasi kepada kepolisian resort Kabupaten Simeulue atas penangkapan Mulyadinsyah, tersangka kasus korupsi dana bantuan hibah di BPBD Simeulue 2011 lalu.
Riswan juga menyampaikan apresiasinya kepada tersangka karena telah bersikap kooperatif dengan cara bersedia menyerahkan diri kepada kepolisian setelah menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2012 lalu.
Baca: Menyerahkan Diri, Bekas Kepala BPBD Simeulue Ajukan Diri Menjadi Justice Collabolator
“Kalau benar beliau sudah menyerahkan diri, Alhamdulillah kita bersyukur. Karena beliau harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukan,” terang Riswan kepada AJNN, Minggu (27/12).
Orang nomor wahid di Simeulue itu juga menyampaikan, beberapa waktu lalu ada pihak keluarga dekat tersangka pernah menghubunginya. Mereka menyampaikan soal rencana penyerahan diri bekas Kepala BPBD Simeulue itu.
Selanjutnya, kata Riswan, dia melakukan mediasi juga memfasilitasi kepada Kapolres Simeulue, agar tersangka dijemput langsung oleh Polres Simeulue jika benar ingin menyerahkan diri.
“Kita sudah komunikasi dengan pihak polres, agar sebaiknya beliau dijemput,” kata Riswan.
Dia beralasan, tersangka harus dijemput guna menjamin keamanan tersangka. Menurutnya, jika tersangka sudah bersedia menyerahkan diri, negara harus menjamin keamanan tersangka oleh kepolisian.
“Jika tidak diberi keamanan, kita khawatirkan ditengah jalan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena beliau mengirimkan uang itu ke sejumlah rekening,” tambah Riswan.
Sebagaimana diketahui, Mulyadinsyah mengirimkan uang tersebut ke sekitar 10 rekening berbeda.
Riswan berharap Mulyadinsyah terbuka terkait kasus tersebut. Karena jika tidak dipertanggung jawabkan, Simeulue tak bisa menerima bantuan yang signifikan dari BPBA dan BNPB.
“Pernah ada dana ditahap berikutnya Rp 31 milyar, namun tidak bisa dicairkan. Hal itu akan merugikan daerah,” terangnya.
Ia juga berharap Mulyadinsyah besikap kooperatif. Tidak mengedepankan egonya untuk kepentingan Simeulue.
Setelah Ditetapkan Tersangka, Bekas Bupati Aceh Timur Diinapkan di Rutan kelas II/b
18 Februari 2016 · Mitro Heriansyah
BANDA ACEH – Bekas Bupati Aceh Timur Azman Usmanuddin ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (17/2) kemarin sekitar pukul 17.30 wib. Azman ditahan sebagai tersangka tindak pidana korupsi Kas Bon Pemerintah Daerah Aceh Timur tahun 2005. Saat ini Azman dititipkan di rumah tahanan kelas II/b Banda Aceh.
Kepala Penkum dan Humas Kejati Aceh Amir Hamzah mengatakan, Azman ditahan setelah melalui proses pemeriksaan di bagian Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh. Azman diperiksa penyidik sekitar 10 jam dan bekas Bupati Aceh Timur tahun 2000-2005 ini dicecar sejumlah pertanyaan tim penyidik. Selanjutnya, ia juga melewati pemeriksaan oleh tim dokter Kejati Aceh, dan dinyatakan sehat.
“Azman Usmanuddin ditahan setelah diperiksa tim penyidik. Sebelumnya melalui pemanggilan terlebih dahulu,” kata Amir Hamzah kepada AJNN, Kamis (18/2).
Tim penyidik Kejati Aceh melalui Kasi Penyidikan Satria Abdi menerangkan, bahwa perkara tipikor yang menetapkan Azman Usmanuddin sebagai tersangka terkait dengan Kas Bon Pemda Aceh Timur tahun 2005. Karena tidak mampu dipertanggungjawabkan oleh bendahara umum daerah (BUD) Aceh Timur saat itu, Jufri. Yang sekarang telah menjadi terpidana.
Lanjut Satria Abdi, atas dasar perintah Bupati Azman, Jufri selaku BUD melakukan penarikan uang kas daerah dan membayar 81 lembar SPM pada tahun 2004, menggunakan anggaran daerah tahun 2005 dengan nilai lebih kurang 34 miliar.
Selain itu, kata dia, tersangka juga ada melakukan penarikan pinjaman daerah kepada Bank Pembangunan Aceh (Bank Aceh) sehingga menyebabkan kerugian negara.
“Dengan mengantongi Surat Perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, tim penyidik melakukan penahanan terhadap Azman yang disaksikan dan disetujui oleh pengacara dan pihak keluarga,” kata Kepala Penkum dan Humas Kejati Aceh.
Azman ditahan di rumah tahanan kelas II/b Banda Aceh untuk proses penyidikan dan penuntutan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Kejati Periksa 20 Kepsek Aceh Besar
Rabu, 24 Februari 2016 14:59
* Dugaan Pemotongan Dana BOS
BANDA ACEH - Penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh (Kejati) Aceh sejak awal Februari 2016 memeriksa sedikitnya 20 kepala sekolah (Kepsek) SD, SMP, dan SMA se-Kabupaten Aceh Besar. Pemeriksaan itu untuk meminta klarifikasi terkait dugaan adanya pemotongan dana BOS sebesar 1,5 persen dari total dana diterima sekolah.
Kajati Aceh, Raja Nafrizal SH MH melalui Kasi Pidum dan Humas, Amir Hamzah SH kepada Serambi Selasa (23/2) mengatakan, pemeriksaan itu hanya bersifat klarifikasi, belum sampai pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Saat ini, sebutnya, pihaknya sedang memilah-milah data karena data yang sebelumnya disampaikan oleh Gerakan Antikorupsi (GeRAK) masih umum.
“Ada memang kepala sekolah yang kita klarifikasi. Jadi setiap sekolah macam-macam kegiatannya dan setiap kita panggil kepsek informasinya berbeda. Jadi saat ini kita masih memilah-milah data. Kita tidak bermaksud menimbulkan keresahan di kalangan sekolah, tapi kita hanya minta klarifikasi penggunaan dana BOS kemana saja, karena ada indikasi terjadi pemotongan 1,5 persen,” katanya.
Dia menyebutkan bahwa pemeriksaan itu akan terus berlanjut hingga ke pihak dinas. Begitupun Amir mengaku tidak mempunyai kewenangan menyebutkan ada atau tidaknya penggutipan sebesar 1,5 persen. Karena data tersebut nantinya akan diserahkan kepada lembaga audit untuk menentukan ada atau tidaknya penyimpangan. “Benar atau tidak pengutipan 1,5 persen itu tergantung kelihaian kita dalam mengungkapkannya nanti,” ujarnya.
Kasus dugaan pemotongan dan BOS itu terbongkar dari laporan GeRAK. Pengutipan ini dilakukan dengan modus adanya hasil kesepakatan rapat antara kepala sekolah (musyawarah kerja kepala sekolah (MKKS) dan kelompok kerja kepala sekolah (K3S) dengan pihak Dinas Pendidikan Aceh Besar pada 29 Agustus 2015.
Berdasarkan hasil kajian GeRAK Aceh menemukan data dan bukti adanya dugaan pemotongan dilakukan pada semua SD, SMP dan SMA di Aceh Besar. Adapun jumlah dana BOS tahun 2015 adalah Rp 40.178.100.000. Jumlah itu akan dibagikan untuk 29.814 siswa dari 209 SD, 10.634 siswa dari 70 SMP, dan 9.617 siswa dari 45 SMA/SMK.
Kemudian dari total dana tersebut ditransfer sebanyak 4 kali ke sekolah masing-masing secara termin sesuai dengan juknis BOS yaitu tiga bulan sekali. Akibat dari pemotongan dana BOS ini diduga terjadi kerugian keuangan negara mencapai Rp 2.410.686.000. “Ini adalah akumulasi dari total dana yang diterima pihak sekolah,” ujar Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung.(mas)
Upaya Korupsi Muncul Sejak Menyusun Anggaran
Selasa, 23 Februari 2016 14:41
BANDA ACEH - Asisten III Setda Aceh bidang Administrasi Umum, Syahrul Badrudin MSi, mengimbau semua pihak yang berkaitan dengan penggunaan anggaran pemerintah di Aceh, untuk tidak lagi mencari celah korupsi saat merancang suatu program pembangunan. Tindakan ini bukan hanya berakibat pada tidak maksimalnya pembangunan, tetapi juga mengakibatkan seseorang terjerat kasus hukum.
Hal itu disampaikan Syahrul dalam arahan singkatnya selaku Pembina Upacara pada apel memperingati Bulan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Tahun 2016 yang dipusatkan di Lapangan Upacara Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, Senin (22/2).
“Selama ini, mindset atau cara berpikir korupsi sudah ada sejak awal penyusunan anggaran. Saat menyusun anggaran kita sudah mencari celah, berapa fee atau bagian untuk kita. Ini adalah salah satu hal yang membuat karut-marut wajah pegawai negeri sipil di Aceh,” ungkap mantan inspektur Aceh itu.
Ia juga mengingatkan seluruh pegawai di Aceh untuk meninggalkan perilaku dan cara berpikir koruptif yang selama ini telah menggerogoti sisi kemanusiaan pegawai negeri.
“Selama ini kita hanya bertuhan di masjid. Nah, begitu ke luar dari masjid langsung kembali ke perilaku-perilaku koruptif. Kita hanya takut pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), padahal hukuman dari lembaga itu hanya lima, sepuluh, atau 15 tahun penjara. Kita lupa bahwa hukuman dari Sang Pencipta di hari akhir lebih pedih dan dahsyat,” ujar Syahrul mengingatkan.
Dalam kesempatan itu, Syahrul juga menegaskan tentang pentingnya posisi kehumasan yang islami demi menyampaikan berbagai hal kepada masyarakat. “Pencitraan bukanlah membungkus kebohongan, tetapi menyampaikan apa adanya, itulah Humas yang islami. Oleh karena itu, kami berharap ada sinergi yang baik antara Humas Setda dengan seluruh SKPA, bukan semata menyampaikan program kerja, tetapi juga kinerja para pegawai sebagai tanggung jawab kita kepada masyarakat,” ujar Syahrul.
Pada apel yang dipimpin Asisten III Setda Aceh itu turut dilakukan pembacaan dan penandatanganan pakta integritas pejabat esselon III dan IV di jajaran Disnakermobduk Aceh.
Selain perilaku koruptif, kedisiplinan pegawai juga menjadi salah satu catatan buruk yang harus segera dibenahi. Hal ini juga sering dikritisi masyarakat.
“Banyak PNS maupun pegawai kontrak yang berkeliaran di luar kantor pada saat jam dinas. Oleh karena itu, sistem pengawasan harus kita perluas. Mulai saat ini, petugas satuan pengamanan dan pegawai kontrak pun bisa mengawasi kinerja kita. Semua harus saling mengawasi, baik dalam hal kedisiplinan maupun korupsi,” pesan Syahrul.
Demi penegakan disiplin pegawai, seusai dilantik sebagai Asisten III Setda Aceh, Syahrul langsung menerapkan berbagai aturan. Ia juga berharap kedisiplinan bukan hanya kewajiban para staf, tetapi juga kewajiban sang pemimpin.
“Atasan harus menjadi contoh bagi bawahannya. Tak boleh pimpinan memerintahkan staf hadir pukul 08.00 WIB, tapi ia justru belum hadir, Ini kebiasaan yang salah. Oleh karena itu, demi menegakkan kedisiplinan, maka kita sudah mulai tegas dengan mekanisme pemotongan TPK bagi pegawai yang melanggar disiplin,” lanjut Syahrul.
Ia ingatkan agar para tenaga kontrak bekerja dengan baik dalam membantu tugas-tugas para PNS dan tidak melanggar disiplin. “Tenaga kontrak, jika melakukan pelanggaran, maka akan kita evaluasi apakah akan kita pertahankan atau kita putus kontraknya,” tegas Syahrul.(dik)
Mendagri Harus Coret Uang Makan
Selasa, 23 Februari 2016 15:03
Mendagri Cahyo Kumolo
BANDA ACEH - Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, menilai pagu anggaran yang dialokasikan untuk uang makan dan minum pada seluruh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) tahun 2016 sebesar Rp 86 miliar melebihi angka ideal dan rawan disalahgunakan.
Dia meminta Mendagri harus berani mencoret dana tersebut bila dianggap “gemuk” atau berlebihan. Menurut Askhalani, jika dilihat dari rasio jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Provinsi Aceh yang mencapai 9.000 orang lebih ditambah tenaga honorer/kontrak sekitar 8.000 orang, sehingga totalnya 17.200 orang, angka sebesar itu melebihi jumlah ideal.
Menurutnya, idealnya uang makan dan minum pada SKPA cukup antara kisaran Rp 6-7 miliar rupiah per tahun. “Ini menunjukkan bahwa DPRA tidak bekerja secara bagus pada saat pembahasaan anggaran, akibat lebih fokus pada dana aspirasai. Akibatnya, uang yang berhubungan dengan kepentingan publik digerogorti oleh PNS,” katanya kepada Serambi, Senin (22/2) menanggapi berita berjudul “Uang Minum SKPA Rp 86 M”.
Askhalani mengungkapkan, besarnya pagu anggaran untuk uang makan dan minum itu mengindikasikan terjadinya pemborosan keuangan daerah yang luar biasa. Aktivis antikorupsi ini pun mendesak Mendagri Tjahjo Kumolo agar tidak hanya sebatas mengoreksi, tapi juga harus berani mencoret dana itu dan menyampaikan angka idealnya.
“Kalau dibiarkan, itu sama dengan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan hal yang berhubungan dengan korupsi. Tapi kalau Pemerintah Aceh tetap menggunakan dana tersebut, maka beri sanksi, karena uang makan dan minum seperti ini cukup rawan terjadinya korupsi,” tegas putra Aceh Barat Daya (Abdya) ini.
Koordinator GeRAK Aceh ini juga meminta Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah dan DPRA untuk menunjukkan iktikad baik dalam menindaktinlanjuti koreksi Mendagri.
“Jadi, koreksi Mendagri harus dipatuhi. Jika Mendagri katakan harus dihapus, maka DPRA juga harus komit hapus itu. Jangan dibiarkan, karena potensi korupsinya cukup tinggi,” tukas Askhalani.
Dia katakan, tidak ada yang bisa menjamin dinas-dinas tidak melakukan manipulasi data terhadap uang makan dan minum, mengingat pertanggungjawaban penggunaan uang makan dan minum cukup dengan kuitansi saja. “Saya cukup tidak yakin SKPA itu jujur,” pungkasnya. (mas)
Polisi dan Inspektorat Usut Kasus Toko Ambruk di Lampulo
Rabu, 24 Februari 2016 16:15
Warga melihat gudang pengepakan ikan di Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo Banda Aceh, yang ambruk pada pukul 15.20 WIB, Senin (22/2/2016). Kejadian itu mengakibatkan dua unit sepeda motor dan dua unit becak mesin milik pedagang rusak parah. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.SERAMBI/M ANSHAR
BANDA ACEH - Tim Polresta Banda Aceh mendalami dan memeriksa penyebab ambruknya teras 10 toko di Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Lampulo, Banda Aceh, Senin (22/2) siang. Pengusutan juga dilakukan oleh pihak inspektorat Aceh, dengan cara mengumpulkan data pelaksana proyek, konsultan perencana, dan pengawas proyek.
“Kami akan cek, kenapa bisa roboh,” kata Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Zulkifli SStMk SH, melalui Kasat Reskrim Kompol Supriadi SH MH, kepada Serambi, Selasa (23/2).
Menurutnya, langkah penanganan yang akan dilakukan sangat tergantung hasil pemeriksaan yang tengah didalami personel Polresta Banda Aceh. “Begitu kejadian, anggota langsung ke lokasi dan melakukan pengecekan. Tapi, hingga saat ini belum ada yang dimintai keterangannya. Namun, tetap akan kita panggil, kontraktor atau pihak-pihak yang bertanggung jawab,” pungkasnya
Supriadi belum berani berspekulasi penyebab ambruknya bagian teras 10 toko di Kompleks Pelabuhan Perikanan Lampulo yang bersumber dari APBN tahun 2013 itu. “Apa penyebab roboh, tentu sangat tergantung hasil penyelidikan,” kata Supriadi.
Terpisah, Kepala Inspektorat Aceh, Abdul Karim mengaku sudah melihat langsung kondisi bangunan yang ambruk. Ia mengambil beberapa material yang runtuh untuk dijadikan bahan bukti dan bandingan. “Misalnya besi yang digunakan, apakah besaran incinya sudah sesuai dengan speks gambar gedung terasnya,” kata Abdul Karim kepada Serambi di ruang kerja Asisten III Setda Aceh, Syahrul Badaruddin, Selasa (23/2).
Ia menjelaskan, bangunan gedung pengepakan ikan di PPS Lampulo yang roboh adalah teras depannya selebar 4 meter dengan panjang 40 meter lebih. Tapi akibat robohnya teras depan, konstruksi bagian yang lain ikut rusak. Data diperoleh di lapangan, tidak ada peristiwa alam ketika teras gedung itu ambruk, seperti gempa bumi, angin kencang maupun badai.
Gedung itu, kata Abdul Karim, dibangun pada tahun 2013 dengan sumber dana dari APBN senilai Rp 1,521 miliar. Perusahaan yang dipakai untuk mengerjakannya adalah kontraktor lokal, berinisial VM dengan konsultan perencana dan pengawas berinisial DMK.
Abdul Karim menyebutkan, berdasarkan isi Pasal 35 PP Nomor 29 tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi, jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan sebuah bangunan ditentukan sesuai umur konstruksi yang direncanakan maksimal 10 tahun, sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.
Pihak kontraktor menyerahkan 10 pintu gedung pengepakan ikan itu kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, pada akhir tahun 2013. Ini artinya, usia bangunan gedung pengepakan ikan itu, baru berjalan 2 tahun satu bulan.
“Kontraktor dan konsultan pengawas proyek pembangunan gedung pengepakan ikan PPS Lampulo itu harus bertanggungjawab, karena masa bangunan belum melampui usia maksimal sebuah bangunan permanen maksimal 10 tahun,” ujarnya.
Abdul Karim menegaskan, kontraktor tersebut bisa dikenakan pidana jika tidak mengganti bangunan yang roboh tersebut. Asisten III Setda Aceh, Syahrul Badaruddin meminta agar pengusutan terhadap kasus ambruknya teras beton gedung pengepakan ikan PPS Lampulo, dilakukan secara terpadu dan tuntas. Kontraktor, konsultan pengawas, maupun PPK, perlu dipanggil untuk dimintai keterangan terkait pengerjaan bangunan itu.
Syahrul pun setuju jika Inspektorat Aceh menggunakan jasa Tim Ahli Bangunan Gedung dalam mengusut kasus ini. “Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia kontraktor, konsultan PPTK, PPK, dan pengawas proyek fisik maupun barang di jajaran SKPA, dalam pelaksanaan proyek APBA dan APBN pada tahun 2016,” ujarnya.
Syahrul juga mengingatkan Inspektorat Aceh perlu ekstra hati-hati dan jeli dalam mengusut teras depan gudang pengepakan ikan PPS Lampulo. “Jangan sampai terkecoh dengan berbagai alasan yang bisa membuat rekanan dan konsultan perencana dan pengawasnya lepas dari jeratan hukum akibat dari ketidakmampuannya memberikan bangunan berkualitas,” ujar Syahrul.
Diberitakan kemarin, 10 unit toko di Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudra Lampulo, Banda Aceh, Senin (22/2) sekitar pukul 15.10 WIB ambruk bagian terasnya. Sebagian bangunan itu selama ini difungsikan sebagai gudang pengepakan ikan
Rerentuhan bangunan tersebut menimpa dua unit sepeda motor (sepmor) dan becak motor, masing-masing Yamaha Vixion milik Sulaiman, Yamaha Mio milik Rizal, dan dua becak motor milik Rizal dan Iqbal.(mir/her)
Korupsi di Aceh Rugikan Negara Rp 885 Miliar
Senin, 4 Januari 2016 14:44
BANDA ACEH - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh merilis hasil monitoring media dan laporan pihaknya terkait dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi selama 2015. Menurut lembaga tersebut, terdapat 27 kasus dugaan korupsi, dengan nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 885,8 miliar. Meningkat dibanding tahun 2014 lalu yang sekitar Rp 500 miliar.
Demikian disampaikan Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung, dalam rilis yang diterima Serambi, Minggu (3/1). Ia mengatakan dari jumlah kasus yang berpotensi dikorupsi tersebut diakui ada yang masih dalam penanganan Kejaksaan, Kepolisian, KPK, dan pengadilan.
Hayatuddin menjelaskan model korupsi di Aceh pada tahun 2015 sangat spesifik, karena sangat terencana dan terstruktur. “Hasil monitoring dan catatan GeRAK Aceh menunjukan bahwa dana hibah dan bansos menjadi penyumbang utama dalam dugaan kasus yang berpotensi korupsi. Modus operandi yang dilakukan mulai perencanaan hingga perubahan spek dan hal lainnya,” ungkapnya.
Salah satu contoh kasus adalah pengadaan 98 unit traktor sedang 4 WD pada dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh dengan pagu anggaran Rp 39 miliar. Dari dokumen yang dimiliki GeRAK, disebutkannya bahwa kasus itu terjadi beberapa kali perubahan spek dan lainnya. “Kasusnya sudah kami supervisi ke KPK, Kejagung, dan Kapolri,” ujar Hayatuddin.
Lalu dugaan korupsi Dermaga Lhok Weeng Sabang, sebesar Rp 11,7 miliar, dimana proses anggaran yang diplotkan untuk dermaga itu tidak sesuai kondisi proyek di lapangan. Proyek itu menurutnya tak ubah seperti layaknya tanggul penahan ombak. Untuk kasus itupun GeRAK juga telah melaporkan ke KPK.
Di sisi lain GeRAK juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi pada anggaran aspirasi anggota DPRA dalam bentuk bantuan kelompok tani tambak dan lainnya yang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh tahun 2015. Bantuan itu diciptakan berbagai model kelompok masyarakat di 18 kabupaten/kota di Aceh dengan total anggaran yang diplotkan Rp 40 miliar.
“Program ini sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan mudah dengan cara memecahkan anggaran agar bisa dilakukan penunjukan langsung (PL) diakhir masa anggaran. Rata-rata paket PL itu dari Rp 30 sampai 200 juta,” lanjutnya.
Selain itu, dari sisi penegakan hukum kasus korupsi juga dinilai masih lemah, termasuk juga fungsi kontrol dan pengawasan Pemerintah Aceh serta pemerintah kabupaten/kota serta DPRA/DPRK di Aceh. Hal ini mengakibatkan anggaran yang sejatinya diperuntukan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
“GeRAK berharap publik di Aceh dan media massa dapat terus memantau kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum dan mengawasi setiap pekerjaan yang dianggarkan oleh negara,” demikian Hayatuddin.(mir)
Langganan:
Postingan (Atom)