Minggu, 22 Juni 2014

Mukhlis Mukhtar: jangan bicara pemerintah bersih jika dikoalisi banyak koruptor

AJNN.net
 Rabu, 11 Juni 2014 11:24 WIB

BANDA ACEH – Mukhlis Mukhtar Sekretaris Partai Hanura Aceh menyindir koalisi pasangan Calon Presiden Prabowo-Hatta.  Katanya jangan bicara pemerintahan bersih sementara para koalisi tak sedikit dihuni oleh koruptor.

“Kita memang bukan malaikat, tetapi sangat miris jika dana Alquran dikorupsi. Kemudian dana jamaah haji pun dikurupsi,”kata Mukhlis Mukhtar dalam pidato politik pada acara Silaturahmi dan Konsolidasi Relawan Jokowi-JK Se Aceh,  Rabu (11/6).

Hanura merupakan salah satu partai koalisi pengusung pasangan Jokowi-JK untuk calon presiden dan wakil presiden. Sebagaimana diketahui PPP merupakan koalisi pasangan Prabowo-Hatta.  Baru-baru ini ketua umum PPP Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi dana haji.

Mukhlis Mukhtar juga mengkritik Hatta Rajasa. Dalam debat capres-cawapres Hatta bicara soal kesetaraan hukum. “Sementara anaknya yang menabrak orang tetapi tidak dihukum,”ujarnya.

Sementara itu, ketua umum Partai Nasional Aceh (PNA) Irwansyah mengatakan pasangan Jokowi-JK akan mampu membawa Indonesia ke arah lebih baik. ZULIA JM

Menteri Agama jadi tersangka korupsi dana haji

AJNN.net


JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi telah menaikan status kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013 menjadi penyidikan. Hal tersebut dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, saat dikonfirmasi oleh wartawan.

Menurut Busyro, KPK telah menetapkan Menteri Agama, Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam kasus ini.“Sudah naik penyidikan dengan SDA (Suryadharma Ali) dan kawan-kawan sebagai tersangka,” kata Busyro, Kamis 22 Mei 2014.

Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad diketahui pada beberapa waktu lalu sempat mengatakan bahwa akan ada tersangka terkait kasus haji ini. Bahkan dia menyebut calon tersangka adalah salah satu petinggi di negeri ini.

Terkait penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah saksi untuk diminta keterangannnya. Baik dari pihak DPR maupun dari pihak Kementerian Agama, termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali.
VIVA

Kejari Banda Aceh tahan mantan direktur Akademi Farmasi

AJNN.net
 Jumat, 23 Mai 2014 23:06 WIB

BANDA ACEH – Dua tersangka dugaan korupsi di Akademi Farmasi Aceh ditahan pihak Kejaksaan Negeri (Kajari) Banda Aceh, Jumat (23/5).

Kedua tersangka tersebut yakni mantan direktur akademi farmasi Aceh, Ermeyda dan Syarifah Alawiyah yang juga mantan bendahara di akademi tersebut.

Kasipiksus Kajari Banda Aceh, Hamka Nasution, penahanan kedua terduga korupsi di tubuh akademi farmasi itu dilakukan agar tersangka tidak mempengaruhi saksi-saksi dan menghilangkan barang bukti.
“Makanya atas dasar itulah kita lakukan penahanan terhadap kedua tersangka itu,” katanya.

Ia juga menyebutkan, keduanya ditetapkan tersangka sejak bulan Mei lalu. “Jadi kita sudah lakukan pemeriksaan intensif keduanya selama dua bulan sejak bulan April lalu,” sebutnya.

Pada tahun 2012 Akademi farmasi Aceh mendapat dana hibah dari Pemerintah Aceh dari APBA sebesar Rp 700 juta untuk penunjang pendidikan Akademi Farmasi salah satunya diperuntukkan untuk perlengkapan penunjang laboratorium.

Namun, setelah menerima dana hibah tersebut, kata Hamka, kedua tersangka tidak melaksanakannya sesuai dengan perjanjian antara Pemerintah Aceh dengan pihak akademi. Akan tetapi dana tersebut digunakan untuk studi banding mahasiswa.

“Selain itu terhadap mahasiswa juga dilakukan pengutipan uang studi banding yang berangkat ke pulau jawa sebesar Rp 4 juta per mahasiswa sedangkan ke Medan dikutip Rp 2 juta,” ungkapnya.
Akibat perbuatan tersangka berdasarkan audit BPKP negara dirugikan sebesar Rp. 700 juta.
| TOMMY

Mantan Kabag ekonomi setda Aceh Utara resmi ditahan

AJNN.net

Rabu, 18 Juni 2014 19:21 WIB

Mantan Kabag ekonomi setda Aceh Utara resmi ditahanMantan Kabag Ekonomi Setda Aceh Utara Foto: Tommy AJNN
 
BANDA ACEH – Mantan Kabag ekonomi dan investasi setda Aceh Utara, Melodi Thaher resmi ditahan pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (18/6).

Penahanan tersebut terkait kasus pinjaman kredit oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Utara pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh (sekarang Bank Aceh-red) senilai Rp7,5 miliar.

Assisten Pidana Khusus (Adpidsus) Kejati Aceh, Raja Ulung Padang, mengatakan penahanan terhadap tersangka dugaan korupsi itu dilakukan untuk mempermudah dan mempercepat penyidikan.

“Kita terpaksa lakukan penahanan agar tersangka tidak melarikan diri, dan mempercepat penyidikan,” katanya.

Sebelumnya, Melodi Thaher telah ditetapkan sebagai tersangka pada 13 maret 2014 lalu terkait kasus pinjaman dana pinjaman ke Bank BPD dimana dana tersebut direncanakan untuk membiayai kegiatan pembangunan tahun 2009.

Peminjaman dilakukan karena pemkab saat itu belum menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Perubahan Aceh Utara 2009.“

Namun faktanya, pinjaman tersebut tidak dialokasikan untuk membiayai kegiatan pembangunan sebagaimana rencana sebelumnya. Akan tetapi dana tersebut malah dibagi-bagi kepada beberapa oknum di lingkungan Pemerintah Aceh Utara,” ungkap Raja Ulung.

Terkait apa ada tersangka lainnya, menurut Raja Ulung, pihaknya masih terus melakukan penyidikan.
“Saat ini kita masih menahan satu orang, terkait yang lainnya kita masih lakukan penyidikan,” sebutnya.
Setelah dilakukan tes kesehatan oleh tim dokter, tersangka langsung dititipkan ke Rumah Tahanan (Rutan) klas II A, Kajhu Aceh Besar.
|TOMMY

Rp 3,4 M Jatah Puskesmas Tertahan di Dinkes

Serambi Indonesia

Minggu, 22 Juni 2014 13:34 WIB
 
MEULABOH - Sebanyak Rp 3,4 miliar dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) jatah Puskesmas di Aceh Barat, hingga kini masih tertahan di rekening Dinas Kesehatan (Dinkes) kabupaten.

Dana tersebut merupakan akumulasi dari bulan Januari hingga April 2014. Penyalurannya tertahan lantaran regulasi pencairan yang belum jelas.

“Aturan yang jelas masih belum ada, meski sudah dilakukan beberapa koordinasi, baik pertemuan di Aceh dan luar Aceh,” Kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh Barat, dr Zafril Luthfy Mkes, kepada Serambi, Sabtu (21/6).

Zahri mengaku dana tersebut masih berada di rekening Dinkes dan pihaknya akan terus berupaya melakukan koordinasi untuk proses pencairannya.

Pekan depan, pihaknya bersama DPRK Aceh Barat sudah menjadwalkan akan meminta klarifikasi dan petunjuk lebih jelas ke Biro Hukum Kemenkes di Jakarta. “Petunjuk harus dalam bentuk tertulis.” tegas Zafril.(riz)

PAS Pertanyakan Perkembangan Kasus Mark-up Harga Tanah

Serambi Indonesia

Minggu, 22 Juni 2014 13:35 WIB
 
TAPAKTUAN - Wakil Ketua Pemuda Aceh Selatan (PAS), Muzakir, mempertanyakan perkembangan kasus dugaan mark-up (penggelembungan) harga tanah Stadion Olah Raga dan Pusekesmas, di Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan.

Pasalnya, kasus yang diduga telah merugikan negara sebesar Rp 8,1 miliar itu sampai sekarang belum diketahui perkembangan dan tindaklanjutnya.

“Polda Aceh yang pada saat itu sempat mengirimkan tim ke Aceh Selatan untuk melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut juga tidak menginformasikan perkembangan kasus tersebut ke publik, sehingga masyarakat menjadi bertanya-tanya,” kata Muzakir kepada Serambi, Sabtu (21/6).

Pihaknya berharap Polda Aceh bisa memberikan informasi ke publik tentang perkembangan penanganan kasus tersebut. “Harapan kita, Polda Aceh menginformasikan setiap perkembangan penanganan kasus, karena masyarakat sangatmenanti-nantikan informasi itu,” harap Muzakir.

Seperti diberitakan sebelumnya, sehari setelah GeRAK Aceh mengekpose temuannya mengenai dugaan penggelembungan (mark-up) harga beli tanah untuk pembangunan Stadion Ladong Mekong dan Puskesmas Plus di Kluet Utara, Aceh Selatan, Polda Aceh segera menurunkan tim penyelidik ke Aceh Selatan untuk menggali data yang dibutuhkan dalam membongkar dugaan kasus manipulasi harga tanah tersebut.

“Kita sudah turunkan tim khusus pencari fakta dan data terkait dugaan yang mark-up sebagaimana temuan GeRAK Aceh itu,” kata Direktur Reserse Kriminal (Direskrim) Polda Aceh, Joko Irwanto, kepada Serambi, Rabu (12/2).

Menurut Joko, temuan LSM GeRAK Aceh tentang dugaan mark-up harga beli tanah untuk pembangunan Stadion Ladong Mekong di Desa Krueng Batu dan Puskesmas Plus di Desa Limou Purut di Aceh Selatan yang diperkirakan merugikan keuangan daerah Rp 8,1 miliar itu, sangat menarik. Sekaligus menjadi tantangan bagi Direskrim Polda Aceh untuk membongkarnya.(tz)

Sabtu, 21 Juni 2014

GaSAK Desak Kejari Bireuen Tuntaskan Kasus Askes

Merdeka Mengabarkan

 Jun 14, 2014 0

Bireuen – Menghilangnya mantan Bendahara Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Bireuen yang diduga terlibat kasus korupsi dana Askes tahun anggaran 2013 sebesar Rp 1,1 miliar menjadi sorotan LSM Gabungan Solidaritas Anti Korupsi (GaSAK).

“Kami sangat menyayangkan kejadian ini. Kami beranggapan, bila Kejari tegas dan membuktikan komitmennya, maka menghilangnya FM sungguh tidak akan terjadi. Ini adalah suatu hal yangmemalukan dan bisa saja mencoreng institusi Kejari,” ujar Ketua Divisi Advokasi dan Kampanye GaSAK Bireuen, Murni, kepada AtjehLINK, Jum’at (13/6/2014) sore.

Menurut Murni, ironis rasanya kasus yang sudah terkuak sejak lama, namun tak kunjung selesai. Meski sebelumnya  pihak Kejari mengakui mengalami kendala dalam komunikasi.

“Kami berharap Kejari segera menuntasan kasus ini. Selain karena diduga telah merugikan negara milyaran rupiah, penyelesaian kasus ini juga akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap Kejari Bireuen. Semoga Kajari tidak asal bicara dalam menuntaskan pemberantasan  korupsi, tapi harus mewujudkannya,” tegas Murni.

Murni menambahkan, kiranya Kejari tidak ada menerapkan standar ganda dan tebang pilih dalam penuntasan kasus  ko­rupsi yang berjumlah sangat banyak di Bireuen. “Ibarat mata pisau dapur,” tamsilnya.
“Penuntasan  kasus pidana oleh kejaksaan jangan hanya me­nyentuh masyarakat kecil semata, kasus  korupsi yang jelas merugikan Negara hingga miliaran rupiah dikerjakan  de­ngan lamban dan terkesan sengaja di­biarkan mengendap. Bila pencuri ayam tersangka dengan cepat ditahan, tapi pejabat malah dibiarkan begitu saja,” pungkas Murni.

Sementara itu, Kepala DPKKD Bireuen, Drs Tarmidi yang dikonfirmasi wartawan via seluler membantah infonrmasi yang menyebutkan FM menghilang. Tarmidi mengaku, FM selama ini masih masuk kantor dan bekerja secara normal. Namun karena kini tak memiliki jabatan, selaku pegawai fungsional biasa FM hanya menjalani kegiatan rutin sebagai staf DPKKD.

“Masih masuk kerja kok, cuma sesekali gak masuk mungkin. Karena bukan pejabat struktural. Dia selaku pegawai bisa menjalankan tugasnya seperti biasa,” jelasnya. [HL]

Rekanan Jembatan Pange Diperiksa Lagi

Serambi Indonesia

Senin, 26 Mei 2014 15:57 WIB
 
LHOKSUKON - Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhoksukon, Aceh Utara, Jumat (23/5) memeriksa lagi rekanan proyek pembangunan jembatan rangka baja modifikasi di Desa Rayeuk Pange, Kecamatan Pira Timu, Aceh Utara. Pemeriksaan itu dilakukan penyidik untuk mendalami kasus proyek di Dinas Bina Marga Aceh Utara dengan sumber dana APBK Aceh Utara Rp 2,8 miliar pada tahun 2010. 

Kajari Lhoksukon Teuku Rahmatsyah MH melalui Kasi Pidana Khusus (Pidsus), Oktalian SH kepada Serambi, Minggu (25/5), menyebutkan, ada empat saksi yang diperiksa lagi untuk menyelidiki kasus itu. Tiga di antaranya adalah rekanan dan satu saksi lagi adalah konsultan pengawas proyek itu.

“Kita memanggil lagi mereka karena masih ada yang ingin didalami oleh penyidik dari mereka. Namun, pemeriksaan terhadap ke empat saksi tersebut belum selesai,” ujar Kasi Pidsus.

Menurut Oktalian, penyidik masih membutuhkan keterangan tambahan dari saksi, apalagi dalam kasus itu penyidik belum menetapkan tersangka meskipun status kasus tersebut sudah ditingkatkan ke penyidikan. “Penyidik sudah menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap mereka besok (hari ini-red),” katanya.(jf)

Polisi Telesuri Bantuan Sapi di Padang Tiji

Serambi Indonesia

Kamis, 29 Mei 2014 12:24 WIB
 
* Diduga Tak Disalurkan

SIGLI - Penyidik kepolisian Reskrim Polres Pidie menelusuri kasus sapi bantuan untuk kelompok tani tahun 2008 di Gampong Pulo Hagu Kecamatan Padang Tiji. Bantuan sapi tersebut berjumlah 45 ekor dengan sumber dana dari Otonomi Khusus (Otsus) APBA, dilaporkan belum dibagikan kepada anggota kelompok.

“Kasus sapi bantuan itu, hingga kini masih kita lidik. Kami telah memeriksa ketua kelompok tani, anggota kelompok dan Camat Padang Tiji. Pemeriksaan mereka kapasitasnya masih sebagai saksi,” kata Kapolres Pidie, AKBP Sunarya SIK, melalui Kasat Reskrim AKP Ibrahim SH menjawab, Serambi, Rabu (28/5).

Ia mengatakan, hasil pemeriksaan penyidik kepolisian dari anggota kelompok, bahwa 45 bantuan sapi tersebut belum dibagikan kepada anggota kelompok berjumlah 27 orang. “Jadi kita masih mendalami kasus bantuan sapi untuk kelompok tani di Padang Tiji. Karena sampai sekarang bantuan sapi tersebut belum dibagikan kepada sebagian anggota kelompok. Sebagian anggota juga diberikan uang sebesar Rp 2 juta,” kata Kasat Ibrahim.

Ia mengatakan, penyidik kepolisian serius mengungkapkan kasus bantuan sapi di Padang Tiji.

“Kita curiga kenapa bantuan lembu tidak dibagikan kepada anggota kelompok. Lembu bantuan itu masih ada, tapi mengacu hasil pemeriksaan saksi kepada polisi lembu telah mati. Kita akan cek ke lapangan terkait bantuan sapi tersebut,” demikian Kasat Reskrim Polres Pidie. (naz)

Marthin Desky Resmi Jadi Tersangka

Serambi Indonesia

Kamis, 29 Mei 2014 12:33 WIB
 
* Kasus Korupsi APBK Aceh Tenggara

BANDA ACEH - Tim Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh ternyata sudah sekitar tiga minggu lalu menetapkan mantan Sekda Aceh Tenggara (Agara) Marthin Desky dan mantan pemegang kas kabupaten itu, Muhammad Yusuf I sebagai tersangka kasus korupsi APBK Agara 2004-2006, senilai Rp 26,5 miliar.

Informasi ini awalnya diperoleh Serambi dari sumber-sumber di Banda Aceh malam tadi. Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH ketika dikonfirmasi membenarkan informasi ini, menurutnya kedua mantan pejabat Agara itu ditetapkan tersangka pada awal Mei 2014 atau beberapa bulan setelah perkara ini diusut.

“Ya perkara ini menyatu dengan kasus mantan bupati Agara, Armen Desky yang dulu ditangani KPK dan sudah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta empat tahun penjara pada 2009 lalu. Karena dalam putusan terhadap Armen, MD dan MHI juga diduga terlibat sehingga diperintah usut,” kata Amir Hamzah menjawab Serambi malam tadi.

Amir Hamzah mengatakan pada 2004-2006 itu, Marthin menjabat Sekda dan Muhammad Yusuf adalah pemegang kas kabupaten itu. Adapun dugaan korupsi dana kas bon ini seakan-akan digunakan para tersangka untuk program tertentu, tetapi nyatanya tidak. “Nah untuk keperluan apa digunakan, ini yang sedang dikembangkan tim penyidik,” ujar Amir Hamzah.

Kasi Penkum dan Humas ini menambahkan hingga kemarin, kedua tersangka tak ditahan karena tak dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau memengaruhi saksi. Sedangkan dalam waktu yang tak lama lagi perkara ini akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh untuk disidangkan.

Amir Hamzah juga menginformasikan penetapan kedua tersangka ini setelah pemeriksaan sekitar 50 saksi, termasuk Bupati Gayo Lues saat ini, Ibnu Hasim yang ketika 2004-2006 menjabat Kabag Keuangan Agara.

Pernyataan Amir bahwa Ibnu Hasim masih sebatas saksi juga untuk membantah informasi yang berkembang di masyarakat, termasuk dimuat di salah satu media online yang memberitakan Ibnu Hasim sudah ditetapkan tersangka dalam perkara ini.

“Pak Ibnu satu dari 50 saksi yang telah diperiksa. Hingga kini baru dua tersangka yang telah ditetapkan, meski tak tertutup kemungkinan ada penambahan tersangka lain,” demikian Amir Hamzah.(sal)

4 Terdakwa Korupsi di Tamiang Dihukum Berbeda

Serambi Indonesia

Selasa, 3 Juni 2014 12:07 WIB
 
BANDA ACEH - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh dalam sidang terakhir, Senin (2/6), menghukum berbeda empat terdakwa perkara korupsi proyek pembangunan talut Sungai Tamiang di Kualasimpang. Kontraktor proyek ini, Farida Wedianingsih 3,5 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan, serta harus membayar uang pengganti Rp 500 juta lebih.

Sedangkan vonis terhadap tiga terdakwa lainnya adalah empat tahun penjara terhadap pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), Ramlan, 2,5 tahun untuk pembantu PPTK, Muhammad Arfan, dan setahun penjara terhadap pengawas proyek ini Sugiharto. Meski hukuman penjara terhadap ketiganya berbeda, namun vonis denda terhadap mereka sama, yaitu masing-masing Rp 100 juta atau bisa diganti kurungan tambahan (subsider) dua bulan kurungan.

Pertama giliran Sugiharto duduk di kursi pesakitan, kedua Farida, dan ketiga Ramlan serta Muhammad Arfan yang berkasnya digabung. Inti putusan dibacakan majelis hakim diketuai Ainal Mardhiah SH, keempat terdakwa terbukti secara bersama-sama tak menjalankan tugas sesuai kewenangan masing-masing sehingga proyek didanai otsus 2009 Rp 3 miliar lebih ini terjadi kekurangan volume bangunan, namun telah dibayar sepenuhnya kepada Farida.

Farida adalah Dirut PT Kayu Mas Alam Indah selaku pelaksana proyek pencegahan meluapnya air sungai tersebut ke pusat Kota Kuala Simpang. Karena itu, hanya terdakwa Farida yang dibebankan membayar uang pengganti Rp 500 juta lebih sesuai kerugian negara dalam perkara ini, bukan Rp 706.969.692 seperti dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kuala Simpang, seperti audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh.

Keempat terdakwa yang selama ini ditahan, didampingi pengacara masing-masing menyatakan pikir-pikir terhadap putusan ini. Begitu juga JPU Kejari Kuala Simpang, Sayid Muhammad SH.

Seperti diketahui, pada sidang sebelumnya JPU Kejari Kualasimpang menuntut terdakwa Sugiharto dan Muhammad Arfan masing-masing 8,5 tahun, dan Ramlan 9,5 tahun penjara. Ketiganya juga dituntut membayar denda masing-masing Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Khusus terdakwa Farida, selain dituntut 9,5 tahun penjara denda Rp 200 juta subisider tiga bulan kurungan, perempuan ini juga dituntut membayar uang pengganti Rp 706.969.692 sesuai kerugian negara berdasarkan hasil audit BPKP Aceh. (sal)

Tarif Hotel juga Dimarkup

Serambi Indonesia


Jumat, 6 Juni 2014 11:09 WIB
 
* Dugaan Korupsi Dana Sanggar Meuligoe Cut Meutia

LHOKSUKON - Pengurus Sanggar Meuligoe Cut Meutia Pemkab Aceh Utara juga memarkup (menggelembungkan) biaya sewa kamar (tarif) hotel di Surabaya, Jawa Timur selama sepuluh hari saat tim sanggar tersebut mengikuti lomba marching band pada tahun 2009. Selain itu, biaya catering juga dimarkup hingga puluhan juta rupiah.

Hal itu terungkap saat tim Penyidik Kejari Lhoksukon, Aceh Utara memeriksa karyawan Griyonur Hotel dan pemilik rumah makan di Kota Surabaya untuk memastikan kebenaran laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang dibuat pengurus sanggar itu. Pemeriksaan tersebut dilakukan penyidik pada 2-4 Juni.

“Penyidik juga menyita barang bukti. Perkiraan kita harga yang dimarkup dari biaya sewa hotel dan biaya pemesanan makan mencapai 100 juta rupiah lebih,” kata Kajari Lhoksukon, Teuku Rahmatsyah MH melalui Kasi Pidana Khusus (Pidsus), Oktalian SH kepada Serambi, Kamis (5/6).

Menurutnya, dana yang dipertanggungjawabkan dalam LPJ untuk sewa hotel Rp 72,5 juta, tapi yang dibayar hanya Rp 20 juta. Untuk memastikan kerugian negara, lanjutnya, penyidik akan menyerahkan data tersebut ke Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh.

Dalam LPJ, sebutnya, kamar hotel yang disewa 29 unit. Tapi, hasil pemeriksaan dari karyawan hotel, kamar yang disewa hanya 15 unit. Dalam LPJ biaya sewa satu kamar hotel yang dipertanggunngjawabkan Rp 250 ribu, sedangkan biaya sewa per kamar yang dibayar hanya Rp 120 ribu.

“Penyidik juga menemukan pemalsuan tekenan dan nama pemilik hotel. Pengurus tidak menginap di hotel itu selama kegiatan tersebut. Tapi dalam LPJ, pengurus sanggar menyebutkan menginap di Hotel Griyonur. Untuk memastikan data lain, penyidik masih menyelidiki laporan dari tim yang hingga kini masih di Surabaya,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus itu terungkap ketika dibuat LPJ pengurus sanggar di 27 Kecamatan. Ternyata, dana hibah untuk sanggar tidak pernah diterima oleh pelatih maupun asisten pelatih tari. Sehingga, pada tahun 2010 jaksa mulai menemukan indikasi korupsi dalam kasus tersebut.(jf)

Jumat, 20 Juni 2014

Dipanggil Jaksa, Mantan Bendahara DPKKD Mangkir

Serambi Indonesia

Kamis, 12 Juni 2014 11:48 WIB
 
BIREUEN - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen sudah berulang kali memanggil Fandi Munawar, mantan bendahara pengeluaran Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Bireuen untuk dimintai keterangan terkait raibnya dana APBK Bireuen 2013 sebesar Rp 1,1 miliar. Tapi, hingga Rabu (11/6) Fandi masih mangkir atau belum memenuhi panggilan tersebut.

“Jika dalam beberapa hari ke depan Fandik tidak juga memenuhi panggilan tersebut, kita akan menjemput dia secara paksa,” kata Kajari Bireuen melalui Kasie Intel, Munawal Hadi kepada Serambi, kemarin. Karena belum bisa memintai keterangan dari Fandi, menurut Munawal, pihaknya masih sulit mengungkap kasus itu, termasuk kemana saja uang itu mengalir.

Sebelumnya, lanjut Munawal, pihaknya sudah meminta keterangan Kepala DPKKD Bireuen, Tarmidi. Karena keterangan Tarmidi uang itu diduga digelapkan oleh Fandi, makanya jaksa harus tetap memintai keterangan dari Fandi. “Kalau Fandi sudah kita minta keterangan, pasti akan terungkap siapa yang terlibat dalam kasus raibnya uang tersebut,” pungkasnya.

Seperti diberitakan, dana subsidi iuran asuransi kesehatan (askes) Bireuen yang dialokasikan Pemkab setempat dalam APBK 2013 melalui  DPKKD diduga raib. Pasalnya, dari Rp 2 miliar total dana yang dianggarkan, hingga kini belum seluruhnya disetor ke PT Askes--sekarang bernama BPJS.(c38)

Polres Sabang Limpahkan 2 Kasus Korupsi ke Kejari

Serambi Indonesia

Kamis, 12 Juni 2014 12:08 WIB
 
Polres Sabang Limpahkan 2 Kasus Korupsi ke Kejari
Kasat Reskrim Polres Sabang, AKP Rizal Antony SH ( baju biru) menyerahkan barang bukti kasus dugaan korupsi ke Kejari Sabang, Rabu (11/6). SERAMBI/AZHARI
 
SABANG - Penyidik Polres Sabang melimpahkan dua berkas kasus dugaan korupsi dan tersangkanya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat, Rabu (11/6). Dua kasus tersebut adalah dugaan korupsi pembangunan sistem distribusi air minum kawasan Sabang tahun 2012, dan pengadaan alat timbangan kenderaan bermotor di Dinas Perhubungan Sabang tahun 2006.

Berkas kedua berkas kasus berikut barang bukti dan para tersangkanya, diserahkan Kasat Reskrim Polres Sabang, AKP Rizal Antony bersama Kanit Tipikor A S Ritonga SH, kepada jaksa penuntut umum yang diterima Wahyu SH, staf Seksi Pidsus Kejari Sabang.

Kapolres Sabang, AKBP Henny Sorta Lubis SSos melalui Kasat Reskrim mengatakan, pembangunan sistem air minum kawasan Sabang dikerjakan PT Lince Romali Raya dengan dana Otsus 2012 senilai Rp 5 miliar lebih. Sedangkan pengadaan alat timbangan kenderaan bermotor pada Dinas Perhubungan dilaksanakan PT Qumincon Indonesia dengan dana Rp 250 juta dari APBK Sabang 2006.

Tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan sistem distribusi air minum kasawan Sabang yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 510.039.564, berjumlah empat orang masing-masing BR (Direktur Cabang PT Lince Romali Raya Indonesia, SR (pelaksana), IG (karyawan PT PLN Rayon Sabang, dan IR (kontraktor listrik).

Sementara tersangka dugaan korupsi pengadaan alat timbangan kenderaan bermotor di Dishub Sabang yang menimbulkan kerugian negara Rp 111.421.750 berjumlah dua orang, yaitu AD dan RS (keduanya PNS). “Penyidikan kedua kasus ini sudah dinyatakan lengkap oleh JPU Kejari Sabang,” katanya. Polisi menjerat para tersangka dengan UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Sementara Staf Seksi Pidsus Kejari Sabang, Wahyu kepada Serambi mengatakan, setelah menerima kedua berkas kasus dugaan korupsi dan para tersangkanya, pihaknya akan melaporkan kepada pimpinan untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh.(az)

Kadis PU Dituntut 1,5 Tahun

Serambi Indonesia

Jumat, 13 Juni 2014 11:08 WIB
 
* Kasus Jalan Lingkar Lhokseumawe

BANDA ACEH - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lhokseumawe menuntut Kadis Pengairan Umum (PU) setempat, Teuku Zahedi MT (51) dan lima terdakwa lain masing-masing 1,5 tahun penjara dan denda per orang Rp 50 juta subsider masing-masing tiga bulan kurungan tambahan. Mereka dinilai terbukti bersama-sama terlibat penyimpangan dalam proyek pembangunan jalan lingkar Ujong Blang-Pusong senilai Rp 268 juta lebih.   

JPU, Yusnar Yusuf SH, Fakhrillah SH, dan Helmi Abd Azis SH membacakan tiga berkas tuntutan itu dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh, Kamis (12/6). Pertama, Konsultan Pengawas proyek tersebut, Ir Ferizal (47) duduk di kursi pesakitan. Kedua, kontraktor pelaksana proyek, Masna Rimayanti (37) dan pengawas, Ir Effendi (57). Sedangkan terakhir giliran Pengguna Anggaran (PA) Teuku Zahedi, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Ridwan ST, dan pembantu PPTK, Huzaiva (38) yang dituntut oleh jaksa.

Fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebelumnya adalah, pada 2011 Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh memperoleh dana untuk pembangunan jalan itu Rp 2.610.000.000. Berdasarkan surat perjanjian, termasuk dalam surat perjanjian yang sudah diubah, jangka waktu proyek itu 165 hari kalender terhitung 13 Juli-24 Desember 2011.

Kelima terdakwa berperan mengawas pekerjaan proyek ini untuk dibangun sesuai kontrak oleh kontraktor pelaksana, yaitu terdakwa Masna Rimayanti selaku Direktris CV Masrifai Teknik. Namun, Masna tak mengerjakan proyek ini sesuai daftar kuantitas dan harga, misalnya untuk timbunan tanah dan pemasangan batu. Hal tersebut  diketahui sesuai berdasarkan evaluasi teknis terhadap fisik pekerjaan proyek itu oleh tim ahli dari Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara.

Namun, kelima terdakwa sesuai peran masing-masing telah meneken dokumen yang menerangkan proyek itu sudah rampung 100 persen, sehingga terdakwa Masna menerima pembayaran penuh. Akibat perbuatan kelima terdakwa secara bersama-sama telah menguntungkan terdakwa Masna Rp 268.543.495 sesuai audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, 21 Juni 2013. Namun, uang itu sudah dikembalikan terdakwa Masna ke kas Aceh karena dana tersebut bersumber dari APBA.

Setelah itu, majelis hakim yang diketuai Syamsul Qamar SH menetapkan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pembelaan (pleidoi) terdakwa atau pengacara masing-masing pada Kamis (19/6) mendatang.

Keenam terdakwa tersebut selama ini tak ditahan, kecuali Konsultan Pengawas proyek, Ir Ferizal. Namun, seusai tuntutan terhadapnya kemarin, Hakim Ketua Syamsul Qamar membacakan penetapan penangguhan penahanan terhadap Ferizal sesuai permohonan pengacara yang dijamin saudaranya. Alasannya, terdakwa memiliki istri dan tiga anak yang berumur masih di bawah 10 tahun membutuhkan tanggungan terdakwa Ferizal. “Menangguhkan penahanan terdakwa Ferizal dari penahanan Rumah Tahanan Negara terhitung sejak 5 Juni 2014,” baca Syamsul Qamar. Terdakwa tampak dengan mata berkaca-kaca ketika mendengar penetapan tersebut.(sal)  

Dasni Titip ke Jaksa Rp 1 M

Serambi Indonesia

Jumat, 13 Juni 2014 11:35 WIB
 
* Diduga Dana Korupsi

BANDA ACEH - Dasni Yuzar yang kini menjabat Sekretaris Daerah Kota (Sekdako) Lhokseumawe menitip uang Rp 1 miliar kepada Tim Penyidik Kejati Aceh di Kantor Kejati Aceh, Banda Aceh, Kamis (12/6) sore. Ia serahkan dana tersebut karena diduga terkait kasus korupsi, tapi bukan dalam kapasitasnya sebagai Sekdako, melainkan selaku Ketua Yayasan Cakradonya Lhokseumawe. Ia sudah berstatus tersangka dalam kasus ini.

Kemarin sore, informasi tentang penitipan uang Rp 1 miliar itu awalnya diperoleh Serambi dari sumber-sumber di Banda Aceh. Namun, Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH saat dikonfirmasi membenarkan informasi ini.

Malah, menurutnya, Dasni datang ke Kantor Kejati Aceh didampingi pengacaranya, Muzakkir MH sekitar pukul 15.30 WIB.  “Setelah beberapa waktu lalu tersangka DY serta anaknya RM, dan adik DY berinisial AM diperiksa sebagai tersangka di Kejati Aceh, tadi DY datang bersama pengacaranya untuk menitip uang Rp 1 miliar ke tim Penyidik Kejati Aceh. Kemudian tim penyidik langsung menyimpan dana ini ke rekening penitipan Kejati Aceh, yaitu di rekening BRI Cabang Banda Aceh,” jawab Amir Hamzah.

Anak Dasni Yuzar yang berinisial RM dimaksudkan Kasi Penkum adalah Reza Maulana. Ia berkedudukan sebagai Direktur Yayasan Cakradonya. Sedangkan adik Dasni berinisial AN adalah Amir Nizam. Jabatannya sebagai sekretaris yayasan.

Dugaan korupsi itu mencuat karena pada 2010, yayasan yang diketuai Dasni--ketika itu ia berstatus pejabat di Lhokseumawe--menerima dana hibah Rp 1 miliar dari Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat (Isra) Setda Aceh.

“Dana ini diterima untuk pembangunan pusat olahraga di Lhokseumawe, namun saya belum tahu kenapa yayasan ini bisa menerima dan bagaimana terjadinya korupsi. Mungkin penyidikan soal ini sedang dikembangkan penyidik, termasuk beberapa waktu lalu tim penyidik memeriksa pejabat di Biro Isra ketika program ini berjalan. Sedangkan ketiga tersangka juga berkemungkinan diperiksa lagi,” jelas Amir.

Ia mengakui ketiga orang yang sudah ditetapkan tersangka sejak Maret 2014 itu, hingga kini belum ditahan karena mereka bersikap kooperatif atau tak pernah mempersulit proses penyidikan, tak dikhawatirkan melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti.

Menurut Amir, perkara ini kini sedang dalam proses pemberkasan dan akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN)/Tipikor Banda Aceh, jika nanti sudah layak disidangkan.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, berdasarkan penyidikan kejaksaan diperoleh bukti awal adanya pemberian dana hibah atas proposal yang diajukan tersangka. Dana itu disebutkan untuk pembersihan lahan pembangunan pusat olahraga di Lhokseumawe.

“Ternyata dari hasil temuan Tim Kejati Aceh diperoleh data bahwa Yayasan Cakradonya belum berbadan hukum. Itu salah satu yang menjadi poin adanya penyimpangan. Itu kan sangat krusial dan prinsipil. Pasalnya, syarat penerima dana hibah itu haruslah lembaga yang berbadan hukum,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh, Raja Ulung Padang dalam konferensi pers, 17 Maret 2014.

Amir Hamzah menyambut baik iktikad tersangka kasus Yayasan Cakradonnya, Dasni Yuzar, untuk menitip uang Rp 1 miliar ke Kejati Aceh karena diduga terkait dengan kasus korupsi di yayasan itu, meski hingga kini belum keluar audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh yang menyatakan kerugian negara Rp 1 miliar.

Menurutnya, jika nanti putusan majelis hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap menyatakan uang senilai itu terbukti merupakan hasil korupsi, maka uang tersebut akan disita untuk dikembalikan menjadi kas Aceh.

Selain itu, tentu iktikad baik ini menjadi pertimbangan majelis hakim sebagai hal-hal yang meringankan terdakwa dari hukuman kelak. “Sebaliknya, jika tidak terbukti, maka dana ini k

Khalidin Lhoong Divonis Dua Tahun

Serambi Indonesia

Jumat, 13 Juni 2014 14:41 WIB
 
BANDA ACEH - Mantan kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Kasatpol PP & WH) Aceh, Khalidin Lhoong dan mantan kepala bagian Tata Usata (Kabag TU) kantor itu, Teuku Armansyah, Kamis (12/6) kemarin divonis masing-masing dua tahun penjara, dipotong masa penahanan dan denda per orang Rp 50 juta atau bisa diganti dengan kurungan tambahan (subsider) dua bulan kurungan.

Menurut majelis hakim, keduanya melanggar karena memotong gaji 1.000 tenaga kontrak Satpol PP dan WH Aceh Rp 650.000 per orang, meski dana ini akan dipergunakan--malah sebagian sudah dipakai-- untuk kepentingan anggota Satpol PP dan WH Aceh itu sendiri, yakni membeli seragam olahraga, tes narkoba, pembelian alat tulis kantor, dan lainnya.

Putusan majelis hakim dalam sidang terakhir di Pengadilan Negeri/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Kamis kemarin itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejari Banda Aceh pada sidang sebelumnya. Saat itu Khalidin dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan, sedangkan Armansyah dituntut 4,5 tahun penjara dan denda atau subsider sama seperti Khalidin.

Kemarin, Khalidin duluan yang duduk di kursi pesakitan. Ia selaku Pengguna Anggaran (PA) dan Teuku Armansyah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), menurut hakim, terbukti bersama-sama terlibat memotong gaji 1.000 tenaga kontrak Satpol PP dan WH Aceh Rp 650.000 per orang atau totalnya Rp 650 juta.

Namun, Khalidin sudah mengembalikan uang yang menjadi tanggung jawabnya sebesar Rp 220 juta kepada jaksa saat proses penyidikan dulu, yaitu Rp 215 juta biaya yang rencananya untuk tes narkoba anggota Satpol PP dan WH Aceh ini dan Rp 5 juta sisa biaya yang belum ia serahkan untuk pembelian seragam olahraga anggota Satpol PP dan WH Aceh.

Sedangkan Rp 170 juta sudah ia serahkan kepada rekanan saat pemesanan seragam tersebut. Bahkan sisa Rp 5 juta untuk pelunasan ketika seragam ini sudah siap, terdakwa Khalidin harus menggunakan dana sendiri lantaran uang jatah untuk ini sudah duluan disita jaksa karena program pemotongan gaji seperti ini dianggap melanggar.

Khalidin tidak dibebankan hakim membayar uang pengganti karena dianggap tak terbukti telah memperkaya diri, namun ia terbukti telah menyalahi kewenangan. “Kami akan pikir-pikir terhadap putusan ini selama tujuh hari, apakah menerima atau menolak dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT)/Tipikor Banda Aceh,” kata pengacara terdakwa, Nya’ Muslima SH seusai berkonsultasi dengan terdakwa Khalidin setelah mendengar vonis ini. Hal yang sama disampaikan Jaksa T Davindra SH cs.

Saat pembacaan vonis ini, hadir seorang perempuan di antara ratusan anggota Satpol PP dan WH yang pada sidang sebelumnya sudah membuat surat pernyataan untuk diserahkan ke majelis hakim. Intinya ia mendukung kebijakan mantan atasannya atas kesepakatan bersama ini. Kemarin, saat duduk di bangku pengunjung menyimak pembacaan vonis, ia sempat terharu ketika hakim membacakan bahwa Khalidin tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primer dan harus dibebaskan.

Tapi kesenangan itu hanya sesaat, sebab pada kalimat berikutunya hakim ketua menyatakan Khalidin terbukti bersalah dalam dakwaan subsider.

Kemudian, majelis hakim yang sama membaca vonis terhadap Armansyah. Ia mampu mempertanggungjawabkan dana yang menjadi tanggung jawabnya Rp 169.628.000, yaitu untuk pembelian ATK, data base, pembelian komputer, rapat akbar soal pemotongan ini, pengadaan atribut, dan KTA. Sedangkan Rp 90.732.000 tak bisa dipertanggungjawabkannya, sehingga ia dihukum membayar uang pengganti sejumlah itu. Terdakwa dan pengacaranya serta jaksa juga menyatakan pikir-pikir terhadap vonis ini. (sal)   

Polres Usut Dugaan Korupsi di SMK Peternakan Bireuen

Serambi Indonesia

Jumat, 13 Juni 2014 15:05 WIB
 
BIREUEN - Penyidik Polres Bireuen sejak beberapa bulan lalu sampai kini masih mengusut dugaan korupsi bantuan dana hibah Rp 1 miliar dari APBA tahun 2012 untuk Sekolah Menengah Kejuruan Perkebunan dan Peternakan Negeri (SMK-PPN) Bireuen.

Sumber Serambi, sekolah itu pada tahun 2012 menerima bantuan hibah untuk menunjang praktik siswa ke luar daerah, penambahan sarana pendudukung kegiatan, serta pembelian ternak untuk praktik siswa.

“Laporan yang kami terima dari masyarakat ada dugaan pengelolaan dana itu menyimpang dari aturan. Selain tak transparan, menurut laporan warga pembelian ternak itu dilakukan tak melalui proses sebenarnya,” kata seorang penyidik Polres Bireuen.

Kapolres Bireuen, AKBP M Ali Kadhafi SIK saat dikonfirmasi tentang hal itu, kemarin, mengatakan, ada beberapa laporan dugaan terjadi penyimpangan di sekolah itu. Menurutnya, Polres kemudian membentuk satu tim untuk menyelidiki kasus itu dan mereka sudah bekerja sejak akhir 2013.

Dikatakan, tim sudah memeriksa sejumlah siswa dan guru terkait penggunaan dana hibah untuk praktik siswa dan pembelian aset. Sebab, aset yang dibeli tak terdata sebagai aset sekolah. Hasil penyelidikan selama ini, menurutnya, sudah diekpos di Mapolda Aceh, namun belum bisa dipastikan jumlah kerugian negara maupun tersangka.

“Indikasi kerugian negara ada, tapi angkanya belum jelas karena harus menunggu tim BPKP melakukan audit. SMK PP Bireuen yang berlokasi di Desa Paya Lipah, Peusangan di bawah koordinasi Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian Aceh,” pungkasnya.(yus)

Berkas Korupsi Proyek Ruang Sidang Langsa ke PN

Serambi Indonesia

Selasa, 17 Juni 2014 11:58 WIB
 
* Tersangka tak Ditahan

LANGSA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Langsa, Kamis (12/6) melimpahkan berkas perkara dugaan korupsi proyek pembangunan ruang sidang DPRK Langsa ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Banda Aceh. Kasus tersebut menjerat tiga tersangka yakni, Syahril SE (Dirut PT Jaya Beutari), Samsul Bahri (rekanan), dan Zahrial ST (konsultan pengawas CV Prisma Cipta Perdana).

Kajari Langsa, R Miftahol Arifin didampingi Kasi Pidsus, Hendarmen, kepada Serambi Senin (16/6) mengatakan, sidang perdana dijadwalkan akan dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Pengadilan Tipikor, Banda Aceh, pada Kamis (26/6).

Menurut R Miftahol, para tersangka tidak ditahan karena telah menitipkan uang kerugian negara sebesar Rp 170 juta kepada penyidik Kejaksaan Negeri Langsa. “Mereka juga koperatif serta tidak melarikan diri dengan dijamin oleh istri-istri dari ketiga tersangka,”ujarnya.

Kajari mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Banda Aceh, diduga terdapat kerugian negara sebesar Rp 155 juta. “Ini bukti kami serius dalam memberantas korupsi,” tegas R Miftohul.

Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Langsa menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan ruang rapat gedung DPRK Langsa itu. Ketiga tersangka tersebut, Syahril SE (Dirut PT Jaya Beutari), Samsul Bahri (rekanan pekerjaan), dan Zahrial ST (konsultan pengawas CV Prisma Cipta Perdana). Estimasi pihak penghitung kerugian dari Politeknik Lhokseumawe, kerugian negara atas pekerjaan proyek tersebut diduga mencapai Rp 155 juta.

Paket pekerjaan itu dibagi atas dua item nilai anggaran, yaitu untuk tahun 2010 senilai Rp 600 juta, dan tahun 2011 senilai Rp 900 juta, sehingga totalnya menjadi Rp 1,5 miliar. Kerugian negara dalam proyek tersebut dilihat dari sejumlah item pekerjaan, yang tidak dikerjakan oleh rekanan.(yuh)

Kepsek ‘Sunat’ Dana Siswa Miskin

Serambi Indonesia

Selasa, 17 Juni 2014 12:02 WIB
 
Kepsek ‘Sunat’ Dana Siswa Miskin
Wali murid dan warga Desa Meunasah Tambo Jeunieb Bireuen, Senin (16/6) mendatangi SMP Negeri 3 Jeunieb, di desa setempat. Kedatangan mereka untuk menemui kepala sekolah yang diduga telah memotong dana Bantuan Siswa Miskin (BSM) anak mereka. SERAMBI/FERIZAL HASAN
 
* Wali Murid Datangi Sekolah

BIREUEN - Dua ratusan pelajar SMPN 3 Jeunieb, Bireuen, Senin (16/6) mogok belajar. Akibatnya, ratusan wali murid dan warga setempat mendatangi sekolah tersebut. Informasi yang dihimpun Serambi, hal itu dilakukan pelajar dan warga sebagai bentuk protes terhadap kepala sekolah (kepsek) itu yang diduga ‘menyunat’ Bantuan Siswa Miskin (BSM) tahun 2014 jatah 28 pelajar di sekolah itu.

Komite SMPN 3 Jeunieb, Nasruddin mengatakan, besarnya BSM untuk pelajar kelas satu Rp 750.000 per orang, tapi yang diberikan Rp 200.000 per orang pelajar serta untuk pelajar kelas dua dan tiga besarnya Rp 350.000 per pelajar, tapi yang mereka terima hanya Rp 100.000 dan Rp 150.000 per orang. “Sisanya kami duga sudah disunat oleh kepala sekolah. Namun, hingga kini sisa dana tersebut belum dikembalikan kepada penerima BSM, sehingga anak-anak tidak mau sekolah,” ungkap Nasruddin.

Amatan Serambi, di SMP yang berlokasi di Desa Meunasah Tambo, Jeunieb itu, pagi kemarin tak ada seorang pun pelajar yang memakai seragam sekolah. Di halaman sekolah, ratusan wali murid dan warga ingin menjumpai kepala sekolah untuk menanyakan BSM yang diduga sudah ‘disunat’ itu. “Kami tidak akan sekolah jika kepala sekolah tidak mengembalikan uang kami,” kata Mutiawati, pelajar kelas dua asal Meunasah Tambo yang kemarin ikut datang ke sekolah bersama orang tuanya.

Sejumlah wali murid menuntut kepala sekolah itu diganti atau mundur dari jabatannya. Mereka menilai Kepala SMPN 3 Jeunieb, Maryam kurang transparan dalam penyaluran BSM maupun bantuan lain. Karena emosi, saat itu wali murid nyaris menghajar Maryam. Namun, cepatnya antisipasi oleh aparat Polsek Jeunieb, rencana massa dapat dicegah. Selanjutnya, polisi mengamankan kepala sekolah itu agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Kepala SMPN 3 Jeunieb, Maryam mengaku sisa dana BSM jatah 28 pelajar di sekolah itu masih ada pada dirinya. “Uang itu akan segera saya kembalikan kepada masing-masing penerima,” janji Maryam.(c38)

Mulai Tahun Ini Dayah di Pidie Jaya dapat Rp 5 Juta

Serambi Indonesia


Rabu, 26 Maret 2014 17:00 WIB
 
Laporan Abdullah Gani | Pidie Jaya

SERAMBINEWS.COM, MEUREUDU - Kepala Kantor Pembinaan Pendidikan Dayah Pidie Jaya, M Nasir mengatakan, mulai tahun ini, setiap dayah di wilayahnya pemerintah akan membantu dana sebesar Rp 5 juta dan untuk Balai Pengajian masing-masing dijatahkan Rp 3 juta.

Sedangkan upah jerih kepada guru dayah/balai pengajian disediakan Rp 2 juta per-orang/tahun. Namun, dana tersebut akan terealisasi dengan mengajukan proposal.

Kepada Serambinews, Rabu (26/32014, Nasir menyebut juga abhwa bantuan untuk dayah dan balai pengajian bersumber dari dana Migas, sementara jerih guru ngaji diambil dari dana Otsus.

“FITRA dan GeRAK jangan Sebar Fitnah”

Serambi Indonesia

Kamis, 27 Maret 2014 09:17 WIB
 
BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Zaini Abdullah melalui Kepala Biro Humas-nya, Murthalamuddin menanggapi laporan LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh sebagai sesuatu yang tidak berdasar dan cenderung menebar fitnah.

“Jadi FITRA dan GeRAK jangan nyeleneh karena memanfaatkan momentum pemilu untuk menyebar fitnah dan menebar berita bohong ke masyarakat. Kita harap semua pihak untuk melakukan tabayyun sebelum menuding atau menuduh. Jangan jadikan fitnah sebagai komoditas politik, silakan pelajari aturan sebelum bertindak,” begitu penegasan tertulis Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh yang diterima Serambi, Rabu (26/3) sore.

Dijelaskan Murthalamuddin, penyaluran hibah dan bansos mengacu pada Permendagri Nomor 32 jo 39 Tahun 2012 dan Pergub Nomor 93 jo 54 Tahun 2013. Mekanismenya, proposal yang masuk diverifikasi oleh dinas teknis paling telat Juni 2013 yang dianggarkan di APBA-P 2013.

“Semua mekanisme penyaluran sejalan dengan Permendagri dan Pergub. Tidak ada penyaluran di luar itu, karena kalau di luar itu pasti semua tidak setuju. SKPA tidak setuju, Keuangan tidak bisa mencairkan.

Bagaimana itu dikatakan korupsi sementara penyalurannya sudah melalui mekanisme yang ketat,” tandasnya.
Terkait dengan bantuan untuk kelompok ternak sebagaimana dilaporkan FITRA dan GeRAK, kelompok-kelompok penerima itu sudah diverifikasi oleh tim dari dinas teknis sejak jauh-jauh hari. Setelah diverivikasi dan dinyatakan layak dibantu baru dimasukkan dalam KUA PPAS. Dari KUA PPAS dibahas lagi selanjutnya naik ke pembahasan di DPRA baru kemudian disetujui untuk dianggarkan.

“Jadi tidak serta merta. Tidak ada gelondongan lagi. Tidak bisa lagi ditunjuk oleh gubernur. Tidak ada kekuasaan siapapun menunjuk penerima bantuan. SK Gubernur hanya proses setelah dianggarkan dalam APBA atau APBA-P. Artinya, setelah jelas penerima dan jumlahnya (berdasarkan hasil verifikasi), baru kemudian dicairkan setelah di-SK-kan,” demikian Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh.(nas)

Gubernur Aceh Dilapor ke KPK

Serambi Indonesia

Kamis, 27 Maret 2014 09:18 WIB
 
JAKARTA - LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh melaporkan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu 26 Maret 2014. Menurut FITRA, Gubernur Aceh diduga melakukan korupsi dana bantuan sosial (bansos) 2013 untuk bantuan ternak.

“Pemerintah Aceh memberikan bantuan tanpa ada kroscek di lapangan sehingga penerima bantuan tidak tepat sasaran dan realisasi fiktif,” kata Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA, Ucok Sky Khadafi di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (26/3) sebagaimana dikutip dan dilansir situs berita Okezone.com.

Ucok mengatakan, jumlah dana bansos yang diduga dikorupsi sebesar Rp 35,4 miliar. Ada 788 kelompok penerima dana tersebut yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. “Bantuan tersebut ditandatangani oleh Gubernur Aceh tertanggal 13 November 2013 dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 524.1/913/2013,” ujarnya.

Surat keputusan tersebut, kata Ucok, mengatur tentang besaran dana bantuan hibah kegiatan bantuan modal usaha dan pemberdayaan ekonomi kelompok ternak. “Tetapi penerima hibah tidak dapat dana bansos itu. Di beberapa hal, peternak malah lebih ke perorangan yang mampu,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Kadiv Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin mengatakan, Gubernur Zaini diduga melakukan kesalahan dan melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

“Zaini diduga memperkaya diri dan merugikan keuangan negara. Selain itu ia diduga turut menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan melanggar mekanisme dana bansos,” ungkapnya.
Menurut Hayatuddin, dalam laporan ke KPK, pihaknya juga memiliki bukti dugaan keterlibatan Zaini Abdullah dalam korupsi itu. “Semoga ini menjadi entry point bagi pihak KPK dalam menyelidiki kasus dugaan tindak pidana korupsi bantuan hibah pemerintah Aceh,” pungkas Hayatuddin.(okezone.com)

Dana Bansos Subulussalam tidak Dicairkan

Serambi Indonesia


Jumat, 28 Maret 2014 09:31 WIB
 
SUBULUSSALAM – Sebesar Rp 14 miliar dana bantuan sosial (Bansos) atau hibah yang masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK) Subulussalam tahun 2014 dipastikan tidak akan dicairkan. Pasalnya, penganggaran dana Bansos tersebut tidak melalui prosedur sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 yang diperbarui dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 tentang Pemberian Bansos dan Hibah.

Informasi tidak akan dicairkannya dana Bansos dan hibah tersebut diperoleh Serambi dari Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaan dan Keuangan Daerah (DPPKKD) Kota Subulussalam, Drs Salbunis, Kamis (27/3).

Menurut Salbunis sesuai Permendagri pengalokasian dana Bansos atau hibah harus melalui tahapan penganggaran yang diawali usulan. Dicontohkan, sebuah organisasi atau kelompok masyarakat harus mengusulkan dana terkait sebelum masuk dalam KUA PPAS. Lalu, wali kota akan mengarahkan usulan itu ke SKPK terkait untuk diverifikasi dan dievaluasi sehingga keluarlah rekomendasi layak atau tidaknya diberi bantuan.

Kemudian, dengan rekomendasi ini maka pemerintah memplot dana ke dalam KUA PPAS agar dapat masuk dalam RAPBK. Tetapi untuk dana hibah dan Bansos di Kota Subulussalam pada tahun 2014 tanpa melalui proses tersebut. Karenanya, Salbunis menyatakan tidak akan mau mengambil resiko dengan mencairkan dana terkait karena rawan berurusan dengan penegak hukum.

”Bukan hanya ditunda tapi untuk dana hibah dan Bansos tidak akan kami cairkan, sebab proses penganggarannya bermasalah. Kalau kami cairkan bisa-bisa bermasalah dengan penegak hukum. Kalaupun ada dicairkan mungkin hanya untuk lima organisasi yang diperbolehkan oleh Mendagri seperti KONI, PGRI, KNPI, Pramuka, dan PMI,” kata Salbunis.

Sedangkan menyangkut dana aspirasi anggota DPRK yang berada di dinas lain, Salbunis mengaku bahwa itu bukan dana hibah atau Bansos, melainkan program. Pun demikain ketika ditanyakan bukankah bertentangan juga jika dana aspirasi para wakil rakyat tersebut digunakan untuk kepentingan politik, Salbunis mengatakan tidak bisa berkomentar banyak.

Secara terpisah, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh Community Care (ACC) Naswardi menyorot penggunaan dana aspirasi para anggota DPRK Subulussalam tahun 2014 yang membengkak hingga Rp 2 miliar per orang. Ia menduga kenaikan dana aspirasi secara fantastis tersebut sebagai salah satu modus para elit politik yang duduk di parlemen Subulussalam untuk meraih suara menjelang pemilu 9 April mendatang.

Terhadap hal ini, Naswardi meminta aparat penegak hukum untuk mengevaluasi dan mengaudit program dana aspirasi anggota DPRK Subulussalam tersebut.

“Kami dapat informasi banyak program yang berasal dari dana aspirasi namun diberikan kepada kelompok tertentu dengan tujuan politik jelang pemilu. Ini jelas salah karena uang itu bukan orang pribadi atau kelompom tertentu tapi uang rakyat, harusnya semua rakyat bisa menikmati tanpa ada embel-embel. Jadi kami minta aparat penegak hukum untuk mengawasi dan mengaudit dana aspirasi anggota DPRK di Subulussalam,” pungkas Naswardi.(kh)

LSM Desak Jaksa Lanjutkan Pengusutan Kasus Dana Hibah

Serambi Indonesia


Kamis, 10 April 2014 08:51 WIB
 
LHOKSEUMAWE - LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak  penyidik Kejati Aceh untuk segara melanjutkan pengusutan kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Yayasan Cakradonya Lhokseumawe senilai Rp 1 miliar. Satu hal yang bisa dilakukan jaksa adalah  segera memeriksa tersangka kasus tersebut.

Koordinator Bidang Antikorupsi dan Monitoring Peradilan LSM MaTA, Baihaqi, Rabu (9/4) menyebutkan, setelah menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut, penyidik hanya memeriksa sejumlah saksi di Lhokseumawe dan Banda Aceh. Sedangkan tersangka, lanjut Baihaqi, menurut informasi yang diterima pihaknya hingga sekarang belum dimintai keterangan oleh penyidik.

“Harusnya tim Kejati segera memeriksa tersangka. Hal itu penting untuk bisa mengusut tuntas kemana saja aliran dana hibah tersebut. Apalagi, dana tersebut berasal dari aspirasi anggota DPRA yang disalurkan melalui Biro Isra Setda Aceh. Pemeriksaan tersangka juga perlu untuk mempercepat proses hukum,” jelasnya.

Secara terpisah, Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah, mengatakan, setelah pemeriksaaan saksi di Lhokseumawe dan Banda Aceh pada 26-27 Maret 2014, kini belum ada pemeriksaan lanjutan terhadap saksi dan tersangka dalam kasus tersebut. “Dalam waktu dekat penyidik akan melanjutkan pengusutan kasus itu, termasuk tersangka jika pemeriksaan saksi dianggap sudah mencukupi,” jelas Amir Hamzah.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam kasus dugaan korupsi dana yang hibah yang bersumber dari Biro Isra Setda Aceh tahun 2010, jaksa sudah menetapkan tiga tersangka. Mereka adalah Dasni Yuzar sebagai pendiri yayasan yang kini menjabat sebagai Sekdako Lhokseumawe, serta Reza Maulana selaku Direktur Yayasan dan Amir Nizam Sekretaris Yayasan Cakradonya.(bah/jf)

Abdya Plot Bansos Mahasiswa Rp 1 M

Serambi Indonesia

Selasa, 6 Mei 2014 09:33 WIB
 
* Pendaftaran 5-30 Mei
 
BLANGPIDIE – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Abdya sudah memplot bantuan sosial (Bansos) kepada mahasiswa miskin Rp 1.085.000.000 dari APBK 2014. Pendaftaran untuk mendapat beasiswa ini di Bagian Keistimewaan Setdakab setempat, 5-30 Mei 2014. Semua data yang masuk akan diverifikasi kembali untuk melihat kelayakan penerima bansos tersebut.

Bupati Abdya melalui Kabag Keistimewaan, T Arifin SH mengatakan bansos ini hanya diperuntukkan untuk mahasiswa dari keluarga miskin yang dibuktikan dengan surat keterangan miskin/kurang mampu. Surat ini dikeluarkan keuchik dan mengetahui camat setempat (baca syarat calon penerima bansos). Menurut T Arifin, bansos itu ditempatkan di Dinas Pengelola Keuangan dan Kekayaan Kabupaten (DPKKK) Abdya.

“Sedangkan Bagian Keistimewaan Setdakab Abdya mengurus administrasi pendaftaran calon penerima bansos. Bansos tersebut diperuntukkan untuk mahasiswa dari keluarga miskin jenjang pendidikan S1 dan D-III,” kata T Arifin menjawab Serambi kemarin.

Menurut T Arifin, setelah berakhir jadwal pendaftaran nanti, seluruh data yang masuk akan diverifikasi sehingga bansos tersebut benar-benar tepat sasaran. Verifikasi juga langsung dilakukan ke lapangan untuk melihat kelayakan mahasiswa sebagai calon penerima bansos itu.  Adapun nilai bansos ini belum dijelaskan karena tergantung jumlah mahasiswa yang terdaftar dan layak sebagai penerima dana ini. (nun)

Dana Hibah Rp 2,5 Miliar belum Disalurkan

Serambi Indonesia

Rabu, 11 Juni 2014 14:37 WIB
 
BIREUEN - Dana hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBK Bireuen tahun 2014 sebesar Rp 2,5 miliar hingga Selasa (10/6) belum disalurkan oleh Pemkab Bireuen melalui Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) setempat kepada sejumlah penerima yang sudah disahkan dalam APBK.

Kepala DPKKD Bireuen, Drs Tarmidi MSi, mengatakan, pihaknya belum menyalurkan bantuan tersebut itu karena harus menunggu petunjuk dan penjabaran cara pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial dari bupati Bireuen. Petunjuk untuk penyaluran dana tersebut, menurut Tarmidi, baru diterima pihaknya kemarin.

Disebutkan, salah satu kewajiban adalah DPKKD harus mememeriksa dokumen proposal dari badan atau lembaga yang memohon bantuan dan kemudian melakukan croscek ke alamat penerima bantuan. “Karena banyak proposal bantuan dana hibah dan bantuan sosial ke Pemkab Bireuen, petugas akan memverifikasi ulang mulai dari keabsahan lembaga tersebut, susunan pengurus, dan rencana penggunaan bantuan dari pemerintah,” ungkapnya.

Ditambahkan, penyaluran dan hibah atau bantuan sosial harus benar-benar sesuai mekanisme yang ada dan tak bisa dilakukan sembarangan. Dalam dua hari ini, sebutnya, tim DPKKD akan mengecek langsung alamat penerima bantuan sehingga tidak bermasalah di kemudian hari.

Ditambahkan, DPKKD juga memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada penerima bila nanti salah menggunakan bantuan itu. “Kepada lembaga yang dipastikan menerima dana hibah tahun ini, kami minta bersabar. Setelah kami turun ke lapangan dan melengkapi berkas administrasi yang lain, bantuan segera disalurkan,” janjinya.

Sebelumnya, pengurus dua lembaga yang sudah dipastikan menerima dana hibah dari Pemkab Bireuen mengatakan, usulan hibah sudah lengkap diajukan ke DPKKD, namun sampai kini bantuan itu belum  cair. “Kami berharap DPKKD mempercepat penyaluran bantuan itu untuk kebutuhan lembaga yang memang dibolehkan menerima dana hibah,” kata seorang pengurus salah satu lembaga di Bireuen.(yus)

Lakukan Audit Investigasi

Serambi Indonesia

Selasa, 17 Juni 2014 12:25 WIB
 
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, sudah sewajarnya DPRA mengusulkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh itu kepada BPK RI untuk dilakukan audit investigasi.

DPRA tidak boleh pasif atau menunggu penyelesaian dari Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), melainkan lakukanlah kontrol terhadap penyelesaian temuan BPK tersebut oleh Inspektorat maupun SKPA bersangkutan. Misalnya, soal uang kas yang selisih pada tahun 2012 sebesar Rp 33,5 miliar, baru dikembalikan Rp 8,8 miliar oleh pihak yang ditetapkan sebagai penanggung sementara.

Anehnya, uang kas daerah yang hilang itu cukup besar, tapi Pemerintah Aceh membuat surat penanggungan sementara kepada mantan pemegang kas. Seharusnya, sudah ditetapkan penanggung tetapnya atas hilangnya dana kas sebesar Rp 33,5 miliar itu.

Menurut Alfian, karena masa penyelesaiannya sudah lebih dari dua tahun dan Pemerintah Aceh belum juga bisa menuntaskannya, maka kasus selisih uang kas tahun 2012 sebesar Rp 33,5 miliar dan dana hibah ini, harus dilakukan audit investigasi oleh BPK RI. Termasuk dana piutang pihak ketiga lembaga usaha ekonomi produktif (LUEP), pemberdayaan ekonomi rakyat (PER), dan dana bergulir lainnya dengan total Rp 74 miliar yang belum berhasil ditagih Pemerintah Aceh.

Nama-nama penerima dana bantuan LUEP, PER, serta dana bergulir, yang tak mau mengembalikan dan orangnya masih hidup, diserahkan ke polisi dan jaksa. Tujuannya, kalau polisi dan jaksa yang menagihnya, diyakini pengembaliannya bisa lebih cepat. Kalau tidak, maka di-BAP saja untuk diselesaikan secara hukum.

MaTA menilai, BPK RI juga memberikan peluang bagi Pemerintah Aceh untuk terus menunda-nunda penyelesaian penagihan uang rakyat yang hilang di tangan pihak ketiga. “Seharusnya, setelah dua tahun tak tuntas, dan telah melebihi batas normalnya 60 hari, lakukan audit investigasi dan hasilnya serahkan kepada KPK, polisi dan jaksa, untuk pengusutan secara hukum, termasuk dana hibah tahun 2013 ini,” ujar Alfian. (her) 

Gubernur Akui Masih Ada Kelemahan

Serambi Indonesia

Selasa, 17 Juni 2014 12:26 WIB
 
Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah dalam pidato sambutannya kemarin mengatakan, Pemerintah Aceh dapat memahami opini yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap laporan hasil pemeriksaan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (LHP APBA) 2013 yang baru sampai pada tahap penilaian wajar dengan pengecualian (WDP). Ini artinya, masih terdapat kelemahan dalam pengelolaan keuangan.

Terkait dengan temuan BPK RI, Gubernur Zaini meminta Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dan pihak terkait segera menindaklanjuti sesuai batas waktu yang diberikan, sehingga kesempatan untuk mendapatkan opini yang lebih baik terbuka pada tahun depan.

Kepala Dinas Keuangan Aceh, Jamaluddin yang dimintai penjelasannya terhadap dana hibah yang belum bisa dipertanggungjawabkan itu mengatakan, tata cara dan formulir pertanggungjawaban dana hibah itu sudah disampaikan kepada SKPA dan bahkan sudah diiklankan pada Januari 2014 lalu.

“Nah, kenapa SKPA dan penerima belum menggunakan formulir yang telah kita bagikan dan iklankan itu, hal ini kurang jelas dan akan kita pertanyakan kembali kepada mereka. Terhadap dana hibah yang belum dipertanggungjawabkan itu,” kata Jamaluddin sembari menambahkan bahwa BPK telah menrekomendasikan Inspektorat Aceh untuk menuntaskannya.

Kepala Inspektorat Aceh, Syahrul Badruddin SE yang dimintai tanggapannya mengatakan, prinsip Inspektorat sama seperti penjelasan Gubernur dan BPK sebelumnya, yaitu meminta SKPA dan penerima dana hibah segera membuat laporan pertanggungajawaban yang benar terhadap dana hibah APBA 2013 sebesar Rp 851,9 miliar yang belum dipertanggungawabkan itu.

Laporan pertanggungjawaban dari SKPA itu, kata Syahrul, akan dicek apakah sudah sesuai dengan aturan atau belum. “Kalau belum, kita akan kembalikan lagi, sampai pertanggungjawabannya benar sesuai prosedur yang telah disampaikan pada saat dana hibah tersebut diluncurkan dan diterima penerimanya,” demikian Syahrul. (her)

Rp 851 M Dana Hibah Bermasalah

Serambi Indonesia


Selasa, 17 Juni 2014 12:27 WIB
 
* Belum Dipertanggungjawabkan

BANDA ACEH - Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah yang hadir dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRA, Senin (16/6) kemarin, tampak kurang bersemangat saat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh, Maman Abdurrahman membacakan resume singkat laporan hasil pemeriksaan (LHP) APBA 2013 di Gedung DPRA. Pasalnya, dalam resume LHP APBA yang dibacakan itu terungkap ada Rp 851 miliar lebih dana hibah tahun lalu yang belum dipertanggungjawabkan.

Menurut Maman, 16 Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) telah menyalurkan dana hibahnya kepada penerima (sasaran) pada tahun anggaran 2013, tapi Rp 851,517 miliar lagi belum bisa dipertanggungjawabkan sesuai prosedur, sehingga menjadi temuan BPK RI.

Dana yang belum dipertanggungjawabkan itu bersumber dari dana hibah yang disalurkan Pemerintah Aceh tahun lalu senilai Rp 1,124 triliun. Artinya, baru Rp 272,509 miliar yang dipertanggungjawabkan sesuai prosedur keuangan.

Selain masalah dana hibah, ada beberapa masalah lagi yang diungkapkan Kepala BPK RI Perwakilan Aceh itu dalam pidatonya. Antara lain, penyertaan modal kepada sejumlah badan usaha milik daerah (BUMD), misalnya, kepada Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA), Seulawah NAD Air, dan lainnya yang belum menggunakan metode ekuitas.

Berikutnya, mengenai dana bantuan lembaga usaha ekonomi produktif (LUEP), bantuan bergulir serta dana pemberdayaan ekonomi rakyat (PER) senilai Rp 74,245 miliar yang berada pada pihak ketiga. Tapi sampai akhir tahun lalu penagihannya belum dituntaskan oleh Pemerintah Aceh. Padahal, kasusnya telah terjadi tiga dan lima tahun lalu.

Kemudian, Maman memaparkan kekurangan pekerjaan dalam pelaksanaan proyek multiyears pembangunan VIP Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Aceh Besar senilai Rp 735,7 juta dan denda Rp 35,6 juta yang dikenakan kepada rekanan, serta kesalahan penganggaran belanja modal pengadaan konstruksi bangunan kantor tempat tinggal dan fasilitas umum lainnya pada Dinas Cipta Karya Aceh senilai Rp 123,9 juta juga belum dituntaskan oleh SKPA bersangkutan.

Selanjutnya, kesalahan penganggaran uang untuk pihak ketiga senilai Rp 5,944 miliar yang terjadi di empat SKPA. Ini juga, menurut hasil audit BPK, belum dituntaskan, sehingga BPK harus memasukkannya dalam LHP APBA 2013 yang telah diserahkan kepada Gubernur Zaini Abdullah dan Ketua DPRA, Hasbi Abdullah.

Akibat masih banyaknya masalah keuangan yang terjadi dalam pertanggungjawaban APBA 2013, sehingga BPK RI masih tetap memberikan opini terhadap LHP APBA 2013 itu, dengan penilaian wajar dengan pengecualian (WDP).

Ini artinya, dalam masa dua tahun pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir) yang menyatakan sudah melakukan reformasi pengelolaan keuangan di jajaran Pemerintah Aceh, tapi nyatanya belum sebaik pengelolaan keuangan di sejumlah kabupaten/kota, atau masih sama dengan predikat pemerintah yang lama.

Sementara, daerah bawahannya, yaitu sejumlah kabupaten/kota di Aceh, banyak yang sudah mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP), atau setingkat lebih baik di atas peringkat provinsi. Contohnya, Pemko Banda Aceh, Pemkab Aceh Besar, Pemkab Aceh Tengah, Nagan Raya, dan lainnya.  

Kepala BPK RI Perwakilan Aceh itu juga mengatakan, masalah keuangan yang perlu diselesaikan pemerintahan Zikir, bukan cuma catatan yang sudah ia sampaikan itu, tapi juga soal selisih kas tahun 2012 senilai Rp 33,5 miliar yang belum tuntas sampai Juni 2014. Ini pun harus bisa diselesaikan, supaya tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan predikat WTP pada LHP APBA 2014 nanti.

Menurut laporan Inspektorat Aceh, dari Rp 33,5 miliar yang perlu ditagih pada pihak yang dimintai pertanggungjawabannya terhadap kekurangan uang selisih kas tersebut, baru dikembalikan Rp 8,8 miliar. Ini artinya, masih ada sisa Rp 24,7 miliar lagi. Uang itu cukup besar nilainya dan Pemerintah Aceh harus menyelesaikannya sampai tuntas. “Kalau tidak tuntas, maka ia tetap akan menjadi catatan dan temuan BPK setiap tahunnya,” kata Maman.

Ia sebutkan, berdasarkan Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, LHP APBA 2013 yang telah disampaikan BPK RI kepada Gubernur dan Ketua DPRA itu, dapat ditindaklanjuti paling lambat 60 hari. (her)

Pengurus PNPM Jadi Tersangka

Serambi Indonesia


Kamis, 19 Juni 2014 12:07 WIB
 
* Polres Bener Meriah Limpahkan ke Jaksa

REDELONG - Pengurus Program Mandiri Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Pendesaan (PNPM-MP) Unit Pengolaan Kegiatan (UPK) Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah telah menjadi tersangka. Mereka terbukti melakukan korupsi berjamaah dari tahun 2008 sampai 2012 sebesar Rp 405.273.250.

Kapolres Bener Meriah, AKBP Cahyo Hutomo didampingi Kasat Reskrim Iptu Kristanto Situmeang kepada Serambi, Rabu (18/6) mengatakan enam orang yang merupakan pengurus PNPM UPK Timang Gajah telah ditetapkan sebagai tersangka.

Disebutkan, para tersangka terdiri dari Ketua UPK: Isnadi Rasyid bin Abdul Rasyid (38), Bendahara: Hernida binti Zulkifli Zainon (24), Sekretaris Komite: Desi Eriani binti Erwin Mulyo (24), Sekretaris UPK: Safwan Sumika bin Ismail (27). Kemudian, Ketua Tim Verifikasi: Selamat BA bin Samizan (56) dan Fasilitator: Ir Sumadi Mohd Sabil bin Mohd Sabil (47).

“Dalam kasus dugaan korupsi ini, ada enam orang yang menjadi tersangka dan berkas bersama barang bukti maupun tersangka telah dilimpahkan ke kejaksaan,” kata Cahyo Hutomo. Dikatakan, dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi tersebut, terindikasi adanya penyalahgunaan dana PNPM-MP dari 2008 sampai 2012.

Disebutkan, mereka menjadi tersangka terkait penyalahgunaan dana kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) untuk 26 kelompok dan enam kelompok fiktif. “Kerugian negara akibat penyalahgunaan dana PNPM sebesar Rp 400 juta lebih dan untuk penanganan kasus ini, pihak kepolisian butuh waktu satu setengah tahun, sebelum dilimpahkan ke kejaksaan,” jelasnya.

Cahyo Hutomo menjelaskan, pada tahun ini, hanya satu kasus korupsi yang telah dirampungkan, tetapi akan menyusul satu kasus serupa yang masih dalam proses dengan target dirampungkan pada tahun ini juga. Dikatakan, pihaknya sedang mendalami adanya penyalahgunaan pada proyek bencana alam. “Target untuk tahun ini, ada dua kasus korupsi yang akan diselesaikan,  demikian juga tahun depan, tetapi bukan berarti, kami mencari kesalahan, melainkan bagian dari partisipasi kepolisian dalam mengawasi pembangunan di Bener Meriah,” ujarnya.       

Disebutkan, dana PNPM-MP UPK Kecamatan Timang Gajah yang diduga diselewengkan, terdapat pada SPP Bantuan Langsung Tunai (BLM), dan SPP Bergulir dengan sumber dana di lima DIPA APBN, lima DPPA, SKPD, DP2KD dan ABPK (coast sharing) Kabupaten Bener Meriah, tahun 2008-2012, dengan total dana Rp 5.050.000.000,

Dana tersebut digunakan untuk kegiatan fisik sebesar Rp 3.819.600.000 dan SPP sebesar Rp 1.230.400.00. Kasat Reskrim Iptu Kristanto Situmeang menjelaskan, penyalahgunaan anggaran PNPM-MP UPK Timang Gajah diduga akibat kurang pahamnya pengurus akan tanggung jawabnya, termasuk tiadk berjalannya tim verifikasi, sehingga mengakibatkan munculnya kelompok fiktif yang dibuat para tersangka.

Bukan hanya itu saja, terjadinya tindak pidana korupsi tersebut, juga akibat kurang transparannya informasi tentang pengelolaan dana SPP kepada masyarakat. “Ada tiga modus operandi yang dilakukan para tersangka dalam memperkaya diri sendiri dan orang lain,” imbuhnya.

Modus operandi dimaksud, lanjut Kristanto Situmeang, Ketua UPK Timang Gajah bersama rekan-rekannya mengambil secara sembunyi-sembunyi dan merekayasa enam pengajuan proposal dana kelompok SPP yang sudah lama tidak dipakai lagi di Kantor UPK serta memalsukan tanda tangan penerima manfaat.

Kemudian, proposal tersebut, diajukan ke UPK tanpa adanya verifikasi namun dana tersebut langsung dicairkan sebesar Rp 202.679.000. “Ada juga pinjaman yang dilakukan petugas UPK, namun mengastanamakan orang lain,” pungkasnya.(c35) 

Jaksa Tangani Pengadaan Tanah Lapangan Bola Terangun

Serambi Indonesia

Kamis, 19 Juni 2014 12:08 WIB
 
* Dari Harga Rp 40 Juta Jadi Rp 1,4 Miliar

BLANGKEJEREN - Kejaksaan Negeri (Kejari) Blangkejeren, Gayo Lues (Galus) membidik kasus pengadaan tanah lapangan bola di Kecamatan Terangun yang diduga dimarkp-up (digelembungkan). Harga tanah yang hanya Rp 40 juta dari pemilik pertama dijual kembali oleh pemilik kedua dengan harga mencapai Rp 1,4 miliar lebih atau kenaikan sekitar 35 kali lipat atau 350 persen.

Kajari Blangkejeren, M Husein Admaja, kepada Serambi, Selasa (17/6) menyatakan kasus pengadaan tanah untuk lapangan bola di Terangun sudah ditangani tim penyidik. Bahkan dua orang saksi telah dimintai keterangan yaitu Camat Terangun dan pemilik tanah asal.

“Seharusnya dalam pengadaan tanah diatas harga Rp 1 miliar oleh pemerintah harus ada tim sembilan dan camat harus tahu, karena dia yang memiliki wilayah,” jelasnya. Tetapi, sebutnya, camat yang telah diminta keterangan mengaku tidak mengetahui soal pengadaan tanah, sehingga terkesan seperti ‘Siluman’, apalagi dilaksanakan jelang Pemilu Legislatif 7 April 2014 lalu.

M Husein Admaja tim penyidik akan menelusuri keberadaan tim sembilan, jika ada dibentuk oleh Pemkab Gayo Lues. “Saksi yang sudah dimintai keterangan yakni Camat Terangun bersama pemilik tanah asal yang mengaku menjual tanah kepada seseorang seharga Rp 40 juta lebih, tetapi pemkab melakukan ganti rugi Rp 1,4 miliar lebih,” ujarnya.

Dia menjelaskan harga tersebut terkesan telah di mark-up dan di luar logika. Sedangkan tim penyidik yang juga sebagai Kasi Datun, Razes Kana SH, mengatakan kasus pengadaan tanah lapangan bola di Makmur Jaya, Kecamatan Terangun sudah ditangani dengan memanggil dua orang saksi untuk dimintai keterangan.

“Pemilik lahan asal mengaku menjual tanahnya itu seharga Rp 40 juta, namun ada pihak lain yang mencari keuntungan dengan sengaja, sehingga harga tanah tersebut di mark-up sampai Rp 1,4 miliar lebih dengan pembayaran dilakukan menjelang Pileg 2014 lalu,” demikian tim penyidik Kejari Blangkejeren.

Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan Serambi, pembelian tanah lapangan bola yang dilakukan Pemkab Galus menjelang pileg lalu. Padahal, menjelang Pemilu Legislatif, pemerintah daerah dilarang dan tidak dibenarkan melakukan pengeluaran kas daerah yang sifatnya tidak mendadak. Sehingga, pembayaran ganti rugi dilakukan melalui sebuah bank di Medan, karena di daerah tidak dibenarkan.

Semenara itu, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Galus, Drs Jamin saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya mengaku sedang berada di sebuah acara pesta perkawinan. Dia meminta dikonfirmasi Kabid Sarana dan Prasarana, M Isa yang mengaku tidak tahu.

M Isa menjelaskan, pengadaan dan pembelia tanah itu tidak berada di Dispora, tetapi informasi pembayaran dilakukan langsung oleh Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Galus.(c40)

Kejati Jebloskan Melodi Thaher ke Rutan

Serambi Indonesia
 
Kamis, 19 Juni 2014 12:13 WIB
 
Kejati Jebloskan Melodi Thaher ke Rutan
Petugas Kejaksaan Tinggi Aceh menahan mantan Kabag Ekonomi dan Investasi, Setdakab Aceh Utara, Melodi Thaher yang menjadi tersangka kasus korupsi pinjaman daerah kepada BPD (kini- Bank Aceh) Cabang Lhokseumawe, di Kejaksaan Tinggi Aceh, Rabu (18/6). SERAMBI/BUDI FATRIA

* Dugaan Penyalahgunaan Pinjaman Rp 7,5 miliar

BANDA ACEH - Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, menahan mantan Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi dan Investasi, Sekretariat Daerah Kabupaten (Setdakab) Aceh Utara, Drs Melodi Thaher, Rabu (18/6) sore. Melodi yang ditetapkan tersangka atas kasus dugaan penyalahgunaan dana pinjaman Kas Kabupaten Aceh Utara sebesar Rp 7,5 miliar itu, dijebloskan ke Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kajhu, Aceh Besar.

Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH, mengatakan, Melodi Thaher sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan dana pinjaman sebesar Rp 7,5 miliar dari Bank BPD (kini Bank Aceh) Cabang Lhokseumawe tahun 2009 lalu yang mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Pinjaman dana Rp 7,5 miliar tersebut diajukan untuk membiayai pembangunan di daerah terpencil yang akan segera dilunasi setelah dilakukan APBD perubahan tahun 2009. “Ternyata dana tersebut tidak dilunasi, meski dana yang telah diajukan telah cair,” ujar Amir Hamzah.

Lalu pencairan dana sebesar Rp 7,5 miliar itu kemudian dimasukkan ke dalam dua rekening, atas nama Kabag Ekonomi dan Investasi Setdakab Aceh Utara, Drs Melodi Thaher. “Seharusnya dana pinjaman itu kan masuk ke kas Pemda Aceh Utara. Tapi, tidak demikian, justru masuk ke dua rekening, masing-masing Kabag Ekonomi dan Investasi  atas nama Drs Melodi Thaher. Lalu uang itu selanjutnya ditarik dan dibagi-bagi, bukan seperti rencana yang diperuntukkan semula, yakni membiayai pembangunan di daerah terpencil. Tetapi, digunakan untuk kepentingan pribadi,” ungkap Amir Hamzah.

Ia mengatakan kasus dugaan penyalahgunaan dana pinjaman Kas Kabupaten Aceh Utara, sebesar Rp 7,5 miliar itu terungkap pada tahun 2013. Lalu penyidikan mulai dilakukan 22 April 2013 dan penetapan Melodi Thaher sebagai tersangka mulai 13 Maret 2014. “Begitu penyidik melakukan pemeriksaan lanjutan kembali hari ini (kemarin-red) terhadap tersangka Melodi Thaher, penyidik langsung melakukan penahanan, dengan kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, serta melakukan pengulangan tindak pidana lainnya, sehingga diputuskan agar tersangka untuk segera ditahan,” ungkap Amir Hamzah.(mir)